Berdesah manusia itu di depan gereja. Ia orang katolik. Ia kecewa karena tidak ada ekaristi/misa malam natal. Seharusnya (menurut dia) malam natal itu malam yang sangat istimewa. Istimewa, karena bagi dia dapat merayakan ekaristi bersama keluarga besarnya. Mulai dari opa, oma, anak, cucu (plus cicit). Bila perlu  berebut kursi tempat duduk, bahkan bila perlu juga, taruh tas di  kursi, lalu kalau ada saudara seiman yang bertanya,
"Apakah kursi ini kosong?" ia menjawab,
"Sudah ada yang pesan, itu ada tas!" dengan sedikit membusuangkan dada.
Tetapi rupanya natal tahun ini (2020)karena pandemi, hal tersebut tak dapat ia lakukan; berebut tempat duduk, mengklaim kursi milik keluarga besarnya, kepekaan tergugat...dst.
Katolik dan natal kadang identik dengan gemerlap lampu, pohon natal, gua natal, lagu-lagu natal, baju baru, dst. Apakah itu penanda kekatolikan yang sejati? Tidak.
Ketika seseorang merasa diri katolik, tetapi ia tidak peka dengan lingkungannya, malah memekakkan dirinya, maka perlu dipertanyakan kembali kekatolikan orang itu. Ketika seseorang mengaku katolik, tetapi ditanya apa arti katolik, gelagapan menjawab, pantaslah ia merenung, ngapain  lu punya embel-embel katolik di KTP.
Mempertanyakan diri atas identitas keagamaan yang ia sandang, ia yakini, adalah wajib hukumnya. Manusia bernalar menjadikan (seharusnya) ia sadar ketika berujar sekaligus berikhtiar. Mengaku katolik tetapi ditanya masuk lingkungan/kring/basis mana, nggak tau. Ditanya siapa ketua lingkungannya, nggak tau. Berapa KK teman selingkungannya yang katolik, nggak tau. Siapa nama pastor parokinya, nama uskupnya nggak tau? Tepok jidat! Hal-hal tersebut baru cara "tanya diri" yang sederhana. Lalu kalau misalnya ditanya apa itu deuterokanonika, juga nggak tau wah....payah.
Mungkin manusia katolik itu akan menjawab,
"Mas Flo, saya baptis bayi, jadi saya nggak ngeh hal-hal itu."
"Lah, sampean punya orang tua?"
"Punya"
"Ada wali baptis?"
Eh, malah balik nanya, "Wali baptis itu apa mas Flo?"
Bleh, rasa penasaran dan keingintahuan yang  berlebih kadang membuat hati malah perih!
"Anda katolik, pasti sering berdoa."
"Memang iya".
"Untuk siapa doa anda itu?"
"Ya untuk sayalah, kami"
"Tetanggamu masuk rumah sakit karena covid 19, didoakan?"
"Siapa ya, kok saya nggak tau?"
"La kok malah nanya lagi?"
"Pastormu yang dirawat di RS Carolus, nggak didoakan agar segera sembuh?"
"Oh, itu juga nggak tau je..."
Kekatolikan ditandakan dengan kepekaan. Andai ada orang mengaku katolik tapi nggak peka, maka kekatolikannya  perlu diperdalam kembali, dipertanyakan ulang.  Merefleksi kekatolikan, supaya ngerti dan paham, bahwa manusia katolik itu berjalan, berdiri dan duduk serta tinggal bersama orang lain adalah wajib. Dalam masa pandemi seperti sekarang ini, manusia (yang merasa) katolik diuji tingkat kepekaannya. Peka, bahwa ia harus bertimbang rasa. Peka bahwa ia hidup harus berbagi.Â
coretan dini hari, 3.43-26/12/2020