Mohon tunggu...
Fingga Martin
Fingga Martin Mohon Tunggu... Penulis - Penyair Jalan

CP: fingga.martin86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jeruji Suci (Chapter 1)

7 Juni 2019   14:59 Diperbarui: 7 Juni 2019   15:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Uneventful.me

Bu Lilis yang duduk bergabung di atas kursi panjang, di samping pak Sumardi, kembali bertanya, "Jadi, nak Oding sendiri tidak mengetahui ibu dan bapak kandungnya?" Dengan nada sedikit terkejut.

            "Dari SD sampai SMP, saya dibesarkan oleh ibu panti asuhan. Saya tidak pernah kenal dan akrab dengan belaian orang tua kandung saya. Tapi entah kenapa, ibu panti asuhan telah mengajarkan banyak hal pada saya. Sehingga saya menganggap bahwa mungkin seperti itulah belaian dari orang tua yang dulu sempat mengandung saya. Agaknya tidak terlalu jauh berbeda." Mata Oding bergerak ke arah bu Lilis dan pak Sumardi.

            "Lalu, apa mungkin kalian akan bertanya kenapa saya bisa sampai di sini?" mereka berdua mengangguk-anggukan kepala, menantikan Oding bercerita lebih lanjut tentang hidupnya. Rumah bilik pun menghening. Sementara hanya terdengar percikan air minum yang dituangkan oleh Oding ke dalam gelas yang kosong.

            "Jadi begini, pak, bu," ucap Oding sebelum mengosongkan kembali gelasnya. Memompa tenaga untuk kembali menceritakan riwayatnya.

            "Dari sejak kelas satu SD sampai kelas enam, saya selalu menjadi juara kelas. Bahkan teman-teman saya---yang nampaknya memiliki keluarga harmonis, juga dibesarkan oleh kedua orang tua kandungnya---selalu iri kepada prestasi yang telah saya dapatkan. 'Aku ingin seperti Oding, dia selalu menjadi juara kelas. Aku juga ingin seperti Oding, karena punya banyak piala kejuaraan.' Kurang lebih begitulah keluhan teman-teman saya. Tapi bagi saya, mungkin bisa saja memberikan mereka sebuah nilai, prestasi, atau piala. Tapi apakah mereka bisa memberikan saya seorang Ibu dan Bapak, seperti yang mereka rasakan? Akhirnya saat sebelum saya lulus SD, ada seorang teman yang satu kelas, dan satu bangku dengan saya, yang ingin memiliki nilai tinggi. Tentu sesuai dengan syarat yang selalu saya dambakan, yaitu saya mesti mendapatkan imbalan berupa seorang Ibu dan Bapak. Dan ternyata, teman saya yang sering dipanggil Dadut itu, pun akan menjanjikan mimpi-mimpi saya tersebut. Singkat cerita, saya berhasil membantu Dadut mendongkrak nilai-nilai yang semulanya membusuk. Paling tidak sebelum ia lulus, menjadi juara dua adalah satu kebanggaan terbesar bagi hidupnya."

            "Terus yang juara satunya siapa, nak?" Pak Sumardi menyela pembicaraanku.

            "Ah, bapak! Dengerin dulu nak Oding bicara atuh," bu Lilis sedikit geram pada suaminya.

            "Baik, baik, jadi setelah semua kesepakatan itu saya lakukan, alhasil Dadut pun menepati syarat yang telah saya buatkan. Esok harinya, Dadut mendatangi panti asuhan bersama seorang lelaki dan perempuan. Yaitu pak Rio dan bu Tessa. Katanya, kedua orang itulah yang akan mengangkat saya sebagai anaknya. Tapi sebelum saya menyadari, bahwa Dadut adalah seorang bandar sabu-sabu dari sejak kelas lima SD. Dan semua itu terbongkar ketika saya menolak perintah pak Rio, untuk memberikan sebuah kotak kecil pada seorang siswa SMK, sepulang saya sekolah. Pak Rio bilang, isi kotak kecil itu hanyalah sebatas jam tangan pesanan. Namun, karena terbesit rasa curiga dalam benak saya, ketika melihat mimik wajah pak Rio saat berbicara, kotak itu pun akhirnya saya buka. Ternyata benar, tidak lain lagi bahwa itu adalah tembakau gorila. Seperti yang sering saya lihat di televisi dan Koran."

            "Astagfirullah, nak!" pak Sumardi terperangah, lalu mengelus-elus dadanya. Sementara bu Lilis terlihat begitu lemas, sesaat mendengarkan riwayat hidup seorang pemuda yang dibesarkan di lingkungan terlarang.

            "Setelah semua itu saya ketahui, rencananya saya akan kabur dari wilayah tersebut. Tapi ternyata, tidak semudah yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan saya sempat mengeluh terhadap pak Rio, untuk berhenti mengantarkan barang-barang pesanannya. Namun percuma saja. Bukannya menghentikan pekerjaan saya, justru malah menambah ancaman hidup." Tangan Oding merogoh kojeknya, mengeluarkan sebungkus rokok. Secepatnya ia menyalakan pemantik, menyulut sebatang rokok yang telah disumpit kedua jarinya. 

            "Jadi, semua itu yang mengakibatkan nak Oding dikejar-kejar oleh intel?" Tanya pak Sumardi, menaruh asbak di depan Oding. Sedangkan bu Lilis segera menyiapkan air hangat untuk Oding membersihkan badannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun