Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belajar dari Covid-19: Kesedihan Itu Ada di Luar

30 Maret 2020   11:27 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:16 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai pada tulisan singkat ini dibuat, saya sangat yakin bahwa kesedihan itu bukanlah narasi subjektif belaka. Rasa hanyalah sebab kedua dari kenyataan yang ada di luar. Masalah kadar kesedihan, itu urusan kesekian. Yang perlu ditekankan: kualitas rasa itu ada di luar diri.

Begini: ada tidak di antara kalian yang menyedihkan sesuatu tanpa sesuatu yang membikin sedih? Atau tiba-tiba Anda merasa menyukai sesuatu tanpa Anda ketahui sesuatu itu apa?

"Sudahlah, kesedihan itu cuma soal rasa yang kita cipta. Tinggal dikondisikan kembali," kata seorang yang kurang bijak.

Beberapa teman sering menasehati salah satu teman saya saat dia meratapi kenyataan yang seolah meninggalkan jauh dirinya. Terus, bagaimana mengkondisikan kenyataaan yang ada di luar sementara pengetahuan kita, termasuk rasa, hanya dikondisikan dari luar? Apa yang harus dikondisikan? Mengkondisikan diri dengan mengatakan saya baik-baik saja akan mengubah sebab kesedihan itu?

Anda akan tetap merasa aman-aman saja di tengah situasi COVID-19 yang terus membelah-diri menempel di tubuh, dan ikut membelah diri kita dengan diri yang lain, membelah setiap hubangan sosial yang dari situ kerja sosial dihasilkan? Anda yang diancam oleh lockdown yang memutuskan segala jaringan kerja masih bisa duduk santai membaca koran?

Jika Anda seorang yang giat mengumpulkan harta kekayaan mungkin bisa bertahan. Tapi bagaimana jika hidup Anda hanya dari upah bisa memperpanjang hidup? Masih bisa mengatakan ini hanya soal rasa n' keep calm?

Bagaimana saya menyampaikan pada diri harus tetap tenang sementara kenyataan terus berjalan tidak karuan dengan sangat cair? Masih bisa mengatakan bahwa rasa itu kita yang cipta?

Di tengah semesta fisik, dengan silang pendapat beserta fenomena alam dengan mekanismenya sendiri, betapa pongahnya kita merasa bahwa semua ini hanyalah sebab kita selalu mengadakan rasa, yang pada mungkin seolah-olah dan mengharu-biru. Sekalipun bisa dilogiskan dalam argumen, tapi coba dicek kodisi objektifnya tentang kondisi-mengkondisikan.

Saya selalu bertanya pada teman saya, "Kamu pernah membenci seseorang tanpa sebab?" Entah dia pernah salah laku, atau apalah, pasti selalu ada kondisi dirinya yang membuat rasa kita.

Maksud saya begini: bila demikian halnya, dalam hal rasa, jika memang kita hanya dikondisikan dari luar, apa yang sebenarnya harus diubah sebagai pengkondisian rasa kita tetap aman? Jika ada masalah yang membuat kita merasakan empati ada sesuatu mestinya sesuatu itu yang harus diubah agar empati kita berganti menjadi empati yang lain.

Saya berkata pada seorang teman, "Jika kamu bersedih karena sesuatu telah pergi, dengan dia balik pasti kesedihan itu berganti." Tidak perlu menggebu-gebu dengan mengatakan, sekalipun benar, kenyataan ini tidak benar. Hehehe...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun