Mohon tunggu...
firza rizky ananda siregar
firza rizky ananda siregar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Escribo sobre el derecho, la sociedad y esos pequeños detalles que cuentan grandes historias

Selanjutnya

Tutup

Hukum

pemilu 2029:Pisah demi demokrasi?

11 Oktober 2025   14:10 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:04 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2029 akan jadi babak baru demokrasi Indonesia. Dipisah antara nasional dan lokal — solusi bijak atau tantangan baru? 🇮🇩🗳️

Pemilu 2029 akan menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 resmi menetapkan bahwa mulai tahun tersebut, pemilu nasional — yang mencakup Presiden, DPR, dan DPD — akan dipisahkan dari pemilu lokal yang memilih kepala daerah serta DPRD. Keputusan ini disebut sebagai langkah untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan mengurangi beban pemilu serentak yang selama ini dikeluhkan banyak pihak.

Kalau kamu masih ingat Pemilu 2019, pasti tahu betapa rumitnya. Lima kotak suara, ratusan calon legislatif, dan satu hari pencoblosan yang panjang membuat pemilih kewalahan. Petugas KPPS bahkan banyak yang jatuh sakit karena beban kerja ekstrem. Pemilu serentak memang efisien di atas kertas, tapi tidak selalu efektif dalam praktiknya. Dari sinilah muncul gagasan: bagaimana kalau pemilu dipisah saja, agar publik bisa fokus memilih pemimpin di setiap level pemerintahan?

Penelitian dari **R. Surbakti dkk. (2020)** menegaskan bahwa pemilu serentak 2019 menimbulkan beban berat bagi penyelenggara. Sementara **Burhanuddin Muhtadi (2023)** menyoroti bahwa isu nasional sering menutupi isu lokal, membuat pemilih kurang memperhatikan calon kepala daerah. Akibatnya, kualitas demokrasi di tingkat lokal menurun. Dengan pemisahan pemilu, diharapkan isu daerah bisa mendapat ruang yang lebih luas, dan pemilih bisa menilai calon pemimpin lokal tanpa “terpengaruh” gemuruh politik nasional.

Kalau kita lihat dari sisi teori demokrasi, kebijakan ini bisa dikaitkan dengan konsep embedded democracy demokrasi yang tidak hanya kuat di pusat, tapi juga tertanam hingga ke level daerah. Banyak negara besar seperti Amerika Serikat dan India yang sudah lama menerapkan pemilu nasional dan lokal secara terpisah. Hasilnya? Pemilih di sana bisa fokus pada isu lokal saat pemilu daerah tanpa kehilangan semangat nasionalisme politiknya.

Tapi tentu, pemisahan pemilu juga bukan tanpa risiko. Dua kali pemilu berarti dua kali logistik, dua kali kampanye, dan dua kali anggaran. Biayanya jelas lebih besar. Selain itu, ada kekhawatiran partisipasi pemilih bisa menurun pada pemilu lokal karena tidak ada daya tarik figur nasional seperti pemilihan presiden. Dalam teori *second-order election*, pemilu lokal sering dianggap kurang penting oleh pemilih — dan ini bisa menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menjaga tingkat partisipasi politik.

Masalah lain muncul dalam hal masa jabatan dan transisi kekuasaan. Jika jadwal pemilu berubah, maka masa jabatan beberapa kepala daerah harus disesuaikan — bisa diperpendek atau diperpanjang. Ini bukan hal sepele karena menyangkut konstitusionalitas jabatan publik. Beberapa pakar hukum menilai keputusan MK masih butuh aturan turunan yang jelas agar tidak menimbulkan kebingungan atau celah politik baru.

Meski begitu, langkah ini tetap punya potensi besar. Dengan pemilu yang terpisah, masyarakat bisa lebih fokus menilai calon di tiap level. Partai politik juga bisa menyiapkan strategi yang lebih terarah: nasional berbicara soal visi negara, sementara lokal fokus pada pelayanan publik dan pembangunan daerah. MK sendiri menegaskan bahwa pemisahan ini bertujuan untuk mengembalikan demokrasi kepada substansinya, bukan sekadar rutinitas elektoral lima tahunan.

Agar pemisahan ini benar-benar efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah harus menyiapkan undang-undang transisi yang adil dan konstitusional. Kedua, kapasitas penyelenggara di tingkat daerah harus ditingkatkan agar pemilu lokal berjalan lancar. Ketiga, perlu ada sosialisasi luas agar masyarakat memahami perubahan ini. Keempat, bisa dilakukan uji coba bertahap di beberapa daerah untuk melihat tantangan nyata di lapangan. Dan terakhir, evaluasi pasca-pemilu harus dilakukan secara independen agar sistem ini bisa terus diperbaiki.

Pemisahan pemilu bukan sekadar soal tanggal dan logistik, tapi soal bagaimana bangsa ini belajar menjadi lebih dewasa secara politik. Jika dijalankan dengan matang, kebijakan ini bisa memperkuat representasi lokal, memperjelas tanggung jawab pemimpin, dan memperdalam kualitas demokrasi kita. Namun, jika disiapkan setengah hati, pemisahan ini bisa menjadi drama politik baru yang justru menambah masalah.

Pada akhirnya, Pemilu 2029 bukan hanya tentang memilih siapa yang berkuasa, tapi tentang bagaimana kita mengelola demokrasi agar tetap relevan, sehat, dan berpihak pada rakyat. Karena demokrasi yang baik tidak lahir dari frekuensi pemilihan, melainkan dari seberapa sadar masyarakat memahami pilihan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun