Tak ada harmonisasi bunyi para burung,
Dan aroma khas yang muncul dari arwah kaki gunung.
Tak ada pasang surut deru ombak air laut,
Serta desir angin yang sampaikan pesan permata.
Sabtu malam membisu.
Sebelah tangannya melambai-lambai pada jiwa-jiwa kelabu.
Sekian rasanya habis terkuras,
tak tersisa.
Secepat itu pula terbang ke sudut bumi yang belum tuntas.
Ke tempat matahari tenggelam,
Ke atas makam-makam kebencian,
Bergulut bergantian memenggal rembulan,
Di bungkusnya cahaya dalam kado keheningan.
Sabtu malam merindu.
Gejolak itu beranak-pinak,
Bukan di sungai nil,
Jangan di rahim efrat.
Tapi di lambung jeruji tanpa debu.
Ini lain dari malam perhitungan.
Mengapa mesti menebus kematian nalarnya?
Apa mungkin ada yang lebih ramah selain peringatan?
Mungkin saja cinta yang membatu.
Sabtu malam, kala itu.
Empat angsa di pematangan kota, diburu, membiru.
***
Rajagaluh, 9 Juni 2019.
Fingga Almatin