Kontras Gaji Guru dan Anggota DPR dalam Cermin Pendidikan Indonesia
Dalam landscape pendidikan Indonesia, terdapat paradoks yang merobek nalar publik, para guru yang dituntut kualifikasi akademik tinggi---minimal bergelar sarjana---harus menerima imbalan finansial yang tidak mencerminkan nilai pengabdian mereka, data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat, rata-rata gaji pekerja di bidang pendidikan hanya sebesar Rp2,79 juta per bulan, dengan 42,4% guru bergaji di bawah Rp2 juta , ironisnya, survei IDEAS 2024 mengungkap bahwa 74,3% guru honorer atau kontrak hidup dengan gaji di bawah Rp2 juta, sementara hanya 0,8% yang bergaji di atas Rp5 juta .
Sebaliknya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan kualifikasi pendidikan minimal SMA menikmati kompensasi finansial yang fantastis. Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015, total penerimaan anggota DPR dapat mencapai Rp104 juta per bulan setelah ditambah tunjangan rumah sebesar Rp50 juta . Angka ini setara dengan 37 kali gaji rata-rata guru Indonesia dan 20 kali Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta yang sebesar Rp5.396.761Â
Kebijakan yang Tidak Memihak pada Nilai Pendidikan
Akar masalah terletak pada kebijakan penggajian yang tidak mempertimbangkan beban kerja, tanggung jawab, dan kualifikasi required, guru menghabiskan waktu tidak hanya mengajar, tetapi juga menyiapkan materi ajar, mengevaluasi hasil belajar, dan membimbing siswa di luar jam sekolah---semua itu dengan kompensasi yang minim ,status kepegawaian yang tidak pasti, terutama bagi guru honorer, menambah kerentanan ekonomi dan ketidakstabilan karir , masyarakat Indonesia masih mengidap penyakit kronis, kurangnya apresiasi terhadap profesi pendidik, guru sering kali dipandang sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" yang diharapkan berkorban tanpa keluh kesah, sementara anggota DPR---yang seharusnya melayani rakyat---justru menikmati fasilitas mewah yang dibiayai oleh uang rakyat .
Negara menghabiskan Rp1,74 triliun selama lima tahun hanya untuk tunjangan rumah anggota DPR , sementara alokasi untuk meningkatkan kesejahteraan guru masih sangat minim, ketimpangan ini memperlihatkan salah prioritas dalam penganggaran negarad, di banyak negara dengan sistem pendidikan maju, guru menerima kompensasi yang mencerminkan peran penting mereka dalam membangun peradaban, negara-negara seperti Finlandia, Singapura, dan Jepang memberikan gaji guru yang kompetitif---sering kali setara dengan profesi bergengsi lainnya---disertai dengan dukungan profesional yang memadai, sebaliknya, anggota parlemen di negara-negara tersebut menerima gaji yang wajar dan tidak berlebihan, dengan transparansi penuh mengenai penggunaan anggaran negara.
Guru yang bergulat dengan masalah ekonomi sering kali harus mengambil pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Praktis, waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran terkikis oleh beban finansial, hasilnya, kualitas pendidikan nasional sulit bersaing secara global, rendahnya gaji dan minimnya apresiasi telah mengurangi daya tarik profesi guru, lulusan terbaik enggan memasuki dunia pendidikan karena imbalan yang tidak memadai, akibatnya, regenerasi pendidik berkualitas terhambat, dan pada akhirnya memengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Paradoksalnya, penelitian Saifur Rohman (2024) menemukan bahwa di sekolah-sekolah dengan tingkat kesejahteraan guru yang memadai justru kerap muncul kasus kejahatan dalam praktik pembelajaran , namun, ini tidak mengesahkan pembayaran rendah, melainkan menekankan perlunya sistem yang menyeimbangkan kesejahteraan dengan akuntabilitas, pemerintah perlu merevisi kebijakan penggajian guru dengan membuat standar upah minimum guru yang berlaku secara nasional, serta memastikan gaji guru berada di atas kebutuhan hidup minimum , DPR harus membuktikan bahwa kompensasi yang diterima sebanding dengan kinerja dan akuntabilitas mereka, selama ini, kinerja DPR dinilai tidak memuaskan---dari 42 RUU Prolegnas Prioritas, hanya 1 yang disahkan, dan hanya 55,1% rapat legislatif yang dilakukan secara terbuka, mengalihkan anggaran dari tunjangan yang tidak perlu bagi anggota DPR kepada peningkatan kesejahteraan guru akan menjadi langkah bijaksana, dengan 580 anggota DPR, penghematan dari tunjangan rumah saja dapat dialokasikan untuk meningkatkan gaji puluhan ribu guru, masyarakat perlu dididik untuk menghargai profesi guru bukan hanya dengan pujian, tetapi juga dengan mendukung kebijakan yang memihak pada kesejahteraan guru.
Rata-Rata Gaji Guru per Provinsi (Februari 2025)
DKI Jakarta Rp5,4 juta
Papua Pegunungan Rp4,2 juta
Papua Rp4,0 juta
Sulawesi Tengah Rp4,0 juta
Kalimantan Utara Rp4,0 juta
Sulawesi Utara Rp3,8 juta
Kepulauan Riau Rp3,8 juta
Banten Rp3,7 juta
Papua Selatan Rp3,6 juta
Rata-Rata Nasional Rp2,79 juta
Paradoks kesejahteraan guru versus anggota DPR adalah cermin dari prioritas bangsa yang terbalik, mustahil mengharapkan lahirnya generasi unggul dari rahim pendidikan yang sakit---dilahirkan oleh guru-guru yang hidupnya serba kekurangan, sementara para wakil rakyat menikmati kemewahan yang tidak sebanding dengan kinerja.
Reformasi total dalam kebijakan penggajian guru dan tunjangan anggota DPR diperlukan untuk mengembalikan martabat pendidikan. Guru layak mendapat hidup yang layak tanpa harus berjuang mati-matian memenuhi kebutuhan dasar, sementara anggota DPR harus menerima kompensasi yang wajar dan proporsional dengan kinerja dan tanggung jawab mereka, langkah transformatif diperlukan agar pendidikan tidak lagi menjadi medan paradoks, tetapi taman yang subur tempat benih-benih peradaban unggul bertumbuh---dipupuk oleh guru yang sejahtera dan dirawat oleh kebijakan yang berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI