Mohon tunggu...
Fingga Martin
Fingga Martin Mohon Tunggu... Penulis - Penyair Jalan

CP: fingga.martin86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jeruji Suci (Chapter 1)

7 Juni 2019   14:59 Diperbarui: 7 Juni 2019   15:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Uneventful.me

  

"Berhenti!" Pekik seorang lelaki bertubuh kekar, berwajah garang, dan sebuah bedil digenggamnya erat-erat. Jaket jeans yang dipakainya hanya sebatas kamuflase dari tugasnya sebagai Intelegen Negara. Tapi sungguh sayang, sekelas intel sekalipun tak mampu mengejar kecepatan lari seorang target operasinya tersebut.        

            "Dor-dor-dor," tiga kali bertahap suara tembakan bedil mengudara. Telunjuknya masih menempel pada pelatuk, dan tetap membidik ke arah langit. Peluru yang telah melesat tinggi, membentuk sebuah simbol perhatian agar seseorang yang dikejarnya itu segera berhenti berlari, kemudian menyerahkan diri. Namun tampaknya, suara tembakan itu tidak membuahkan hasil apa-apa.

Sial! Sial! Sial!

Tangan kirinya menyibakan pohon-pohon jagung, seraya menekan pelatuk berkali-kali, sampai tabung pelurunya kosong tak terkendali. Dan ia kembali mengejar target operasinya yang berhasil meloloskan diri.

            Seperti iklan-iklan yang belakangan ini ramai di berbagai stasiun televisi. 'Stop Narkoba! Jauhi Narkoba! Selalu Dekatlah Dengan Keluarga! Di setiap pelosok-pelosok desa pun sudah banyak orang yang memakainya. Terkadang ada saja oknum yang tergiur pada keuntungan penjualan aneka jenisnya.

            "Maaf, sepertinya di sini kami tidak menyediakan tempat persembunyian." Ujar seorang lelaki, layaknya sudah berkepala lima. Mematung di ruang tengah rumah miliknya. Bersama perempuan yang ikut terkejut melihat pemuda yang bersembunyi di balik pintu rumah mereka. Nampak ketakutan. Dan pemuda itu pun menoleh ke arah mereka berdua, sembari menutup kembali gorden yang dibukanya sedikit-sedikit. Saat sedang mengintip seseorang yang mengejarnya.

            "Tok-tok-tok," pintu diketuk. "Assalamu'alaikum," seorang lelaki menyapa rumah yang satu-satunya berada di tepi kebun jagung.

            "Wa'alaikumussalam." Sahut pemilik rumah, seraya membukakan pintu.

            "Apa bapak melihat seorang pemuda memakai seragam SMA lewat sini?" Tanyanya tanpa berbasa-basi. Sementara bapak pemilik rumah itu pun memasang wajah polos. Seakan-akan tidak pernah melihat pemuda itu, yang telah mengganggu aktivitas makan siangnya.

            "Dari tadi saya sedang makan sama istri saya, pak. Jadi tidak sempat memerhatikan seseorang yang melintas di depan rumah." Jawabnya sambil menampan piring makan.

Seorang intel itu pun kebingungan.

            "Oh, gitu. Seragamnya putih, pak. Dan di saku depannya berlogo osis, sobek. Rambutnya setengah gondrong, agak bergelombang, sampai menutupi kedua telinganya. Dan mungkin sedikit sobekan juga di celana bagian lututnya. Seperti bekas jatuh di tanah merah." Seorang intel dengan tegas memaparkannya dengan sangat rinci. Namun istri bapak pemilik rumah itu tidak tinggal diam. Ia berdiri di belakang suaminya. Dan ikut berbicara. Secara tidak langsung mengusir intel tersebut.

            "Kalau begitu terima kasih informasinya, pak. Nanti kalau kami menemukan orang yang seperti ciri-ciri tersebut, secepatnya kami akan segera melapor." Ujarnya.

            "Baiklah, kalau begitu saya pamit pergi dulu. Assalamu'alaikum," wajah garang seorang intel pun rupanya masih bisa tersenyum.

            "Wa'alaikumussalam," serentak pasangan pemilik rumah tua menjawab senyumnya. Namun tiba-tiba, seseorang dari mereka berdua menyela langkah intel tersebut yang tengah bergerak melangkah dengan cepat.

            "Sebentar, pak. Kalau boleh tahu, ada apa dengan orang yang sedang bapak cari itu?" Senyum pun mulai menghilang. Berganti dengan kerutan alis yang penuh tanda tanya. Sepatu gunung yang dikenakan intel itu sejenak terhenti. Ia membalikan badannya, lalu berkata, "dia target operasi, dalam kasus jual beli narkoba jenis tembakau gorilla."   

             

***

"Kamu masih terlalu muda untuk masuk penjara, nak. Itulah sebabnya saya menyuruhmu bersembunyi di dalam kamar mandi. Karena lebih baik kamu masuk pesantren saja." Lirik pak Sumardi.

            "Hah?!! Pesantren?!" Pemuda berseragam kucel pun terkejut. Seakan hidupnya lebih terancam oleh kata 'Pesantren', ketimbang bui. 

            "Ta-tapi, kenapa bapak tidak menyuruh saya tinggal di sini saja, pak? Bapak bisa kok memperlakukan saya layaknya orang-orang di pesantren." Meskipun di sekolah SMA-nya ada banyak program pesantren kilat, bahkan ia sendiri merasa asing dengan kata pesantren itu.

            "Ah... sial." Pemuda itu menggerutu mengacak-acak rambutnya. Jadi semakin terlihat seperti gembel.

            "Sudahlah, nak. Benar apa yang dikatakan bapak barusan. Kamu akan lebih baik tinggal di pesantren. Karena selain pimpinan pesantrennya kenal dekat dengan kami berdua, kamu juga akan terhindar dari pengejaran intel." Bu Lilis ikut latah merayu-rayu pemuda tersebut.

            Pak Sumardi adalah seorang petani di kebun jagung. Sudah belasan Tahun ia mendedikasikan paruh tenaganya sebagai petani, bersama istri tercinta, ibu Lilis. Tinggal di satu tempat yang jauh akan kebisingan suara knalpot motor dan mobil. Bahkan istananya terlalu megah jika dibandingkan dengan rumah-rumah milik Pegawai Negeri Sipil. Meskipun setiap dinding istananya hanya menggunakan bilik-bilik yang terbuat dari bambu.

            Selepas mereka berdua ditinggalkan lebih dulu oleh anak tunggalnya---tiga Tahun silam---karena pengaruh dzat yang terkandung di dalam sabu-sabu. Sehingga nyawa anaknya itu tak bisa lagi ditolong. Seketika itulah mimpi bu Lilis dan pak Sumardi ikut terkubur. Bagi mereka, kehilangan satu ladang kebun jagung pun tidak akan pernah setimpal dengan nyawa anaknya, bernama Falah. Dan seandainya ia masih hidup hari ini, mungkin ia sudah menjadi seorang Tentara. Seperti yang dicita-citakan pak Sumardi. Atau mungkin menjadi seorang kiyai. Sesuai nasihat-nasihat bu Lilis, sewaktu Falah masih seumuran dengan pemuda dekil tersebut.

            Oleh sebabnya, mereka berdua seolah-olah mendapati bahan tempaan mutiara baru, ketika melihat pemuda itu mengendap bersembunyi ke dalam istananya. Hingga sempat-sempatnya menyuruh ia masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian berbohong pada seseorang yang sedang mencarinya.

            Namun pak Sumardi mesti bersungguh-sungguh jika ingin menjadikan mutiara itu terlihat bening, mengkilap, sehingga banyak diburu setiap orang karena hasil tempaannya. Tidak seperti sekarang. Pemuda itu sungguh terlihat kumuh, dekil, bahkan sedikit tercium bau busuk dari celana abu-abunya yang dilumuri bercak hitam (bekas nyemplung di comberan).

            "Jadi, sebenarnya, kamu ini siapa, nak?" Tanya bu Lilis, penuh selidik---menjelajahi sekujur tubuh pemuda tersebut. Sementara pak Sumardi hanya sekelebatan melirik-lirik ke arah istrinya.

            "Orang-orang memanggil saya Oding, pak, bu." Sahutnya, lugas. Tapi kedua orang tua yang dianggap jompo oleh pemuda itu, pun terhenti menatapi bordilan---tanda nama pengenal yang terpampang di kemejanya, bertuliskan ''HASAN AL-KODIR".

            "Nah, kalau ini nama asli saya." Dengan cepat, Oding menjawab tatapan mereka.

Oding merasa keheranan atas perlakuan manusiawi yang baru saja ia temukan seumur hidupnya.

            "Seharusnya, seorang pelajar itu cukup belajar saja, nak. Tidak usah macam-macam menjual-belikan barang haram. Bagaimana jika nanti orang tuamu tahu?" Ujar pak Sumardi, seraya memberikan segelas air minum pada Oding.

            "Nama ini pemberian dari Ibu panti asuhan, pak." Jawab Oding, sesaat kemudian meneguk habis air minum yang disuguhkan untuknya. Alih-alih jawabannya itu membuat sepasang suami istri petani jagung ingin tahu lebih banyak tentang Oding.

Bu Lilis yang duduk bergabung di atas kursi panjang, di samping pak Sumardi, kembali bertanya, "Jadi, nak Oding sendiri tidak mengetahui ibu dan bapak kandungnya?" Dengan nada sedikit terkejut.

            "Dari SD sampai SMP, saya dibesarkan oleh ibu panti asuhan. Saya tidak pernah kenal dan akrab dengan belaian orang tua kandung saya. Tapi entah kenapa, ibu panti asuhan telah mengajarkan banyak hal pada saya. Sehingga saya menganggap bahwa mungkin seperti itulah belaian dari orang tua yang dulu sempat mengandung saya. Agaknya tidak terlalu jauh berbeda." Mata Oding bergerak ke arah bu Lilis dan pak Sumardi.

            "Lalu, apa mungkin kalian akan bertanya kenapa saya bisa sampai di sini?" mereka berdua mengangguk-anggukan kepala, menantikan Oding bercerita lebih lanjut tentang hidupnya. Rumah bilik pun menghening. Sementara hanya terdengar percikan air minum yang dituangkan oleh Oding ke dalam gelas yang kosong.

            "Jadi begini, pak, bu," ucap Oding sebelum mengosongkan kembali gelasnya. Memompa tenaga untuk kembali menceritakan riwayatnya.

            "Dari sejak kelas satu SD sampai kelas enam, saya selalu menjadi juara kelas. Bahkan teman-teman saya---yang nampaknya memiliki keluarga harmonis, juga dibesarkan oleh kedua orang tua kandungnya---selalu iri kepada prestasi yang telah saya dapatkan. 'Aku ingin seperti Oding, dia selalu menjadi juara kelas. Aku juga ingin seperti Oding, karena punya banyak piala kejuaraan.' Kurang lebih begitulah keluhan teman-teman saya. Tapi bagi saya, mungkin bisa saja memberikan mereka sebuah nilai, prestasi, atau piala. Tapi apakah mereka bisa memberikan saya seorang Ibu dan Bapak, seperti yang mereka rasakan? Akhirnya saat sebelum saya lulus SD, ada seorang teman yang satu kelas, dan satu bangku dengan saya, yang ingin memiliki nilai tinggi. Tentu sesuai dengan syarat yang selalu saya dambakan, yaitu saya mesti mendapatkan imbalan berupa seorang Ibu dan Bapak. Dan ternyata, teman saya yang sering dipanggil Dadut itu, pun akan menjanjikan mimpi-mimpi saya tersebut. Singkat cerita, saya berhasil membantu Dadut mendongkrak nilai-nilai yang semulanya membusuk. Paling tidak sebelum ia lulus, menjadi juara dua adalah satu kebanggaan terbesar bagi hidupnya."

            "Terus yang juara satunya siapa, nak?" Pak Sumardi menyela pembicaraanku.

            "Ah, bapak! Dengerin dulu nak Oding bicara atuh," bu Lilis sedikit geram pada suaminya.

            "Baik, baik, jadi setelah semua kesepakatan itu saya lakukan, alhasil Dadut pun menepati syarat yang telah saya buatkan. Esok harinya, Dadut mendatangi panti asuhan bersama seorang lelaki dan perempuan. Yaitu pak Rio dan bu Tessa. Katanya, kedua orang itulah yang akan mengangkat saya sebagai anaknya. Tapi sebelum saya menyadari, bahwa Dadut adalah seorang bandar sabu-sabu dari sejak kelas lima SD. Dan semua itu terbongkar ketika saya menolak perintah pak Rio, untuk memberikan sebuah kotak kecil pada seorang siswa SMK, sepulang saya sekolah. Pak Rio bilang, isi kotak kecil itu hanyalah sebatas jam tangan pesanan. Namun, karena terbesit rasa curiga dalam benak saya, ketika melihat mimik wajah pak Rio saat berbicara, kotak itu pun akhirnya saya buka. Ternyata benar, tidak lain lagi bahwa itu adalah tembakau gorila. Seperti yang sering saya lihat di televisi dan Koran."

            "Astagfirullah, nak!" pak Sumardi terperangah, lalu mengelus-elus dadanya. Sementara bu Lilis terlihat begitu lemas, sesaat mendengarkan riwayat hidup seorang pemuda yang dibesarkan di lingkungan terlarang.

            "Setelah semua itu saya ketahui, rencananya saya akan kabur dari wilayah tersebut. Tapi ternyata, tidak semudah yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan saya sempat mengeluh terhadap pak Rio, untuk berhenti mengantarkan barang-barang pesanannya. Namun percuma saja. Bukannya menghentikan pekerjaan saya, justru malah menambah ancaman hidup." Tangan Oding merogoh kojeknya, mengeluarkan sebungkus rokok. Secepatnya ia menyalakan pemantik, menyulut sebatang rokok yang telah disumpit kedua jarinya. 

            "Jadi, semua itu yang mengakibatkan nak Oding dikejar-kejar oleh intel?" Tanya pak Sumardi, menaruh asbak di depan Oding. Sedangkan bu Lilis segera menyiapkan air hangat untuk Oding membersihkan badannya.

            Hari itu, Oding sungguh terlihat seperti tuan raja yang baru pulang ke istana. Kedatangannya disambut bahagia oleh kedua orang tua---yang tentu saja bukan peristiwa kebetulan terjadi. Karena Tuhan telah menjawab do'a-do'a pak Sumardi dan bu Lilis, selama bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi oleh Falah.

            "Ya, mungkin begitulah salah satunya, pak. Intinya saya dibesarkan oleh seorang penjahat."

            "Ya sudah, nak. Coba silahkan dipikirkan kembali, dengan tawaran saya sebelumnya. Apa nak Oding mau jika tinggal di pesantren? Masalah biaya itu, biar bapak dan ibu saja yang menanggung. Bagaimana?" Oding terhenti sejenak.

            "Pak... " dari arah dapur, bu Lilis memanggil suaminya tercekat.

            "Sebentar ya, nak." Pak Sumardi memberi kesempatan Oding untuk berpikir.

            "Iya, ada apa bu?"

            Alih-alih setelah mendengar riwayat Oding, ibu Lilis teringat kembali perihal kematian anaknya, Falah. Seketika itu, bu Lilis enggan kembali duduk berbincang-bincang dengan Oding.

            "Ibu tenang aja, Oding ini kan sama-sama sebagai korban juga, bu." Pak Sumardi mendekatkan mulutnya di belakang telinga istrinya.

            "Pokoknya, besok kita harus segera pergi ke tempat pak Kyai."

            "Tapi, pak... "

            "Sutttt," pak Sumardi menempelkan telunjuk di bibir istrinya.

            "Segera siapkan, dan kemasi barang-barang milik Falah." Kemudian kembali pergi ke ruang tengah.

            Oding masih terlihat bingung dengan kepulan asap rokok yang dihembusnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mungkin jika pak Sumardi benar-benar akan memasukkan dirinya ke pesantren? Sedangkan pertemuannya saja baru beberapa menit yang lalu. Apakah ini jebakan?

            "Jadi, bagaimana nak Oding?" tanya pak Sumardi, mengaburkan skeptis Oding terhadapnya.

            "Saya masih bingung, pak."

            "Loh, apa yang mesti dibingungkan lagi? Nak Oding hanya tinggal menyetujui kesepakatan dari bapak saja. Ini juga demi kebaikan nak Oding kan?"

            "Kenapa bapak begitu antusias ingin memasukkan saya ke pesantren?" Pak Sumardi sekejap tak berbicara. Pertanyaan Oding seakan-akan telah membungkamnya.

            "Apa jangan-jangan, bapak mau menjebak saya?!"

            "Tidak, nak!"

            "Lantas kenapa, pak?"

            "Jawaban itu akan kamu temukan sendiri, setelah kamu berada di pesantren."

            "Tapi, bapak benar tidak sedang menjebak saya?"

            "Untuk apa saya menyuruh nak Oding bersembunyi di dalam kamar mandi, jika harus melemparkan kembali ke tempat yang tidak baik?"

Akhirnya kesepakatan pun dibuat oleh pak Sumardi dan Istrinya, yang kemudian disetujui oleh pemuda itu.

            Apa langkah awal yang mesti Oding lakukan di dalam pesantren? Dunia baru? Kehidupan baru? Dan mungkin sejumlah kesepakatan dengan orang-orang yang baru saja, dan akan segera ia ketahui sendirinya. Selain dari kesepakatan yang tidak jarang ia temukan dengan orang-orang, apakah selanjutnya Oding akan membuat kesepakatan dengan Tuhan? Tuhan yang sebelumnya tak pernah diperkenalkan oleh kedua orang tua angkatnya.

            Hari itu, di mana sebuah kisah bermula.

Persetan hari ini!' Gumam Oding, sepanjang malam.

***

Sukabumi, 07 Juni 2019. 02:56 PM.

(Oding & Jeruji Suci)

Fingga Almatin

                        

           

           

             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun