Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kota yang Tumbuh dalam Belantara Pikiranmu

13 Mei 2018   15:57 Diperbarui: 15 Mei 2018   03:08 2625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau menikmati kerlip yang menghiasi langit bukit kecilmu malam ini. Saat memandang jauh ke bawah, kau menyadari satu hal: kota begitu jauh darimu. Sesaat kemudian, kau menyesali pilihanmu memeluk sunyi. Kau mulai berandai-andai. Jika dan bila berkecamuk dalam benakmu. Malam berlangsung lama dan melelahkan. Kau terus gelisah karena tak kunjung menemukan jawaban.

Keesokan paginya, kau ingin bergegas. Sepasang kakimu melangkah tak terpatahkan. Harapan berbunga-bunga di pundakmu. Mimpi-mimpi menggelayuti punggungmu. Kau berangkat menuju kota, meninggalkan sepi yang mengurungmu dari keramaian. Kau merindukan gelak dan sapa. Keriuhan dan pesta-pesta. Kau ingin sempoyongan lalu terjatuh karena mabuk kata-kata. Juga mendambakan bisikan kekasih dari pemilik sepasang mata bundar yang memuja.

Jalan ke masa lalu sungguh berliku. Keraguan menari-nari dalam benakmu. Bisikan-bisikan terus menggodamu. Terus. Kembali. Lanjutkan. Pulanglah. Kalimat-kalimat berdengung memenuhi isi kepalamu seperti kerumunan lebah. Kau ingin berhenti dan menyerah kalah. Pada sebuah persimpangan, kau memutuskan melangkah secepat peluru yang melesat menuju sasaran.

Udara kota menyambutmu seperti dekapan. Hatimu melambung kala menyusuri lorong-lorong panjang yang disesaki keramaian. Kau ingin memetik bunga-bunga yang mekar di wajah-wajah rupawan. Kau larut dalam warna-warni sukacita yang memenuhi seisi kota. Seruan para penjaja bagaikan parade musik di telingamu. Percakapan orang-orang di pojok kota mengundang keingintahuanmu. Senandung, nyanyian dan tetabuhan mengajakmu mulai menarikan kaki. Kau menjelma menjadi bocah dengan keriangan tak terlukiskan.

Pagi, siang, hingga malam, kota adalah pesta. Kau tergila-gila dengan sarapan pagi ekspektasi dan makan siang angka-angka. Malam-malam jamuan dengan kemewahan menjadi godaan tak terelakkan. Pekik klakson, deru mobil, dan asap adalah simfoni yang menggetarkan. Kau ingin terbang menuju bintang. Mimpi dalam benakmu mengantarmu memangku rembulan di atas singgasana. Kau ingin menjadi monumen tak terlupakan dalam sebuah peradaban.

Kau mulai menyadari, dalam setiap kegembiraan selalu terselip kepedihan. Kau mendapati bayang-bayang kepahitan mengintai kota dari segala penjuru. Itu peluang  bagimu untuk menyalakan pelita pada setiap hati. Lalu kau berkeliling menyusuri jalanan. Kau menemui orang-orang dan membagikan bungkusan-bungkusan berisi harapan. Satu untuk setiap orang. Kau memadamkan kegelisahan yang ingin mencuri kenyamanan mereka. Rela berkorban menjadi penjaga setia bagi setiap insan kota.

Orang-orang mulai memujamu. Mereka merindukan pahlawan yang datang dari bukit jauh. Seseorang yang akan menyelamatkan kota dari ancaman duka. Juga menjauhkan orang-orang dari kepahitan warna-warna kelam. Mereka mengelu-elukanmu dan memujamu dengan sepenuh jiwa. Kedatanganmu adalah cahaya bagi setiap pintu. Kau bagaikan nyala di hati orang-orang miskin, pengemis, dan mereka yang terbuang. Kehadiranmu memerdekakan jiwa-jiwa dari kecemasan.

Hingga suatu ketika, mentari bersinar garang di atas kota. Sengatannya membakar seisi kota. Orang-orang merintih kehausan. Jiwa-jiwa mereka menggelepar marah. Sebagian dari mereka luluh tanpa daya, dan selebihnya terus bergolak bagaikan didihan air yang bermuara pada kekeringan abadi.

***

Sepekan telah berlalu. Sengatan mentari tak kunjung reda. Kota menjadi lebih hiruk-pikuk dari biasanya. Keramaian itu berpusat di depan sebuah gedung raksasa berdinding kaca. Antrean wajah-wajah muram mengular di depan gedung itu. Mereka berniat menitipkan harapan terakhir ke dalam sebuah kotak yang berada di pelataran, menutupnya, lalu berdoa: Tuhan, jauhkanlah ketakutan dan rasa nyeri dari ajal kami.

Kau memandangi orang-orang itu dengan perasaan heran. Kematian serupa dengan perpisahan. Mereka bisa merayakannya dengan lambaian tangan, tetes air mata, kesedihan atau rasa sepi yang berkejaran. Mengapa orang-orang harus menitipkan harapan terakhir mereka dalam sebuah kotak? Keheranan itu kian menggeliat manakala seorang ibu tua mengisak di depan kotak kayu berwarna abu-abu itu. Perempuan itu seolah tak menghiraukan sekitarnya. "O, Anakku. Anak sulungku. Akhirnya, ajal akan mempertemukan kita kembali." Perempuan itu lalu menangis sejadi-jadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun