Alih-alih fokus dengan alasan pecah kongsi atau ngebandingin produk yang oleh banyak reviewer makanan dipaksa berbeda agar ada konten itu, rasanya aku lebih tertarik buat nyari tahu lebih lanjut gimana Roti'O--"anak" Rotiboy--menang banget di pasar Indonesia. Soalnya kalau melihat dari awal hadirnya produk coffee bun di Indonesia, produk OG-nya adalah Rotiboy karena masuk tahun 2004. Sedangkan Roti'O, baru muncul tahun 2012. Â
Jadi, merk yang produk coffee bun-nya pertama kali hadir, pertama kali ngenalin, dan pertama kali populer adalah si Rotiboy ini. Masalahnya, kenapa bisa "orang tua" dari Roti'O ini justru bisa dibilang kalah telak sama anak yang terlahir bukan karena ketuban, tapi karena kongsi yang pecah ini?Â
Apalagi, setahuku di The Immutable Laws of Marketing--buku tentang hukum pemasaran yang keknya abadi itu--bilang di bagian pertama, The Law of Leadership, yang kurang lebih jelasin, "It's better to be first, than it is to be better." Mending jadi yang pertama di kepala konsumen ketimbang jadi yang "paling bagus" di kategori tertentu--dalam hal ini produk coffee bun.Â
Kalau hukumnya begitu, harusnya si Rotiboy ini, dong, yang jadi pemimpin kategorinya di Indonesia sampai sekarang? Nyatanya, data bilang kalau Rotiboy punya antara 31 - 60 outlet (nggak tahu mana data yang valid), sedangkan Roti'O udah punya lebih dari 680 outlet. Kebantai banget, kan?
Starting Point Gerai Roti'O Menyentuh Segmen Pasar Yang Lebih Kolosal Dari Rotiboy
Setelah nyari tahu, salah satu faktor yang mungkin bikin ortu Rotiboy kalah telak ini karena dari start-nya yang berbeda. Rotiboy itu, lahir di gedung perkantoran yang prestisius, yakni BNI Tower / BNI 46. Tempatnya ada di bangunan setinggi 262 meter, yang ketika aku baca, jadi salah satu icon Jakarta dan lokasinya berada di area Sudirman. Bahkan, ada yang bilang kalau BNI Tower ini berada di area "Golden Triangle" yang intinya lokasi strategis buat bisnis. Melihat dari lokasinya, ini adalah kantor tapi agak terbuka ke publik. Soalnya di bagian lantai dasar dan lobi, tersedia cafe, toko, ballroom, dan beberapa spot yang mantep buat foto.Â
Hal ini berbeda dengan Roti'O yang gerai awalnya langsung memilih Stasiun Jakarta Kota. Bukan di gedung elite, atau mall. Roti'O langsung menyusup ke tengah-tengah keramaian. Di situ, ribuan komuter berlalu-lalang naik-turun kereta setiap hariya. Kalau lagi peak moment, bisa sampai puluhan ribu orang yang tentu jadi "kolam ikan" besar untuk Roti'O. Bagusnya lagi, Roti'O dapet tempat strategis karena buka di peron atau area tunggu stasiun. Setahuku, biasanya gerai Roti'O dekat sama eskalator atau exit zona protokol. Jadi, gampang banget dilihat dan diakses ribuan calon konsumennya.Â
Trafficnya tinggi, wangi roti yang lebih mantep daripada Dior Sauvage, pekerja kantoran yang nggak sempet sarapan dan buru-buru, orang yang menanti kekasih datang di ruang tunggu lalu kelaperan, produk yang ready-to-go, sampai harganya yang terjangkau, jadi instrumen orkestra marketing paling nguntungin yang bisa "dimainin" oleh suatu brand.Â
"Tapi, bukannya traffic di BNI Tower juga tinggi, ya?"Â
Betul, memang. Hanya saja, dari lokasinya yang masuk area "Golden Triangle" saja, sudah bisa dipastikan orang macam apa yang ada di sana, yakni profesional, tamu corporate, dan kelas menengah ke atas. Memang, trafficnya tinggi tapi sifatnya pasar corporate yang jelasin kalau Rotiboy ini menyasar segmen premium atau menengah ke atas. Beda sama Roti'O yang lebih menargetkan pasar massal. Lokasinya sangat ideal untuk memulai usaha. Apalagi produknya udah oke punya, diproduksi sendiri, didistribusikan sendiri, dan terinspirasi dari orangtuanya sendiri.Â
Roti'O Ambisius Buka Cabang Di Berbagai Lokasi Untuk Menyentuh Semua Lapisan Sosial