Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram / Twitter: @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya || Sekjen Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun pendidikan, sosial, ekonomi umat di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah Pemuda: Momen Menumbuhkan Kebanggaan Berbahasa Indonesia di Tingkat Perguruan Tinggi

28 Oktober 2020   15:10 Diperbarui: 28 Oktober 2020   15:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi.

Di sisi lain, masyarakat umum juga tidak serta merta dapat melihat hasil riset anak bangsa yang dipublikasikan di jurnal internasional terakreditasi. Selain faktor bahasa, beberapa jurnal juga membuat ketentuan bahwa publikasi tersebut tidak boleh disebarkan ke orang lain tanpa seizin jurnal tersebut selama jangka waktu tertentu. Untuk mengaksesnya, terkadang masyarakat harus membayar. Hal tersebut dapat dikatakan suatu wujud kapitalisme di dunia pendidikan tinggi.

Pada sudut pandang yang sama, salah satu kriteria yang ditetapkan oleh lembaga pengakreditasi terhadap suatu Perguruan Tinggi (PT) baik PTN maupun PTS adalah dinilai dari berapa jumlah artikel yang terpublikasi di jurnal internasional terakreditasi. Oleh sebab itu, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang berusaha secara keras untuk menaikkan jumlah artikel tersebut atau bahasa lainnya adalah terobsesi dengan jumlah publikasi internasional. Bahkan ada beberapa Perguruan Tinggi yang menilai suatu tugas akhir atau menetapkan kelulusan berdasarkan capaian publikasi internasional yang dibuat oleh mahasiswa. Selain itu, beberapa Perguruan Tinggi juga menetapkan syarat kelulusan tes bahasa Inggris untuk dapat lulus atau dapat mengikuti tugas akhir. Ada juga yang menetapkan bahwa penilaian didasarkan pada jumlah seminar internasional yang diikuti.

Hal yang menarik adalah, pada Pasal 31 ayat (1) Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tersebut menyatakan bahwa  Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. disertasi; b. tesis; c. skripsi; d. laporan tugas akhir; e. laporan penelitian; f. makalah; g. buku teks; h. buku referensi; i. prosiding; j. risalah forum ilmiah; k. jurnal ilmiah; dan/atau l. karya ilmiah lain. Sedangkan beberapa kementerian terkait dengan dunia Perguruan Tinggi menetapkan standar jurnal internasional sebagai acuan dalam berbagai aspek seperti luaran penelitian, penerimaan proposal, sertifikasi pengajar, akreditasi kampus, kenaikan pangkat, kewajiban dosen dengan pangkat tertentu dan lain-lain yang keseluruhannya mau tidak mau menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.

Artikel ini bukan bertujuan untuk melarang warga Indonesia berbahasa asing. Artikel ini bertujuan agar tidak semua aspek khususnya di dunia pendidikan tinggi harus mengacu pada bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Coba belajar dari negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina. Mereka sangat bangga dengan bahasa mereka. Kebanggaan mereka juga tidak menghambat kemajuan negara tersebut. Ketiga negara tersebut terbukti menjadi negara-negara maju di dunia. Bahkan pernah pada suatu forum kuliah tamu di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, salah satu Profesor dari negara tersebut mengisi kuliah dengan bahasa mereka dan dipandu oleh penerjemah ke Bahasa Indonesia. Presiden kita saat ini maupun Presiden terdahulu yakni Soeharto juga selalu menggunakan Bahasa Indonesia pada forum resmi internasional.

Apabila penggunaan bahasa asing masih menjadi hal yang paling dominan di dunia Perguruan Tinggi, maka kecil kemungkinan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Perguruan Tinggi sebagai pencetak cendekiawan mengharuskan orang-orang di dalamnya untuk berbahasa Inggris khususnya dalam risetnya. Bahkan Dr. Herlambang Wiratraman, salah satu akademisi Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pernah menyampaikan sesuatu terkait hal tersebut dalam perkuliahannya.

Beliau menyampaikan bahwa kebanyakan dari kita terlalu mencari referensi dari luar negeri, terlalu mengandalkan referensi berbahasa luar negeri sampai-sampai pendapat ataupun referensi dari tokoh dalam negeri tidak dianggap. Padahal banyak pendapat dari dalam negeri yang sangat bagus. Bahkan untuk meneliti aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang mempunyai berbagai macam adat tradisi yang khas, seyogyanya menggunakan referensi dari dalam negeri, khususnya wilayah lokal tersebut.

Sebagai penutup, mari kita jadikan momen peringatan Sumpah Pemuda 2020 sebagai perubahan dalam hal berbahasa Indonesia di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dunia Perguruan Tinggi. Jangan sampai Revolusi Industri 4.0 dan program digitalisasi oleh Pemerintah di masa pandemi COVID-19 justru memarginalkan Bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Kuasai bahasa asing namun tetap mengutamakan Bahasa Indonesia dan terus melestarikan bahasa daerah. Mari bangga berbahasa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun