Ada berbagai macam perbedaan antara penduduk dan warga negara salah satu perbedaan penting antara penduduk dan warga negara terletak pada hak politiknya. Warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, seperti memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, ikut serta dalam pembuatan kebijakan publik, dan mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara.Â
Namun, berbeda dengan penduduk. Tidak semua penduduk memiliki hak ini. Sebagai contoh, seorang Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia dengan izin tinggal tetap memang sah disebut sebagai penduduk karena secara administratif terdaftar dan berdomisili di Indonesia. Namun, ia bukan warga negara Indonesia, sehingga tidak memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, mencalonkan diri dalam jabatan publik, atau memiliki hak politik lainnya yang hanya diberikan kepada WNI.
Selain perbedaan dalam hak politik, penduduk juga berbeda dari warga negara dalam hal perlakuan hukum dan perlindungan negara. Warga negara mendapat perlindungan hukum penuh dari negara Indonesia, termasuk di luar negeri, melalui perwakilan diplomatik. Sementara itu, WNA yang menjadi penduduk Indonesia tetap tunduk pada hukum nasional selama berada di wilayah Indonesia, tetapi perlindungan atas dirinya lebih banyak menjadi tanggung jawab negara asalnya, kecuali jika ia berada dalam kondisi khusus yang mengharuskan intervensi hukum Indonesia.
Pemahaman yang tepat mengenai konsep penduduk juga sangat penting dalam konteks perencanaan pembangunan, penyusunan kebijakan publik, dan penyelenggaraan administrasi negara. Data kependudukan digunakan sebagai dasar untuk menentukan alokasi anggaran daerah, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, hingga jumlah surat suara dalam pemilu. Oleh karena itu, pendataan penduduk dilakukan secara berkala oleh Badan Pusat Statistik melalui sensus dan didukung oleh sistem informasi kependudukan yang dikelola oleh Dinas Dukcapil.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penduduk adalah semua orang yang secara fisik dan administratif tinggal di wilayah Indonesia, terlepas dari status kewarganegaraannya. Meskipun seluruh warga negara adalah penduduk, tidak semua penduduk merupakan warga negara. Perbedaan ini perlu dipahami dengan baik agar tidak terjadi kekeliruan dalam memaknai hak, kewajiban, dan perlakuan hukum terhadap individu dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Dalam kasus Satria Arta Kumbara, kewarganegaraannya dinyatakan hilang setelah diketahui bergabung dengan militer asing tanpa izin dari Presiden Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Meskipun kehilangan status kewarganegaraan tersebut terjadi secara otomatis, secara hukum, proses administrasi tetap memerlukan pencatatan dan penetapan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) agar berkekuatan secara administratif.Â
Setelah dinyatakan bukan lagi sebagai Warga Negara Indonesia, maka yang bersangkutan kehilangan seluruh hak politik dan perlindungan dari negara Indonesia. Apabila Satria ingin mengembalikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia, maka terdapat dua jalur hukum yang dapat ditempuh.
Jalur pertama adalah naturalisasi biasa, yang dapat diakses oleh siapa pun, termasuk mantan WNI, asalkan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Kewarganegaraan. Beberapa syarat penting dalam jalur ini antara lain adalah berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah, telah tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, mampu berbahasa Indonesia, serta memahami Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, pemohon tidak boleh pernah dijatuhi pidana penjara lebih dari satu tahun, harus memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap, bersedia melepaskan kewarganegaraan asing, dan membayar biaya pewarganegaraan. Setelah semua persyaratan tersebut dipenuhi, permohonan akan diproses oleh Menteri Hukum dan HAM, lalu diajukan kepada Presiden untuk mendapatkan Keputusan Presiden yang menetapkan kembalinya status kewarganegaraan.
Kemudian, Jalur yang kedua adalah naturalisasi khusus atau istimewa. Jalur ini merupakan bentuk pewarganegaraan yang diberikan atas pertimbangan Presiden berdasarkan alasan tertentu, seperti jasa luar biasa yang pernah diberikan kepada negara atau adanya alasan kemanusiaan yang kuat. Dalam jalur ini, syarat-syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dapat dikesampingkan. Pengajuan naturalisasi khusus biasanya melalui rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, atau lembaga lainnya. Jika Presiden berkenan memberikan naturalisasi khusus, maka yang bersangkutan akan mendapatkan Keputusan Presiden yang menyatakan dikembalikannya status sebagai WNI, dan tetap diwajibkan untuk mengucapkan sumpah atau janji setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia di hadapan pejabat yang berwenang.
Dengan demikian, meskipun status kewarganegaraan dapat hilang akibat pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum seperti bergabung dengan militer asing tanpa izin, hukum Indonesia tetap memberikan ruang bagi mantan WNI untuk kembali menjadi bagian dari negara, melalui prosedur yang sah, transparan, dan mempertimbangkan integritas hukum serta prinsip-prinsip konstitusi. Kasus seperti Satria Arta Kumbara bukan hanya menjadi peringatan terhadap pentingnya kesetiaan kepada negara, tetapi juga menjadi cermin bahwa sistem hukum kita tetap membuka peluang bagi pemulihan status kewarganegaraan selama dijalankan sesuai koridor yang berlaku.
Kasus kehilangan kewarganegaraan yang dialami oleh Satria Arta Kumbara semestinya menjadi momentum pembelajaran bagi publik tentang pentingnya memahami konsep kewarganegaraan secara substantif. Kewarganegaraan bukan sekadar label administratif yang tercantum dalam dokumen seperti KTP atau paspor, tetapi merupakan bentuk ikatan hukum dan politik antara individu dengan negara. Ikatan ini mengandung unsur kesetiaan, komitmen, serta tanggung jawab terhadap negara dan seluruh sistem yang menopangnya, mulai dari hukum, konstitusi, hingga simbol-simbol kedaulatan. Ketika seseorang secara sadar dan sukarela melanggar prinsip-prinsip dasar kenegaraan, misalnya, dengan bergabung dalam militer asing tanpa persetujuan otoritas tertinggi negara, maka negara berhak, bahkan berkewajiban, mencabut status kewarganegaraan orang tersebut demi menjaga kedaulatan hukum dan keutuhan nasional.