Kedua perintah ini sekaligus menjadi 'ukuran tindakan moral. Sebab, "pengetahuan ini bisa alami tetapi juga supranatural, karena hukum moral telah diturunkan oleh Tuhan dan diumumkan secara positif dalam sepuluh perintah Allah".[13]
Hukum kekal ini ditanamkan dalam makhluk yang berakal budi, dan mendorong mereka untuk ke perbuatan yang benar dan ke tujuan. Manusia dapat mengenal kebaikan dan keburukan berkat adanya pembedaan yang baik dari yang jahat, yang dibawanya sendiri oleh karena akal budinya, khususnya akal yang diterangi oleh Wahyu Ilahi dan oleh iman, melalui hukum yang diberikan Allah kepada Umat Terpilih, yang mulai dengan perintah di Sinai (VS 44).
Manusia sebagai makhluk yang berakal budi, tidak hanya dapat tetapi secara aktual harus dengan bebas memutuskan makna tingkah lakunya (VS 47). Untuk menyempurnakan dirinya sendiri dalam jenisnya yang khas, seorang pribadi harus melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan, terlibat dalam meneruskan dan menjaga kehidupan, menyempurnakan dan mengembangkan kekayaan dunia material, memupuk kehidupan sosial, mencari kebenaran, mempraktikkan kebaikan dan merenungkan keindahan (VS 51).
Kesimpulan
Ensiklik Veritatis Splendor menekankan sentralitas kebebasan, akal budi dan hukum kodrat, yang merupakan dasar dari moralitas Katolik. Hukum kodrat ialah kesadaran yang rasional dan senantiasa berkembang mengenai harus seperti apakah kehidupan yang manusiawi itu.Â
Hukum kodrat itu tersedia bagi setiap makhluk berakal budi. Ini semua lebih nyata pada manusia yang diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang rasional dan memiliki perasaan yang hidup dalam suatu kebersamaan (masyarakat/komunitas).
Hukum kodrat ialah kesadaran rasional akan tatanan ciptaan, kesadaran akan fakta bahwa Allah menciptakan kita sebagai suatu ciptaan, dan bahwa hal ini memiliki implikasi moral tertentu.Â
Hukum moral itu sudah sejak semula ditempatkan Allah dalam hati manusia (Rm 2:15). Bahwa, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bebas, dan Allah menyerahkan kepada manusia kuasa untuk memutuskan sendiri, dan Ia mengharapkan manusia membentuk hidupnya secara pribadi dan secara rasional. Mengasihi sesama berarti terutama dan secara khusus menghormati kebebasannya untuk membuat keputusan-keputusannya sendiri (VS 47).
Oleh sebab itu, kebebasan, akal budi dan hukum tidak dilihat dalam relasi-konflik atau saling bertentangan, melainkan dalam relasi-konstruktif, di mana dapat membantu seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang otentik-integral dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Bibliography
Â