Sepulang sekolah tadi, setelah mendapat izin dari Bunda Mala, aku dan Lana segera berangkat menuju ke sebuah Bandara Internasional di kota kami. Sembari menyetir Honda Jazz merahnya, mulut Lana terus saja menyerocos tentang ‘seseorang’ yang ia sebutkan semalam di dalam pesan singkatnya.
Ternyata yang akan kami jemput adalah sepupu Lana dari pihak ibunya, yang ingin berlibur di Indonesia. Namanya Narapati, panggilannya Nara. Kelihatannya pria ini cukup dikagumi oleh Lana yang tak punya kakak laki-laki. Sepanjang jalan ‘hot news’ adalah Nara… Nara… dan Nara. Seolah-olah Nara merupakan sosok manusia setengah dewa. Jujur, aku semakin pusing mendengarnya. Melihatku tak terlalu bersemangat, akhirnya Lana nyerah juga. Tanpa aku katakan pun, Lana sudah bisa 'membaca'. Mungkin karena kami sudah cukup lama bersahabat, kami sudah saling kenal sifat dan kehidupan masing-masing, terkecuali tentang Nara. Aku tak pernah ingat Lana pernah bercerita tentang laki-laki itu sebelumnya.
Tak lama kemudian kami sampai juga di terminal kedatangan luar negeri. Dengan bergegas Lana menarik tanganku dan berlari-lari kecil mencari posisi yang nyaman untuk melihat si Nara itu, karena sudah banyak yang berkerumun untuk menyambut orang-orang yang telah mereka tunggu-tunggu kedatangannya. "Kita hampir saja terlambat, Ki. Tapi syukurnya enggak....hufff...," bisik Lana yang terdengar gembira di telingaku. Aku hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis penghias bibir.
Setelah menunggu beberapa menit, para penumpang sebuah maskapai penerbangan asing sudah mulai tampak satu-persatu di hadapan kami. Lambaian tangan, seruan dan karton bertuliskan nama-nama mulai mewarnai suasana penjemputan itu. Beberapa diantara penjemput telah menemukan orang-orang yang dijemputnya. Tawa, pelukan hangat, salaman, tangis haru berbaur di sekeliling kami. Tak lama kemudian, Lana berseru pada seseorang dan dari kejauhan sesosok pria bertubuh jangkung itu tampak membalas lambaian Lana dan berjalan mendekati kami. Hah? Apa gak salah? Semakin dekat semakin jelas kalau pria itu tak 'sesempurna' yang kubayangkan. Laki-laki itu hanya berkaus oblong dan bercelana cargo sebatas lutut. Kacamata hitam, topi dan ransel khas backpacker tersampir di tubuhnya yang gagah. Tapi.... Ya Tuhan! Sendal jepit? Hufff.... jauh sekali dari bayanganku tentang seorang Master of Science yang parlente seperti ketika Lana menceritakan 'Curriculum Vitae' cowok itu padaku tadi. Dan... erggghhh... brewokan! Aku paling sebel cowok brewokan... tapi ...eh, Lana langsung saja menghambur dalam pelukan laki-laki itu! Oh, no... no... no.... dia lebih cocok jadi preman dari pada seseorang yang bergelar S2 dari sebuah universitas terbaik di Australia! Aku benar-benar il-feel!
Waktu terasa berjalan lambat. Kusabar-sabarkan hati untuk menemani Lana dan sepupunya itu melepas kerinduan mereka sambil mengobrol di sebuah cafe. Aku tahu betapa Lana terus berusaha melibatkanku dalam pembicaraan mereka berdua, tapi suasana hatiku tak jua menghangat. Entahlah, entah apa yang membuatku merasa terpaksa harus beramah-tamah dengan Nara? Apa mungkin karena kesan pertamaku terhadapnya yang kurang menyenangkan atau karena memang sikap Nara yang cenderung angkuh dan impulsif, menurutku. Aku hanya mampu memamerkan tawa datar ketika Lana dan Nara saling melemparkan gurauan yang segera disambut oleh tawa gembira mereka. Uuuuh, aku ingin segera pulaaaaang!
[caption id="attachment_135460" align="alignleft" width="290" caption="Meratapi Kerinduan..... (ilustrasi : mynicespace.com)"][/caption] Sesampai di rumah aku benar-benar merasa terbebas dari kepura-puraan. Setelah melambaikan tangan dan menunggu mobil itu keluar halaman, aku segera bergegas masuk ke rumah. Bunda Mala dan Paman Irsyad tampak sedang asyik bermain dengan Nabil dan si bungsu, Lulu, di ruang keluarga. Ada rasa syahdu terbersit dibenakku karena tiba-tiba saja aku seperti melihat 'de javu'. Ayah dan ibu seperti hadir dalam pandangan dan ingatanku detik itu. Ya, aku merasakannya..... Ada yang berdetak keras di jantungku. Setelah berbasa-basi sedikit, aku segera melangkah menuju kamar tidurku. Tiba-tiba rasa rindu menyeruak di dada. Ayah... Ibu..., adik-adikku...., apa kalian baik-baik saja? Batinku benar-benar menangis. Tanpa berkompromi lebih dulu dengan pikiran, jemariku langsung saja memencet sebuah nomor teratas di phonebook HP-ku. Tapi sebuah jawaban operator membuatku kecewa. Nomor yang kutuju tak aktif. Akhirnya aku hanya bisa duduk termenung, sambil sesekali mengusap air mata yang telah meleleh di pipi. Ketika rindu itu kian menyelubungi, keegoisanku masih tetap saja membentengi.
*
Minggu pagi dengan sinar mentari yang cerah membuatku kembali bersemangat, paling tidak sekedar untuk membantu Bunda Mala mempersiapkan sarapan pagi dan menggantikan popok Lulu yang sudah basah. "Mata kakak kenapa? Kok bengkak?" tanya Nabil dengan polos. Aku hanya menjawab sekenanya untuk sepengertian anak kecil setingkat kelas 1 SD itu. Tentu saja aku berbohong, tapi paling tidak bisa membuatnya berhenti bertanya, karena aku sendiri tak punya alasan tepat kenapa harus membawa tangisku hingga tertidur sampai subuh.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponselku. Dari Lana.
Zakia cantiq, hr ini tlgin gw lg yaaaa.... Gw gk bs tmnin Mas Nara jln2, coz nyokap bawel bgt nyuruh 6w ikut k0ndangan di t4 relasi bisnisny. Plg2 6w mo dijodoh2in lg. Bete! Sbnrnya Mas Nara disrh mama ikutan jg, tp dy mn mau. Lu tlg temenin mas Nara ya, Ki? Pliiiiiiz..... ;P   Mknya lu kudu siap2 ya. Dandan yg cakep. Huv @ Nic3 weekend, cin... :)
Glek! Yang bener aja?