Mohon tunggu...
Fioreza F. Z
Fioreza F. Z Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, FIS, UNJ

19:45 PM - Perfect Cardamome

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PJJ di Tengah Langgengnya Kesenjangan Sosial Masyarakat Indonesia

5 Januari 2021   20:56 Diperbarui: 9 Januari 2021   20:52 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Datangnya pandemi Covid-19 membuat pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan work from home (WFH). Dalam rangka melaksanakan kebijakan tersebut, masyarakat diarahkan untuk memanfaatkan media internet sebagai modal dalam berbagai kegiatan. Arena sosialisasi semakin bergeser ke dunia maya, mulai dari ekonomi, politik, dan pendidikan. Hal ini berpengaruh pada jumlah pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna Internet di Indonesia meningkat menjadi 73,7% pada kuartal II tahun 2020. Ranah penggunaan konten internet juga bergeser, dimana konten pendidikan menjadi lebih sering diakses pada masa pandemi.

Memang sejak bulan Maret 2020, sekolah-sekolah di Indonesia mulai melakukan kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sekitar 45 juta pelajar Indonesia belajar dari rumah, baik itu jenjang sekolah dasar, menengah, dan jenjang perguruan tinggi. Secara keseluruhan, konsep pembelajaran daring terlihat efisien dan fleksibel. Segala kegiatan dilakukan di rumah dan masyarakat dapat bersekolah dengan memanfaatkan teknologi. Modal yang dibutuhkan minimal adanya smartphone atau laptop untuk penunjang yang lebih baik, kuota internet dan sinyal yang memadai. Selain itu kita kemudian hal yang terpenting adalah kesiapan secara mental. Pada kenyataannya, berbagai hambatan mulai muncul ketika awal-awal diberlakukan PJJ. Masyarakat mengalami shock karena pembelajaran daring tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pembelajaran daring bisa dibilang merupakan hal baru bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran kesiapan mental baik peserta didik dan guru masih sangat kurang untuk menyambut pembelajaran daring. Penetapan PJJ di seluruh Indonesia menjadi contoh kekerasan simbolik dalam pendidikan. Mengapa dan bagaimana bisa seperti itu? Pandemi mengantarkan pembelajaran daring menjadi solusi sekaligus konsekuensi yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam pendidikan.

Pendidikan memang merupakan hak bagi setiap warga negara, tetapi pada kenyataannya ketika ingin menggapai pendidikan seseorang harus dihadapkan dengan modal. Jika kita pinjam pemikiran Bordieu, modal ini diantaranya adalah modal sosial (hubungan antar sesama individu), modal budaya (serangkaian kemampuan individu dalam bermasyarakat), dan modal simbolik (sumberdaya yang dimanfaatkan untuk meraih prestise). Modal ini saling berkaitan dan setiap masyarakat miliki modal yang berbeda-beda. Nantinya modal tersebut dapat menentukan kualitas dan kuantitias pendidikan yang akan dicapai. Mereka yang berasal dari kelas bawah umumnya memiliki kesempatan yang terbatas karena terhalang oleh modal. Bagi kelas bawah, pendidikan diambil sebagai jalan meningkatkan status sosial. Sementara bagi kelas atas pendidikan adalah jalan untuk mempertahankan status sosial dan alat untuk menanamkan habitus mereka kepada kelas bawah. Berangkat dari landasan tersebut, maka hingga saat ini pendidikan masih berperan dalam reproduksi kesenjangan sosial dan kelas di masyarakat.

Melalui kebijakan PJJ sekolah menjadi tempat sosialisasi habitus kelas dominan, di sini pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, kepada mereka yang tertinggal. Martono (2012:36) mengemukakan bahwa habitus adalah struktur pemikiran dan tindakan yang bertahan lama, yang menghubungkan individu dengan sekitarnya. Dewasa ini tidak sedikit guru yang masih gagap teknologi. Sehingga mau tidak mau mereka harus bisa beradaptasi dengan teknologi sembari menyusun metode pembelajaran yang kretif demi tercapainya tujuan pembelajaran. Namun di sisi lain ketika kita melihat para peserta didik, mereka tidak kalah terbebani oleh adanya PJJ. Banyak materi dan tugas yang diberikan namun mereka sendiri merasa tidak belajar apa-apa. Pembelajaran menjadi tidak dapat dikendalikan, guru juga tidak bisa mengetahui secara pasti siapa yang benar-benar memperhatikan ketika kelas daring. Hal ini membuat siswa menjadi semakin apatis di kelas. Padahal pendidikan seharusnya merupakan kegiatan komunikasi, dimana terjadinya transfer ilmu dan feedback yang seimbang antara dua pihak.

Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Setiap individu memiliki latar belakang dan keadaan lingkungan yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun pendidikan di Indonesia menggunakan metode konvensional atau tatap muka. Dewasa ini, bahkan hanya beberapa institusi pendidikan di Indonesia yang sudah melaksanakan pembelajaran daring dan umumnya adalah tingkat perguruan tinggi. Hal itu dikarenakan perguruan tinggi dinilai sudah lebih siap dari aspek fasilitas dan taraf pengetahuan. Namun pembelajaran daring merupakan sebuah opsi, dan tidak semua universitas memilih opsi tersebut sebelum hadirnya pandemi Covid-19. Misalnya di STKIP Agama Hindu Amlapura, Bali. Sebanyak 61,5% mahasiswa mengaku belum pernah melakukan pembelajaran online. Beda halnya dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka memang sudah menerapkan model pembelajaran blended learning. Dimana dari penjelasan Surachman (2016:121) blended learning adalah perpaduan strategi pembelajaran kelas antara pemanfaatan teknologi (daring) dengan pembelajaran konvensional. UMY menetapkan kelas daring sebanyak 40% dari perhitungan seluruh pertemuan. Sehingga ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembelajaran jarak jauh, UMY tinggal menambah durasi perkuliahan daring mereka.

Seorang anak bisa saja tinggal di wilayah perkotaan dan memiliki berbagai fasilitas pembelajaran yang mendukung kegiatan PJJ di rumahnya. Fasilitas tersebut misalnya smartphone, laptop, wi-fi, dan jaringan stabil. Sementara itu, di tempat lain keadaan berbanding terbalik. Selama pelaksanaan PJJ di Tanah Air kita, tidak sedikit siswa yang mengeluhkan keterbatasan alat elektronik seperti laptop dan bahkan smartphone. Karena aplikasi-aplikasi yang digunakan selama PJJ tidak dapat diakses semua gawai, kecuali smartphone. Sehingga masih ada anak yang harus bergantian menggunakan smartphone dengan orang tuanya yang bekerja, kemudian adapula yang akhirnya berkumpul di suatu tempat dan menggunakan smartphone bersama kelompok belajar yang telah dibuat.

Kebutuhan kuota untuk mengakses konten pendidikan di internet melonjak. Harga kuota data yang cukup mahal tentu memberatkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Sehingga pemerintah mengeluarkan dana sebesar 7,2 triliun untuk bantuan kuota data bagi seluruh siswa di Indonesia. Bantuan kuota memang meringankan pelajar dalam melaksanakan PJJ. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi mereka yang tinggal di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) Indonesia. Masyarakat kawasan 3T masih ada yang belum terjamah internet dan bahkan listrik. Ketika awal PJJ dilaksanakan saja, masih banyak masyarakat kota yang belum mengenal zoom, google meet, serta etmodo. Apalagi mereka yang belum terjamah internet karena jaringan paling bagus di daerahnya, ya, paling bagus 2G (GPRS/EDGE). Di berbagai media massa dapat kita lihat berita mengenai anak yang harus menghadapi segala macam problematika karena kesulitan sinyal. Guru memberikan bahan ajar dan tugas dengan tenggat waktu tertentu kepada peserta didik, sementara mereka kesulitan sinyal dan tidak dapat memahami materi yang diberikan. Akibatnya peserta didik harus terlambat mengumpulkan tugas. Untuk meminimalisir dampak dari segala keterbatasan ketika PJJ bahkan sampai ada guru-guru yang harus menghampiri ratusan siswanya. Hal itu tentu tak lepas dari rasa tanggung jawab seorang guru dan juga untuk mencapai proses pembelajaran yang lebih optimal.

Pelaksanaan PJJ memperluas penetrasi usia pengguna internet. Saat ini anak usia enam tahun sudah menjadi pengguna internet. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk membimbing kegiatan PJJ anaknya di rumah. Para orang tua dengan pendidikan rendah tidak dapat membantu banyak untuk mengajarkan anak mengenai materi dari sekolah. Hal ini tentu berpengaruh pada hasil pembelajaran anak. Di beberapa tempat bahkan ada anak yang akhirnya tidak mengikuti kegiatan PJJ dan memilih untuk bekerja di kebun oleh orang tuanya. Kemungkinan terburuk adalah nantinya anak menjadi putus sekolah dan menurunnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak.

Padahal munculnya Pandemi membuat adanya dorongan dalam transformasi model pendidikan daring di Indonesia. Pembelajaran di masa Pandemi memberikan peluang agar masyarakat mampu beradaptasi dengan teknologi, terutama di bidang pendidikan. Buktinya setelah hampir dua semester menjalankan kegiatan pembelajaran jarak jauh, mayoritas tenaga pendidik dan peserta didik sudah mulai menguasai berbagai media pembelajaran online. Tenaga pendidik semakin didorong untuk tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan teknologi inforrmasi. Mereka harus menciptakan berbagai model pembelajaran yang kreatif dengan memanfaatkan media yang ada di internet. Sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai tanpa menekankan berbagai tugas yang membebani peserta didik. Misalnya di Universitas Negeri Jakarta, ada dosen-dosen yang membuat podcast untuk mengisi mata kuliah. Hal tersebut disambut baik oleh mahasiswa, podcast informatif dapat didengarkan kapan saja dan merupakan hal yang banyak diketahui oleh kalangan muda. Bukan hanya mahasiswa, kemungkinan masyarakat luar yang ingin mengetahui topik tertentu bisa saja tanpa sengaja menemukan podcast tersebut di aplikasi seperti Spotify dan Anchor.

Pelajar termasuk kalangan dengan kontribusi pengguna internet terbesar di Indonesia. Apalagi sekarang anak kelas satu sekolah dasar, sebagai generasi penerus bangsa, sudah membutuhkan internet untuk menunjang kegiatan pembelajaran mereka. Sosialisasi penggunaan internet untuk hal yang lebih bermanfaat dapat dilakukan sejak dini, berhubung mereka sudah mulai aktif menggunakan internet. Hal ini tentu perlu dukungan dari keluarga sebagai agen sosialisasi terdekat seorang individu, terutama anak sebagai seorang pelajar. Berbagai informasi terus diperbaharui dalam jaringan internet. Melalui internet peserta didik juga bisa mengasah dan melakukan eksplorasi kreativitas mereka. Jika semakin banyak yang menggunakan internet untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan maka diharapkan kedepannya masyarakat akan menjadi menjadi lebih maju. Berbagai lapisan masyarakat dapat mengenal, bahkan menciptakan, situs-situs pendidikan dan melakukan transfer ilmu secara cepat melalui media internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun