Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membunuh Rindu

19 September 2016   23:36 Diperbarui: 20 September 2016   00:15 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.pinterest.com

Hanya satu hal yang harus kulakukan. Membunuh rindu milik lelaki itu diam-diam saat ia terlena dalam buaian mimpi-mimpinya. Kuputuskan untuk membunuhnya malam ini. Aku akan menikamnya−tepat di jantungnya. Hingga rindu miliknya takkan pernah lagi mengusikku. Karena aku akan sendirian di hutan ini dan terbebas dari belenggu rindu untuk selamanya…

***

Aku akan pergi membunuh rindu sebagaimana ia telah membunuhku dalam nyerinya yang tak terkira. Itulah yang kukatakan pada orang-orang yang kutemui dalam perjalananku ketika mereka menanyakan ke mana aku akan pergi. Mendengar jawabanku, biasanya mereka akan menertawakanku dan mengatakan bahwa aku cuma pembual yang asal bicara. Bagaimana mungkin rindu bisa dibunuh?

Telah lama aku mengembara ke pelosok-pelosok negeri untuk bersembunyi dari cengkeraman rindu yang menyesakkan. Sejauh yang aku mampu. Sampai aku lupa bagaimana caranya berjalan karena terus saja berlari. Tapi rindu selalu mengejarku dan tak ingin melepas bayang-bayangku. Seolah aku adalah buruan berharga yang tak boleh dilepaskan begitu mudah.

Pada suatu malam, aku tiba di negeri kanak-kanak. Semoga saja, malaikat-malaikat kecil yang tertidur itu mampu mengusir pergi rinduku jauh-jauh. Karena menurutku, wajah kanak-kanak adalah wajah yang paling dirindukan di dunia. Baru saja kutemukan kedamaian dalam wajah-wajah itu, tiba-tiba rindu menghantuiku tanpa belas kasihan. Taringnya mencuat, keluar dari wajah-wajah damai yang terlelap. Ibu. Kali ini, wajah perempuan yang gagal kureka dalam tidur-tidurku itu, datang menghampiriku. Rindu menggulungku begitu dahsyat. Sebelum aku menyadarinya, kesedihan telah menghancurkan hatiku. Tanpa menunggu lebih lama, sepasang kakiku kembali berlari melintasi malam. Membawa tubuhku pergi sejauh mungkin dari kepungan rindu.

Kemudian langkah kakiku menuntunku menuju rimba kota. Aku menyusuri jalan-jalan lengang yang belum terjaga. Wajah-wajah milik tubuh-tubuh yang bergelimpangan di emper-emper toko menghadirkan kesunyian yang asing. Lolong anjing dari lorong-lorong gelap terdengar bersahutan-sahutan. Memilukan. Setelah berjalan beberapa saat, sepasang mataku terpaku pada wajah seorang perempuan. Perempuan itu tertidur di bawah jembatan layang yang melintasi kota. Benakku bertanya-tanya, apakah yang sedang melintas dalam mimpi-mimpinya?

Rasa penat memaksaku untuk bersandar sejenak, tepat di samping perempuan itu. Aku mengamati perempuan yang berselimut koran-koran itu sekilas. Perempuan itu rupanya sedang mengigau. Bibirnya menggumamkan beberapa kata yang tak kumengerti. Kata terakhir yang meluncur di akhir gumamannya membuatku terpana. Rindu. Perempuan itu rupanya sedang merindukan seseorang.

Bak tersengat kalajengking, aku segera bangkit berdiri. Aku telah berlari sejauh mungkin dari kata itu, tapi mengapa aku harus mendengarnya keluar dari mulut perempuan itu? Kuputuskan untuk segera beranjak dari kota itu meski langkahku mulai tertatih karena letih. Malam terasa begitu panjang dan melelahkan. Hingga pagi menjelang, aku telah melintasi begitu banyak persinggahan.

***

Bulan-bulan berlalu. Tahun-tahun berganti. Tapi aku masih belum mampu membunuh rindu. Bahkan hingga aroma tubuhku telah menjelma menjadi aroma musim dan kata-kataku telah menyatu bersama angin, aku masih gagal membunuh rindu. Aku kehabisan akal juga cara. Selain terus berlari, aku tak mampu memikirkan apa-apa lagi. Pada suatu ketika, aku berjalan memasuki hutan. Kupikir, bila tak melihat wajah-wajah di sana, mungkin saja aku takkan menemukan rindu.

Pemikiranku nyaris saja benar, sebelum aku bertemu seseorang dalam hutan itu. Ia telah hadir jauh sebelum tibaku di hutan itu. Lelaki itu menanyakan maksud kedatanganku. Ketika kuungkapkan keinginanku untuk membunuh rindu, lelaki itu menatapku. Lama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun