Mohon tunggu...
Firman Rahman
Firman Rahman Mohon Tunggu... Blogger Kompasiana

| Tertarik pada finance, digital marketing dan investasi |

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kisah Pilu "Tari" Si Gajah Kecil di BTN Tesso Nilo Riau, Sebuah Potret Wildlife in Crisis dan Ancaman Kepunahan

2 Oktober 2025   19:41 Diperbarui: 2 Oktober 2025   19:41 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Si Gajah Kecil telah tiada (Gambar: Dok. BTN Tesso Nilo)

Tenang disana Sayang kami ... Tingkah lucu dan menggemaskan dede Tari akan menjadi hal yang sangat dirindukan. Love you dedee Tari

Senandung pilu itu tak hanya bergema di hati para penjaganya, tetapi juga menusuk sanubari ribuan orang yang pernah dibuat tersenyum oleh tingkah polosnya. Tari, Kalistha Lestari, gajah kecil yang lucu dan selalu muncul di beranda media sosial, kini telah tiada. Kabar duka itu datang pada hari Rabu, 10 September 2025.

Hari itu, Kamis, 11 September 2025, Saya kaget setengah mati. Bagaimana tidak, Tari, gajah kecil berusia dua tahun yang menggemaskan itu ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau. Gajah kecil pergi dalam usia yang sangat muda, dua tahun sepuluh hari, sebuah rentang hidup yang seharusnya baru dimulai dengan riang.

Kabar yang beredar sungguh memilukan. Sehari sebelumnya, Tari disebut masih aktif tanpa ada gejala sakit. Nafsu makannya juga normal. Mahout, pawang gajah yang menjaganya sejak lahir, menemukan gajah itu terbaring tanpa pergerakan pada Rabu pagi.

Kematian Tari bukan sekadar peristiwa biologis biasa, namun sebuah simbol tragis dari 'Wildlife in Crisis' yang tengah melanda bentang alam Sumatera. Tari mati di tengah berbagai persoalan akut yang membelit Taman Nasional Tesso Nilo, dari perburuan liar, perambahan hutan untuk kebun sawit ilegal, hingga dugaan korupsi alih fungsi kawasan menjadi permukiman.

TNTN, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), justru berubah menjadi medan perjuangan hidup yang brutal. Ironisnya, Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro, mengklaim Tari tidak menunjukkan tanda sakit apapun sebelum menghembuskan nafas terakhir. Sebuah klaim yang menambah tebalnya misteri sekaligus pilu atas kepergiannya.

Fakta Mencengangkan di Balik Ancaman Kepunahan Gajah di Rimba Sumatera

Kematian Tari menambah panjang daftar korban di salah satu habitat gajah terpenting di dunia ini. Sepanjang 10 tahun terakhir, tercatat ada 23 kasus kematian gajah sumatera di taman nasional tersebut. Angka ini adalah fakta mencengangkan yang tak bisa diabaikan.  Tentu saja hal ini bukan hanya statistic belaka, angka ini adalah potret nyata dari ancaman kepunahan yang kian nyata.

Tari Si Gajah Kecil telah tiada (Gambar: Dok. BTN Tesso Nilo)
Tari Si Gajah Kecil telah tiada (Gambar: Dok. BTN Tesso Nilo)

Gajah Sumatera, yang diklasifikasikan sebagai 'Kritis' (Critically Endangered) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature), menghadapi tantangan eksistensial yang sistemik. Di Tesso Nilo, rumah bagi sekitar 60-80 individu gajah, ancaman tersebut berwujud, antara lain:

1. Perambahan Hutan dan Fragmentasi Habitat

Kondisi ini menjadi pembunuh diam-diam bagi populasi gajah. TNTN memiliki luas sekitar 83.000 hektar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa puluhan ribu hektar telah dirambah dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal dan permukiman.

  • Jalur Migrasi Terputus: Gajah adalah satwa penjelajah. Mereka membutuhkan bentang alam yang luas untuk mencari makan dan bereproduksi. Perambahan menciptakan 'pulau-pulau' kecil habitat yang terisolasi. Ketika jalur migrasi mereka terpotong oleh sawit dan jalan, mereka terpaksa berhadapan langsung dengan manusia.
  • Konflik Manusia dan Satwa Liar (KMSL): Fragmentasi habitat secara langsung memicu KMSL. Gajah yang kelaparan karena kehilangan sumber pangan di hutan yang menyusut, mulai memasuki perkebunan atau desa. Reaksi manusia seringkali berupa penjeratan, peracunan, atau penembakan, yang berujung pada kematian.

2. Perburuan Liar (Poaching)

Meskipun gajah betina seperti Tari tidak memiliki gading sebesar pejantan, perburuan tetap menjadi ancaman. Gajah jantan diburu untuk gadingnya, yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar gelap. Kematian gajah jantan dewasa merusak struktur sosial dan populasi gajah secara keseluruhan, memperlambat proses reproduksi dan pemulihan populasi.

3. Korporasi dan Tata Kelola yang Lemah

Dugaan korupsi alih fungsi kawasan menjadi permukiman dan lemahnya penegakan hukum terhadap perambah besar menunjukkan adanya masalah tata kelola yang jauh lebih dalam. Konservasi tidak akan berhasil tanpa komitmen politik yang kuat dan integritas kelembagaan. Jika kawasan konservasi itu sendiri rawan disalahgunakan, gajah dan satwa liar lainnya akan terus menjadi korban.

Kisah Tari, yang mati tanpa tanda sakit di usia belia, bisa jadi adalah cerminan dari tekanan stres yang ekstrem di habitatnya yang terdesak. Meskipun penyebab pasti kematiannya harus diselidiki secara tuntas (kemungkinan keracunan, penyakit, atau stres akut), ia tetap menjadi simbol dari kegagalan kita melindungi mereka.

Konservasi Berbasis Kolaborasi adalah Pilar Utama Kesuksesan Menghadapi Wildlife in Crisis

Kisah pilu Tari harus menjadi titik balik, bukan hanya duka sesaat. Kita harus mengakui bahwa model konservasi tradisional yang hanya mengandalkan papan larangan dan patroli tidak lagi memadai di tengah ancaman yang begitu masif.

Solusinya haruslah sistemik dan berkelanjutan, yaitu dengan membangun Pilar Utama Kesuksesan: Konservasi Berbasis Kolaborasi.

Konservasi di sini bukan sekadar papan larangan, melainkan sebuah ekosistem pengelolaan yang melibatkan multi-pihak. Hal ini dilakukan sebagai upaya kolektif yang menuntut peran aktif dari:

1. Pemerintah dan Lembaga Konservasi (Pemegang Kebijakan)

  • Penegakan Hukum Tegas (Zero Tolerance): Tidak ada kompromi terhadap perambahan, perburuan, dan korupsi di kawasan konservasi. Aset para perambah besar harus disita dan direstorasi.
  • Restorasi Ekosistem: Melakukan reboisasi besar-besaran di area yang dirambah, khususnya di jalur migrasi gajah. Ini juga termasuk memperluas wilayah jelajah (koridor) gajah.
  • Integrasi Pembangunan: Memastikan kebijakan pembangunan daerah (Riau khususnya) tidak bertabrakan dengan kepentingan konservasi.

2. Masyarakat Lokal dan Adat (Garda Terdepan Konservasi)

  • Pemberdayaan Ekonomi: Memberikan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan, seperti ekowisata berbasis komunitas atau pertanian lestari.
  • Pelibatan dalam Patroli: Membentuk dan memberdayakan Masyarakat Peduli Api/Konservasi (MPA/MPK) yang secara aktif terlibat dalam pemantauan dan pencegahan.
  • Edukasi dan Kearifan Lokal: Menghidupkan kembali kearifan lokal tentang hidup berdampingan dengan gajah.

3. Sektor Swasta (Korporasi Sawit dan Industri Lainnya)

  • Prinsip Nol Deforestasi: Mendorong sektor swasta, terutama perkebunan kelapa sawit, untuk memegang teguh komitmen No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).
  • Kemitraan Konservasi: Perusahaan yang berdekatan dengan kawasan konservasi wajib menyisihkan area sebagai penyangga dan berkontribusi pada pendanaan patroli dan rehabilitasi.

4. Akademisi dan Peneliti

  • Inovasi Teknologi: Menerapkan teknologi terbaru (Drone, GPS Collar, Big Data) untuk memantau populasi gajah, pergerakan, dan mendeteksi perambahan secara real-time.
  • Riset Mendalam: Melakukan penelitian terhadap penyakit gajah, dampak fragmentasi, dan solusi best practice KMSL.

Mengharmonisasikan Manusia dan Gajah, Untuk Membangun Koeksistensi

Tujuan akhir dari kolaborasi ini adalah menciptakan harmonisasi antara manusia dan satwa liar agar bisa hidup berdampingan. Gajah, sebagai spesies payung, adalah indikator kesehatan ekosistem. Jika gajah musnah, artinya ekosistem hutan pun runtuh.

Harmonisasi ini dapat dicapai melalui beberapa cara praktis, sebagai berikut:

1. Pembentukan 'Elephant Squad' Berbasis Komunitas

Alih-alih langsung bertindak agresif, masyarakat bisa dilatih untuk membentuk tim khusus (sering disebut Flying Squad atau Elephant Patrol) yang bertugas menggiring gajah kembali ke habitatnya dengan cara non-lethal (misalnya menggunakan bunyi-bunyian, suar, atau bahkan gajah jinak). Tim ini harus beranggotakan Mahout, aparat, dan perwakilan masyarakat.

2. Pemanfaatan Ekowisata Berkelanjutan

Mengubah gajah dari 'hama' menjadi 'aset' ekonomi. Ekowisata berbasis gajah yang etis dan dikelola secara ketat oleh masyarakat dapat memberikan insentif finansial untuk melindungi mereka. Gajah yang hidup lebih berharga daripada gajah yang mati.

3. Pengembangan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)

Pemasangan GPS collar pada beberapa individu gajah dan menghubungkannya dengan sistem peringatan dini di desa-desa rawan konflik. Jika gajah mendekat, masyarakat akan mendapat notifikasi sehingga mereka bisa bersiap dan melakukan penggiringan tanpa terjadi kekerasan.

4. Penataan Ruang Berbasis Satwa

Mengakui bahwa gajah memiliki hak atas ruang jelajahnya. Dalam penataan ruang, perlu ditetapkan area buffer zone yang tidak boleh ditanami tanaman kesukaan gajah dan diwajibkan menanam tanaman yang tidak disukai gajah di pinggiran perkebunan (misalnya cabai atau tanaman lain yang beraroma kuat).

Kisah Tari, sang gajah kecil, adalah memoar luka yang tak boleh kita lupakan. Ia adalah representasi dari setiap individu Gajah Sumatera yang diam-diam berjuang di tengah rimba yang kian menyempit. Kepergiannya adalah seruan terakhir, sebuah ultimatum bagi kita untuk bertindak segera dan kolektif.

Jika kita gagal melindungi Tari dan habitatnya, kita tidak hanya kehilangan seekor gajah, melainkan kita telah kehilangan sepotong warisan alam dunia. Sudah saatnya kita mengubah narasi pilu ini menjadi kisah sukses konservasi, di mana kolaborasi adalah kuncinya, dan koeksistensi adalah tujuannya.

Selamat jalan, dede Tari. Semoga engkau tenang di surga para gajah, dan kepergianmu tidak sia-sia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun