Sebuah kebahagiaan
Menjadi guru adalah profesi yang sangat membahagiakan, setidaknya bagi saya. Â Disaat orang lain sibuk dengan kertas, sibuk dengan angka, sibuk dengan nomor, bahkan sibuk memikirkan diri sendiri, seorang Guru sibuk memikirkan orang lain. Ia memikirkan, mendidik, membimbing, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik (bdk. Undang-Undang tentang Guru Dosen, Bab I, pasal 1).Â
Kebahagiaan itu semakin bertambah ketika mengajar, para siswa aktif, suasana kelas hidup nan menyenangkan, serta anak-anak merasa enjoy belajar dengan gurunya.
Tetapi, kadang gambaran tersebut tak sesuai dengan kenyataan. Kadang kelas sepi seperti tiada berpenghuni, proses pembelajaran lambat, guru seperti mengajar dari dan untuk diri sendiri.Â
Menghadapi situasi tersebut, guru harus bagaimana? Putus asa?Â
Hm.....nggak boleh. Guru tak perlu putus asa. Bagi saya, mengajar itu sebuah seni. Seni dalam banyak hal, seni memperhatikan, seni menyampaikan-berkomunikasi, dll, termasuk seni membiasakan murid untuk berani bertanya.
Membutuhkan persiapan
Tentu sebelum mengajar saya sudah meniatkan diri untuk belajar semampu saya. Mempersiapkan (mempelajari) materi, trik, daya kesanggupan siswa, capaian yang diharapkan, dan metode yang akan dipakai. Meniatkan hati, meniatkan budi untuk fokus menghadapi para siswa dengan seluruh materi, itulah persiapan pertama.
Kedua, saya jarang menggunakan metode, bahasa Yunani: metodhos, jalan, cara menempuh tujuan (bdk. Zainal Aqib-Ari Murtadlo, 2016), yang sama dalam mengajar. Saya membuat variasi dalam metode pembelajaran, dengan maksud agar anak didik nggak bosan, tak jenuh mendengarkan suara saya. Dalam banyak proses pembelajaran, biasanya saya hanya akan "memancing" siswa untuk selalu aktif, terlebih aktif terlibat, menyimak....setelah itu, mereka mau bertanya.
Kata - kata yang menggugah menjawab meneruskan, sekaligus pertanyaan memancing jawaban yang sering saya gunakan:
"Anak pinter ayo bantu Bapak menjelaskan lagi...."