Mohon tunggu...
Akun Ini Telah Pindah
Akun Ini Telah Pindah Mohon Tunggu... -

migunani tumraping liyan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Media: Antara Idealisme dan Uang

11 Maret 2011   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Rakyat Indonesia memang sudah akrab dengan asupan kabar dari media, terutama televisi. Di warteg, di pasar, bahkan di beberapa angkringan pun televisi telah dipasang, meskipun kualitasnya pun masih sederhana. Tak jarang, di tempat-tempat berkumpulnya rakyat jelata ini, kita dapat menemukan dialog rakyat tentang sebuah berita. Tak tanggung-tanggung, berita yang dibahas pun berita yang sifatnya mendalam dengan ruang lingkup nasional.

Sebagai contoh nyata, adalah kasus Mafia Hukum maupun Kisruh PSSI yang sekarang ini masih hangat diulas dalam beberapa program berita. Dengan bahasa lokal, rakyat akan mendiskusikannya dengan bahasa mereka. Ya, bahasa yang sering mengandung nilai kearifan lokal pula.

Tak dapat dipungkiri, penerima (receiver) berita, beragam tingkat pemahamannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan hingga hal yang esensial yakni tingkat kesadaran politik mereka. Banyak kalangan rakyat yang kurang berpendidikan akan mengetahui nilai-nilai esensi berita, lalu mereka mampu menyimpulkan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Namun, tak sedikit pula kita temukan fenomena rakyat kalangan ini akan merasa kebingungan dengan berita yang ditayangkan oleh stasiun televisi yang berbeda. Ya, meskipun nilai yang terkandung sama.

Fenomena ini lebih kepada kesadara politik personal. Seseorang yang telah memiliki bekal berupa ketertarikan tentang kontelasi politik, akan lebih mudah untuk menunjuk suatu berita itu berpihak atau tidak. Lebih dalam, orang yang tahu tentang jurnalisme media, akan lebih memahami suatu berita itu layak atau tidak.

Ingat syarat kelayakan suatu berita! Sebuah depth-reporting (pemberitaan mendalam) maupun investigative-reporting (pembirataan investigasi) boleh memiliki suatu fokus pandangan (point of view), namun harus tetap obyektif! Dengan demikian, bagi program berita yang tak obyektif, maka tak layak tuk diberitakan karena hanya akan dilihat rakyat sebagai pertarungan kekuasaan media.

Kapitalisme masih berkuasa.

Tak dapat dipungkiri, Indonesia masih lekat dengan kapitalisme. Pemilik modal mampu menyetir beberapa perusahaan stasiun televisi, terlebih stasiun yang jargonnya adalah televisi berita (news). Benar apa kata Justin 'Matt' Long saat berperan dalam Die Hard 4 yang mengatakan bahwa berita di masa kini telah direkayasa hingga tak ada yang obyektif lagi. Ya, meski hanya film, namun ucapan Matt tersebut benar adanya.

Kita yang tahu bahwa televisi seperti TV One dan AnTV tentu memiliki perbedaan sudut pandang dengan Metro Tv, karena pemiliknya pun berbeda. Boleh saja sudut pandang untuk memperkaya wawasan, namun perbedaan dengan mengedepankan subyektifitas adalah hal yang tidak benar!

Ternyata, bagi kita cermat, harta dunia masih mampu menggadaikan idealisme yang dimiliki oleh para jurnalis. Profesionalisme telah pudar dengan gaji yang tak beda dengan kamuflase suap politik.

Kiranya benar, kata Mario Teguh yang mengatakan agar kita tak takut tuk melepaskan sautu pekerjaan jika ditempat lain kan mampu mendapatkan ketenangan yang lebih. Ketenangan inilah yang dinamai dengan idealisme hidup seorang jurnalis. Idealisme untuk tak berpihak pada duit!

Godean, 20012011 @ Fajar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun