Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu...

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Salahku Menyukai Dangdut? (Bagian 1)

6 Mei 2010   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam ini aku benar-benar tak bisa tidur. Langit-langit kamar seolah menertawakan tak keberdayaanku memicingkan mata. Apa mungkin karena kamar ini bukan kamar pribadiku atau karena justru pikiranku berkeliaran entah kemana? Aku kembali tercenung, wajah ayah menari-nari dipikiran. Masih kuingat ekspresi murka ayah, sebuah reaksi dari tak kesetujuannya pada keputusanku, putri sulung kebanggaannya. Aku bukannya tak mengira akan terjadi hal itu, tapi aku benar-benar harus mengatakannya. Aku tak mau lagi menjadi seorang penyanyi dangdut! Tak mau lagi mendengar lagu dan musik-musik dangdut! Tak mau bersentuhan lagi dengan dangdut!  Dan... aku harus keluar dari grup OM, dengan atau tanpa persetujuan ayah! Titik.

[caption id="attachment_134378" align="alignleft" width="221" caption="Nelangsa.... (ilustrasi : mynicespace.com)"][/caption]

Malam itu, dua hari yang lalu, aku harus angkat kaki dari rumah akibat keputusanku! Ayah tetap bersikeras, tak suka pada anak yang tak menurut pada orang tua. "Ayah otoriter! Tak pernah mau tau keinginanku!" keluhku ketika tangan ibu menahan lenganku. Tapi malam itu aku sudah bulat tekad, pergi dari rumah. Api dilawan api pasti akan menjadi kobaran yang besar.  Tangis ibu tak mampu lagi menahan langkahku, meski rasanya ingin aku rengkuh ibu, menghapus uraian airmatanya. Tapi... maaf ibu, aku tetap harus pergi! batinku menangis. Dalam pilu, aku terus berlari kecil, menembus hujan. Maka sejak itu, terdamparlah aku di rumah Bunda Mala, adik kandung ayah yang sudah menjadi ibu kedua bagiku.

Semua kejadian tadi berawal dari sebuah kejadian lain. Kejadian di sekolah yang cukup menorehkan luka dibenakku. Sebenarnya aku sangat suka dan bangga bisa bersekolah di sekolahku sekarang. Meski harus menjalani segala rutinitas yang cukup padat, tapi aku sangat menikmatinya. Hingga pada suatu hari, aku dan Lana, sahabatku mengikuti sebuah rapat mendadak untuk acara Pensi (Pentas Seni) di sekolah. Kebetulan aku salah seorang anggota seksi acara dan Lana di bagian humas. Terjadi perdebatan antar anggota mengenai band apa yang akan diundang. Band tamu yang disepakati kemarin tiba-tiba membatalkan kesediaannya mengisi acara karena suatu hal yang sangat penting. Di tengah seru-serunya perdebatan, tiba-tiba seorang siswa kelas II-2 bernama Shandy menyeletuk dengan suara keras. "Kita undang aja Orkes Melayu Seroja Indah pimpinan ayahnya Zakia...!  Kan asyik tu bisa goyang ngebor, goyang patah-patah..... Jangan lupa nyawer ya.... Semakin banyak nyawer, semakin banyak digoyangnya. Hahaha..." Kontan seluruh siswa yang ada di ruangan rapat itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Aku benar-benar terkejut, tapi aku tak bisa berkata apa-apa.... Segala macam rasa bergolak di dadaku. Malu. Sakit hati. Marah. Kesal.....dan entah apa lagi.... Kenapa mereka harus membawa-bawa orang tuaku? Profesi keluargaku? Ya.... mungkin di ruangan itu hanya aku yang berasal dari keluarga yang 'standar'-nya di bawah mereka, bahkan aku bisa bergabung di SMA itu pun karena sebuah beasiswa. Ayahku seorang montir di bengkel motor kecil dan ibu hanya seorang guru seni musik di sebuah SD swasta dengan gaji yang pas-pasan. Kami memang mempunyai sebuah grup Orkes Melayu (OM) bernama Seroja Indah yang didirikan oleh almarhum kakekku dan pernah mengalami masa jaya-jayanya di era 70-80an. Sebelum tiada, kakek berharap agar kami tetap meneruskan OM setelah kepergiannya menghadap Sang Khalik. Namun kehidupan sebagai seniman kecil harus membuat kami tak hanya mengandalkan hidup dari OM, apalagi saat ini panggilan manggung untuk mengisi acara semakin sedikit, mungkin karena harus bersaing dengan grup organ tunggal ataupun band-band yang modern lainnya. Kami tak pernah menyalahkan hal itu. Memang begitulah perputaran zaman dan mungkin tak hanya di alami oleh seniman kecil seperti keluargaku saja tapi juga oleh banyak seniman lain. Kami bermusik dengan hati, ingin melestarikan budaya, meski secara manusiawi tak bisa kupungkiri kami juga memerlukan uang untuk meneruskan hidup dan juga kelangsungan grup ini. Jadi apa yang salah? Kami hanya mendendangkan lagu-lagu melayu ataupun dangdut dengan santun dan menghibur sebaik-baiknya.

Ada pameo bahwa dangdut tanpa goyangan seperti sayur tanpa garam. Tetapi sebagai biduan pun aku hanya bergoyang sewajarnya seperti gerakan tari melayu, bukan mengikuti beragam goyangan yang sedang 'booming' akhir-akhir ini. Secara pribadi, aku tidak mempermasalahkan goyangan-goyangan tersebut karena itu kembali pada yang melakukan goyangan dan persepsi orang-orang yang menontonnya. Namun yang membuatku sedih, kenapa kebanyakan orang selalu menganggap bahwa dangdut adalah musik kampungan yang penuh dengan goyangan erotis? Dan ucapan Shandy tadi sudah  benar-benar melecehkan harga diriku dan keluargaku!

Aku langsung meninggalkan ruangan rapat dengan hati yang bercampur-aduk. Sebelum Lana menyusulku, aku sempat mendengar ia berseru, "Kalian benar-benar keterlaluan!"

Namun hingga malam ini, aku masih terbayang-bayang dengan reaksi teman-temanku di rapat saat itu. Erggghh! Benar-benar menyebalkan! Sebelumnya aku memang sudah cukup sering mendapat candaan dari teman-teman tentang aktivitasku menyanyi dangdut, tapi semua kuanggap angin lalu. Menurutku itu hal biasa yang terjadi kalau kita 'berbeda' dari kebanyakan orang.

[caption id="attachment_134385" align="alignright" width="225" caption="Musik untuk dinikmati, bukan untuk dicaci.....  (ilustrasi : mynicespace) "][/caption]

Semua juga tahu kalau anak-anak remaja zaman sekarang lebih suka budaya pop, band-band keren seperti Ungu, Peter Pan, Alexa, Vierra dan sederet artis idola lain yang tak asing lagi di layar kaca, radio dan media pemutar musik lainnya. Belum lagi  pengaruh artis-artis luar seperti Beyonce, band Muse, Lady Gaga, Michael Buble dan lain sebagainya yang menggempur telinga setiap harinya. Jujur, aku juga menyukai musik-musik mereka, bisa dibilang aku penikmat segala macam musik.

Musik mungkin sudah kukenal sejak dalam kandungan ibu, karena seperti yang kusebutkan sebelumnya keluargaku mempunyai grup Orkes Melayu. Maka itu, aku sudah kenal dengan bunyi-bunyian seperti seruling, gitar, gendang/tabla, rebana, bahkan biola dan akordion - alat-alat musik yang sering kami pakai dalam OM. Aku pun mengetahui bagaimana cara menyanyi dengan benar - beserta cengkoknya, memainkan alat-alat musik tersebut dan segala macam partitur sejak usia dini. Kemampuan itu semua kudapatkan hanya dari kakek dan orangtuaku, bukan karena les musik, les vokal dan entah les-les apalagi. Kami hanya orang biasa yang hanya mengandalkan apa yang kami punya bukan mengharapkan sesuatu yang tak pernah ada (untuk kami).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun