Ketika Rumah Tak Lagi Rumah: Krisis Sosial akibat "Overtourism" di Kota-Kota Eropa
Maria, seorang wanita berusia 71 tahun di Lisbon, tidak pernah menyangka bahwa hari tuanya akan dihabiskan dalam keheningan yang asing. Suaminya jatuh di kamar mandi, dan dia harus memanggil petugas pemadam kebakaran, bukan karena situasi darurat yang luar biasa, tetapi karena tak ada satu pun tetangga yang bisa ia minta bantuan. Para penduduk telah pergi. Apartemen tempat ia tinggal, dulunya penuh dengan keluarga dan percakapan hangat dari pintu ke pintu, kini berubah menjadi bangunan yang tenang di luar, tetapi sibuk di dalam dengan kebisingan penuh dengan wisatawan, koper, dan ketidakpastian. Fenomena ini bukan cerita tunggal. Di seluruh kota tua seperti Lisbon, Porto, hingga Barcelona, penduduk lokal menyaksikan lingkungan mereka pelan-pelan berubah. Rumah-rumah tinggal menjelma jadi flat wisata jangka pendek. Apartemen disewakan harian lewat platform seperti Airbnb, bukan lagi dihuni oleh warga permanen. Akibat dari hal tersebut adalah Komunitas perlahan menghilang.
Fenomena tersebut merupakan dampak dari padatnya wisatawan yang sedang terjadi di beberapa negara di benua biru. Sektor ini memang mendorong pertumbuhan ekonomi, namun apabila pertumbuhannya tidak terkendali, maka dapat menimbulkan dampak negatif pada berbagai aspek. Melansir dari Sustainable Travel, overtourism menimbulkan dampak negatif seperti peningkatan kepadatan penduduk, kerusakan lingkungan dan ekosistem, keterbatasan infrastruktur, menurunnya kualitas hidup penduduk lokal, persaingan sumber daya, serta pengalaman pengunjung berkurang.
Salah satu penduduk yang tinggal di distrik Ciutat Vella, Barcelona, menggambarkan pengalamannya seperti tinggal di "zona transit." Ia tidak mengetahui siapa tetangganya minggu ini, dan tidak yakin akan mengenal siapa pun minggu depan. Setiap malam, ada pesta. Setiap pagi, ada sisa botol alkohol di lorong. Terkadang, bahkan ada orang asing yang mengetuk pintunya karena salah masuk kamar. Lift gedung sering rusak karena terlalu sering digunakan mengangkut koper. Tangga selalu penuh dengan trolly pembersih. Anak-anak tidak bisa lagi bermain di halaman bersama teman sebaya karena tak ada anak lain. "Lingkungan ini tak terasa seperti tempat tinggal", sebagaimana ungkapan dari salah satu warga Lisbon.
Perasaan kehilangan tidak hanya soal kebisingan atau gangguan, tetapi soal keterasingan. Banyak warga mengatakan mereka merasa seolah-olah tinggal di hotel yang tak mereka pilih. Mereka rindu menyapa tetangga, menitipkan kunci, atau sekadar tahu siapa yang tinggal di samping mereka. Beberapa bahkan memutuskan untuk pindah, bukan karena ingin, tapi karena tidak tahan tinggal di 'rumah' yang tak lagi terasa seperti rumah.
Namun, tidak semua hanya diam. Di Barcelona, kelompok warga menggugat pemilik bangunan yang secara sistematis mengubah seluruh blok apartemen menjadi flat wisata. Beberapa berhasil menahan perubahan itu lewat jalur hukum. Di Lisbon, lebih dari 6.600 warga menandatangani petisi untuk menggelar referendum, menuntut larangan terhadap flat wisata di lingkungan tempat tinggal tetap. Akan tetapi, perjuangan mereka tidak mudah. Pariwisata telah menjadi mesin ekonomi utama bagi kota-kota ini. Pemerintah setempat berada di antara dua tekanan: kebutuhan ekonomi dari sektor wisata, dan keresahan sosial dari warganya sendiri. Beberapa kebijakan pembatasan telah dibuat, namun belum cukup mengatasi lonjakan jumlah turis yang terus berdatangan.
Isu over tourism ini menunjukkan sisi gelap dari pariwisata modern. Ketika kota-kota berubah menjadi destinasi semata, siapa yang masih bisa menyebut tempat itu sebagai "rumah"?
Fenomena over tourism di kota-kota seperti Lisbon dan Barcelona menunjukkan bahwa pariwisata yang tidak terkelola dengan baik dapat membawa dampak sosial yang serius. Penyewaan jangka pendek yang menjamur, terutama melalui platform digital, telah mengubah wajah permukiman warga menjadi kawasan komersial sementara. Akibatnya, penduduk lokal kehilangan akses atas tempat tinggal yang layak, merasakan keterasingan di lingkungan sendiri, dan menyaksikan runtuhnya jejaring sosial yang selama ini menjadi fondasi kehidupan urban.
Kondisi di atas menciptakan krisis identitas kota, di mana ruang hidup yang seharusnya mendukung kebersamaan dan keberlanjutan malah tergerus oleh kepentingan ekonomi sesaat. Warga bukan lagi subjek utama kota, melainkan terdorong menjadi penonton dalam rumah mereka sendiri. Oleh sebab itu, urgensi penataan ulang kebijakan pariwisata menjadi sangat penting. Tanpa intervensi yang adil dan berpihak pada masyarakat, kota akan kehilangan fungsinya sebagai tempat tinggal, dan hanya menjadi etalase yang kosong makna.
Penulis: Pradipta Noor Adiningsih