Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Harus Kulakukan terhadap Tuan Aiden?

1 November 2021   20:22 Diperbarui: 1 November 2021   21:36 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dversepoets.com

Pada suatu malam yang dingin, kami bertiga duduk di sofa yang dibalut kain jacquard, menunggu cerita dari seorang lelaki yang biasa dipanggil dengan Tuan Aiden. Seperti biasa, sambil menebak-nebak apa gerangan cerita yang akan dituturkan oleh lelaki berperawakan kekar itu, kami pun berbisik-bisik, bertaruh tentang isi cerita yang akan kami dengarkan malam ini.

Tuan Aiden seolah menikmati dunianya sendiri dan benar-benar menikmati waktunya. Sambil bersandar di kursi klasik yang dibalut kulit sapi, ia mengisap cerutunya dalam-dalam, memikirkan dengan cermat dari mana ia akan mulai bercerita. Jam berbahan kayu di dinding menunjukkan detik dan menit yang berlari dengan lambat. Seperti menemukan momentum, paras Tuan Aiden mendadak berseri. Ia bangkit dan berseru, "Baiklah, sekarang aku akan mulai bercerita!"

Seiring keingintahuan yang menggebu, kami bertiga mencondongkan tubuh. Lelaki yang berdiri di hadapan kami adalah salah satu penutur cerita paling hebat di kota kecil ini. Tak semua orang seberuntung kami, mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan ceritanya yang luar biasa. Hanya karena Hans, salah seorang di antara kami yang kebetulan adalah keponakan Tuan Aiden, kami mendapat kehormatan untuk mendengarkan cerita berharga Tuan Aiden setiap dua minggu sekali.

Tuan Aiden meletakkan cerutunya di asbak sebelum mulai berkata, "Malam itu angin berembus kencang, udara begitu dingin hingga menusuk tulang. Adrian, seorang pemuda pemberani di desanya, dengan gagah keluar dari rumah setelah membungkus tubuhnya dengan mantel tebal. Tujuannya hanya satu, rumah di ujung desa. Rumah itu dihuni oleh Florence, gadis tercantik di desa itu."

Hanya suara napas yang terdengar. Kami melebarkan mata dan menajamkan pendengaran, menunggu Tuan Aiden meneruskan ceritanya. Nyala api di perapian menari-nari, menularkan kehangatan dalam ruang tamu Tuan Aiden. Gelas-gelas berisi mulled wine, satu stoples kue jahe, dan sepiring speculaas terletak tak beraturan di atas meja. Kami memandang ke satu arah, seolah pusat semesta telah berpindah pada Tuan Aiden.

"Malam itu semua jalan desa tertutup salju tebal, tapi itu bukanlah halangan bagi Adrian. Cintanya pada Florence begitu kuat. Ia berjalan menembus hujan salju dengan tekad membara. Sehari sebelumnya, ia melihat persediaan kayu Florence telah menipis. Ia khawatir, Florence dan neneknya yang sudah lanjut usia akan membeku. Membayangkan derita yang akan menimpa gadis itu, hatinya sungguh gelisah. Karena itulah ia rela berkorban."

Tuan Aiden berhenti sesaat untuk meraih gelasnya dan minum seteguk wine. Setelahnya, ia mengambil cerutu dari asbak dan mengisapnya dengan nikmat. Asap segera mengepul, menutupi hampir seluruh wajahnya. "Dalam hal ini kalian harus meneladani Adrian," Tuan Aiden terkekeh sebentar sebelum meneruskan kata-katanya, "aku pernah muda dan tentu masih ingat betul rasanya."

Hans, keponakan Tuan Aiden, turut tertawa mendengar kata-kata pamannya. Ketika kami serentak menoleh, Hans segera bungkam. Ia menyadari bahwa suara tawanya telah mengusik kami. Perhatian kami kembali tertuju kepada Tuan Aiden yang menikmati waktunya. Ia meneruskan ceritanya sambil berdiri, sesekali menggerakkan tangan atau mengisap cerutunya. Kadang-kadang ia mengeraskan suaranya. Selama mendengar ceritanya, mimik kami berubah-ubah dengan cepat, antara kaget, sedih, takut, dan ngeri.

"Jadi, begitulah, tak ada yang pernah tahu siapa pembunuh Florence sebenarnya. Hingga saat ini, semua masih menjadi misteri. Sejak saat itu, Adrian kehilangan kewarasannya." Tuan Aiden menatap kami satu per satu dan merendahkan nada suaranya, "Sayangnya, ini bukan sekadar cerita, tapi kisah nyata. Aku mendengarnya sendiri dari seseorang yang singgah ke kota kecil ini. Dia memintaku untuk merahasiakannya, tapi seperti yang kalian tahu, aku ini seorang penutur cerita. Jadi...."

Tanpa menyelesaikan kalimatnya, Tuan Aiden mengenyakkan tubuhnya di kursi kesayangannya. Ia terlihat lelah dan menikmati cerutunya dengan nikmat tanpa menghiraukan ketakutan kami. Lelaki itu larut dalam lamunannya, seolah memberikan tanda bahwa kami harus segera berpamitan.

Usai meneguk habis mulled wine-ku, aku baru sadar bahwa posisi duduk kami bertiga lebih rapat dari sebelumnya. Kedua teman baruku masih tampak ketakutan. Mereka menghabiskan minuman mereka tanpa suara. Bunyi gemeretak api yang melalap kayu di perapian dan detak jarum jam dinding berpadu, menambah ketegangan dalam ruangan ini.

Ketika kami berpamitan, Tuan Aiden hanya menganggukkan kepala dan tersenyum samar. Hal ini cukup menggangguku. Ketika kutanyakan kepada Hans, teman baruku itu hanya mengangkat bahu dan mengatakan pamannya memang orang yang sulit dimengerti. Aku harus puas dengan jawaban singkat itu.

Salju turun lebih deras dari tadi sore. Jalanan mulai tertutup hamparan putih. Rumah ketiga temanku lebih dekat, aku terpaksa harus berjalan sendirian sebelum tiba di rumah. Tanpa mempercepat langkah, kumasukkan kedua tangan ke dalam saku, lalu bersiul-siul untuk menghalau dingin yang menusuk.

Senyum seorang gadis perlahan terbayang dalam benakku. Paras gadis itu cantik seperti seorang dewi. Mahkotanya yang keemasan berkilau laksana keajaiban ketika cahaya mentari jatuh di atas ikalnya. Sejujurnya, ia gadis paling rupawan yang pernah kulihat. Sungguh sayang, gadis itu malah menyukai pemuda lain dan menolak mentah-mentah semua kebaikanku.

Siulanku terhenti. Sial! Tiba-tiba aku memikirkan apa yang harus kulakukan dengan Tuan Aiden. Sudah sejauh ini aku pergi, tetapi mengapa warga desaku harus bertemu dengan Tuan Aiden di kota kecil ini? Salju turun semakin deras, tetapi aku hanya mematung dan memikirkan masalah ini dengan tangan terkepal di depan rumah bibiku.

Kuremas rambut sekuat tenaga hingga rasa perih di kulit kepalaku membuatku berhenti. Aku sungguh menyesal karena tak mampu memadamkan kebencian yang berkobar terhadap gadis itu. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku memaki diriku sendiri hingga berkali-kali.

Apa yang harus kulakukan terhadap Tuan Aiden?

***

1/11/2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun