Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Rempah

29 Mei 2022   03:51 Diperbarui: 21 April 2023   04:57 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filosofi rempah sederhananya adalah pemahaman dan pandangan atas rempah. Hal ini sejalan dengan pengertian filosofi menurut Maya Davis, yaitu ungkapan seseorang mengenai sikap, nilai dan kepercayaan walaupun pada waktu yang lain ungkapan tersebut menjadi ideologi kelompok atau kepercayaan kelompok (Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa Yogyakarta, 2019, p. 27). Pengertian rempah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berbagai jenis hasil tanaman yang beraroma. Setidaknya ada 26 jenis rempah yang populer di Nusantara, antara lain; adas, asam jawa, andaliman, biji ketumbar, bunga lawing, cengkeh, daun salam, daun ketumbar, jahe, jinten, kapulaga, kayu manis, kemiri, kemukus, kemenyan, kencur, kluwek, kunyit, lengkuas, lada, pala, saffron, secang, serai dan vanili.

Fadly Rahman dalam (Negeri Rempah-Rempah Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah 2019, 349-350) menyebut bahwa di masa kuno, rempah-rempah adalah simbol eksotisme, kekayaan, prestise dan sarat dengan kesakralan. Sehingga tidak heran bila rempah-rempah pernah dihargai sejajar dengan emas. Czarra sebagaimana dikutip oleh Rahman menyebut bahwa dalam sejarah Alkitab dikisahkan pada abad ke-10 SM, Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon di Yerusalem dan menghadiahinya emas, rempah-rempah meliputi cengkih, kayu cendana, kayu gaharu dan batu permata. Turner sebagaimana dikutip oleh Rahman berpendapat bahwa dalam berbagai catatan kuno di Mesir, Tiongkok, Mesopotamia, India, Yunani, Romawi, serta Jazirah Arab, rempah-rempah mulanya hanya dipercaya sebagai panacea (obat penyembuh) daripada pecita rasa makanan.

Hal tersebut misalnya diungkap oleh Filsuf Yunani, Theophrastus (370 - 285 SM), bahwa rempah-rempah seperti lada masih banyak digunakan tabib daripada juru masak. Berikutnya secara bertahap rempah-rempah menjadi komoditas ekonomi yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat kuno ketika daun, biji, akar dan getah dari rempah-rempah memiliki rasa dan aroma yang dinilai menyenangkan. Alhasil, bilamana pada abad-abad sebelumnya rempah-rempah kerap dianggap sebagai bahan medis, maka sejak abad ke-15 citranya bergeser sebagai penguat cita rasa hidangan di lingkungan monarki Eropa. Ada yang menyebut abad ini sebagai “Abad Rempah-Rempah.” Pada masa inilah mulai terbangun kesadaran membaharui citra kelam makanan selama abad pertengahan yang tidak berselera, seiring buku-buku masak mulai bermunculan di Eropa (Freedman, 2008, pp. 19-20).

Kegunaan rempah-rempah pun lantas berkembang menjadi bumbu untuk menutupi rasa tidak enak dan bau makanan, selain untuk menjaga kondisi makanan agar tetap segar. Nilai guna rempah yang cukup tinggi tersebut berikutnya memicu imperialisme di Asia Tenggara khususnya Nusantara, meskipun jauh dari itu, rempah telah menjadi komoditi dunia. Di Nusantara, Pulau Maluku kelak disebut sebagai Pulau Rempah. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam (Negeri Rempah-Rempah Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah 2019, 354-355) dimana Linschoten mendeskripsikan Maluku sebagai produsen cengkeh sebagaimana dituangkan dalam Itinerario-nya (berikut versi terjemahan Inggrisnya) :

These Ilands [of Maluco] have no other spice then cloves, but in so great abundance, that as it appeareth, by them the whole world is filled therewith. In this Iland are found firie hilles, thet are very dry and burnt land, they have nothing els but victuals of flesh and fish, but for Rice, Corne, Onyons, Garlick, and such like, and all other necessaries, some are brought from Portingale, and some from other places thereabout, which they take and barter for cloves.

 (Kepulauan ini [Maluku] tidak memiliki rempah-rempah lain selain cengkeh. Akan tetapi dengan jumlah cengkeh yang melimpah sebagaimana terlihat, Maluku memenuhi kebutuhan cengkeh untuk seluruh dunia. Di pulau ini ditemukan bebukitan dengan padang rumput serta kondisi tanah yang sangat kering dan gersang, mereka tidak punya apa-apa selain makanan dari daging dan ikan, namun untuk beras, jagung, bawang merah, bawang putih dan sejenisnya serta kebutuhan lainnya, beberapa di antaranya dibawa dari Portugis dan beberapa lainnya dari wilayah sekitar, yang mereka peroleh dan barter dengan cengkeh).

Lebih lanjut mengerucut di Nusantara, rempah yang umum dipakai untuk obat-obatan salah satunya adalah tanaman Salam. Chusniatun dalam (Pemanfaatan Daun Salam (Eugenia polyantha) 2016, 111) menyebut bahwa tanaman salam termasuk suku Myrtaceae, secara ilmiah mempunyai nama Latin Eugenia polyantha Wight serta memiliki nama ilmiah lain Syzygium polyantha Wight dan Eugenia lucidula Miq. Sedang di beberapa daerah Nusantara, tumbuhan salam dikenal sebagai salam (Jawa, Madura, Sunda); gowok (Sunda); kastolam (kangean, Sumenep); manting (Jawa), dan meselengan (Sumatera). Chusniatun menyebut bahwa berdasarkan falsafah Jawa, tanaman salam yang ditanam mempunyai makna tersirat dimana filosofinya dapat diambil masyarakat untuk diterapkan dalam kehidupan.

Menurutnya, tanaman salam bermakna keselamatan dan tujuan hidup manusia adalah untuk mendapatkan keselamatan di dunia serta di alam akherat nanti. Selain dipakai untuk obat-obatan, daun salam juga dipakai untuk penambah cita rasa masakan, hal ini hingga sekarang masih bisa ditemui contohnya pada bahan pembuatan nasi liwet. Entah sejak kapan daun salam dipakai penambah cita rasa masakan, yang pasti masyarakat Nusantara khususnya masyarakat Jawa Kuno, sejak awal abad 9 M telah mengenal berbagai hidangan yang memanfaatkan berbagai bahan dari tumbuhan dan hewan, hal ini bisa ditelusuri melalui berita Cina, prasasti dan relief beberapa candi. Di samping obat-obatan dan bumbu makanan, rempah-rempah juga dipakai sebagai pewangi dan sebagai pelengkap ritual adat tertentu, misal di antaranya adalah kemenyan, cengkeh dan kapulaga.

Rempah juga dipakai bahan baku pewarnaan, misal di antaranya adalah kunyit, kluwek dan secang. Pula beberapa rempah yang terkait dengan bahan baku pewarnaan, terhubung dekat dengan wastra (kain tradisional Indonesia yang memiliki ragam jenis). Noor Latif CM dalam (Wastra Dan Rempah Dalam Sublimasi Fotografi Budaya 2017, 115) menyebut bahwa wastra lurik pakan malang telah ada kira-kira sejak masa kerajaan Mataram Hindu antara tahun 851-882 M berdasarkan pencatatan prasasti, begitu juga lurik tuluh watu yang telah ada semasa Raja Airlangga abad 11 yang kesemua itu pewarnaannya menggunakan bahan alami dan semenjak awal abad 20 digantikan oleh pewarna kimia. Lebih lanjut, beberapa rempah juga tersemat sebagai nama daerah, misalnya Wonosalam. Wono berarti hutan atau ladang dan Salam berarti tanaman salam, artinya daerah tersebut merupakan wilayah lebat yang banyak ditumbuhi oleh tanaman salam. Singkatnya, penyematan tersebut terkait dengan toponimi dan hubunganya dengan identitas.

Jadi, bila di Eropa awalnya rempah memiliki citra sebagai obat kemudian di abad 15 bergeser sebagai bumbu makanan, di Nusantara tidak demikian, rempah sebelum abad 15 pun sudah tercitra sebagai bumbu makanan, pewangi, pelengkap ritual adat, bahan baku pewarnaan hingga identitas. Tentu hal ini perlu penelusuran dan pendalaman lagi untuk penjelasan batas kronologis dan rincian-rincianya. Namun sampai sini setidaknya dapat diketahui gambaran secara umum, bahwa rempah memiliki filosofi eksotis, royal, prestise, keselamatan, kesakralan dan jati diri berdasarkan nilai guna masyarakat pendukung budayanya. Dari sini juga dapat dimengerti bila filosofi rempah ditujukan khusus pada pengertian rempah itu sendiri, karena rempah pada dasarnya adalah berbagai jenis tumbuhan yang beraroma, sehingga barang tentu berbagai jenis tersebut juga memiliki filosofinya sendiri-sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun