"Oh, gitu. Seragamnya putih, pak. Dan di saku depannya berlogo osis, sobek. Rambutnya setengah gondrong, agak bergelombang, sampai menutupi kedua telinganya. Dan mungkin sedikit sobekan juga di celana bagian lututnya. Seperti bekas jatuh di tanah merah." Seorang intel dengan tegas memaparkannya dengan sangat rinci. Namun istri bapak pemilik rumah itu tidak tinggal diam. Ia berdiri di belakang suaminya. Dan ikut berbicara. Secara tidak langsung mengusir intel tersebut.
      "Kalau begitu terima kasih informasinya, pak. Nanti kalau kami menemukan orang yang seperti ciri-ciri tersebut, secepatnya kami akan segera melapor." Ujarnya.
      "Baiklah, kalau begitu saya pamit pergi dulu. Assalamu'alaikum," wajah garang seorang intel pun rupanya masih bisa tersenyum.
      "Wa'alaikumussalam," serentak pasangan pemilik rumah tua menjawab senyumnya. Namun tiba-tiba, seseorang dari mereka berdua menyela langkah intel tersebut yang tengah bergerak melangkah dengan cepat.
      "Sebentar, pak. Kalau boleh tahu, ada apa dengan orang yang sedang bapak cari itu?" Senyum pun mulai menghilang. Berganti dengan kerutan alis yang penuh tanda tanya. Sepatu gunung yang dikenakan intel itu sejenak terhenti. Ia membalikan badannya, lalu berkata, "dia target operasi, dalam kasus jual beli narkoba jenis tembakau gorilla."  Â
      Â
***
"Kamu masih terlalu muda untuk masuk penjara, nak. Itulah sebabnya saya menyuruhmu bersembunyi di dalam kamar mandi. Karena lebih baik kamu masuk pesantren saja." Lirik pak Sumardi.
      "Hah?!! Pesantren?!" Pemuda berseragam kucel pun terkejut. Seakan hidupnya lebih terancam oleh kata 'Pesantren', ketimbang bui.Â
      "Ta-tapi, kenapa bapak tidak menyuruh saya tinggal di sini saja, pak? Bapak bisa kok memperlakukan saya layaknya orang-orang di pesantren." Meskipun di sekolah SMA-nya ada banyak program pesantren kilat, bahkan ia sendiri merasa asing dengan kata pesantren itu.
      "Ah... sial." Pemuda itu menggerutu mengacak-acak rambutnya. Jadi semakin terlihat seperti gembel.