Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram / Twitter: @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya || Sekjen Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun pendidikan, sosial, ekonomi umat di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah Pemuda: Momen Menumbuhkan Kebanggaan Berbahasa Indonesia di Tingkat Perguruan Tinggi

28 Oktober 2020   15:10 Diperbarui: 28 Oktober 2020   15:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi.

Pada September 2020, Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo untuk pertama kalinya menyampaikan pidato dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pidato tersebut, Presiden Joko Widodo menggunakan Bahasa Indonesia sebagai implementasi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Perpres yang disahkan pada 30 September 2019 tersebut adalah dalam rangka menjalankan amanat dari Pasal Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 dan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Presiden Joko Widodo tersebut salah satunya adalah dalam rangka memperkenalkan Bahasa Indonesia kepada dunia Internasional. Bila melihat dari sudut pandang historis, penggunaan Bahasa Indonesia merupakan implementasi dari keputusan pada Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27-28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Salah satu poin dari keputusan tersebut adalah "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia." Pada perkembangan selanjutnya, Bahasa Indonesia diusahakan untuk menjadi salah satu bahasa internasional. Bahkan ditegaskan pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 bahwa Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.

Sayangnya, banyak yang berpandangan negatif terhadap diberlakukannya Perpres tersebut. Sejumlah kalangan menyebutkan bahwa adanya Perpres tersebut adalah agar Presiden Joko Widodo mempunyai celah untuk menghindari menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris pada forum internasional. Padahal Perpres adalah dalam rangka menjalankan amanat UUD maupun UU.

Dan harus diingat bahwa sebelum terjun di dunia politik, Presiden Joko Widodo adalah seorang pengusaha ekspor impor di bidang mebel. Bahkan beliau mempunyai banyak rekan di luar negeri. Bahkan nama 'Jokowi' itu diberikan oleh salah satu rekan kerja beliau yang merupakan Warga Negara (WN) Prancis. Sehingga beliau pasti bisa berbahasa Inggris walaupun mungkin secara pengucapannya (pronunciation) tidak sefasih penutur asli (native speaker) bahasa Inggris.

Pada sudut pandang penggunaan Bahasa Indonesia pada generasi muda, tampak mereka lebih suka menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Sebagai contoh ketika mengungkapkan opini di media sosial seperti Twitter atau menulis informasi tambahan di bawah foto (caption) di Instagram, generasi muda lebih sering menggunakan bahasa Inggris. Mereka memandang bahwa seseorang yang berpendapat menggunakan bahasa Inggris lebih berwawasan terbuka (open-minded) daripada yang tidak menggunakan bahasa Inggris.

Yang lebih kejam lagi, pengguna media sosial atau biasa disebut netizen di Indonesia sering mengkritik secara kasar kepada orang lain yang melafalkan bahasa Inggris secara salah atau menulis bahasa Inggris tidak sesuai dengan kaidah struktur gramatikal bahasa (grammar). Yang lebih aneh lagi, netizen justru memuji orang dari luar negeri khususnya tokoh terkenal apabila menggunakan Bahasa Indonesia walaupun secara pelafalan terdapat kekeliruan. Singkatnya, netizen Indonesia kasar terhadap sesama orang Indonesia dan halus terhadap orang asing, apalagi bila orang asing tersebut terkenal.

Pada sudut pandang penggunaan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, justru kontradiksi dengan arah kebijakan terhadap perkembangan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah. Sebagai contoh pada kalangan dosen. Dosen dengan pangkat kelas atas seperti Profesor dan Lektor Kepala berkewajiban untuk menulis untuk dipublikasikan pada jurnal internasional terakreditasi. Sedangkan dosen dengan pangkat menengah seperti Lektor ataupun yang masih berpangkat Asisten Ahli, harus sering menulis di jurnal internasional terakreditasi untuk mudah naik pangkat dikarenakan poinnya lebih tinggi daripada menulis di jurnal nasional. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap luaran dari suatu penelitian dan pengabdian yang didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi, yang mana pada tingkatan penelitian dan pengabdian kelas atas, diwajibkan untuk mempublikasikan di jurnal internasional ataupun prosiding internasional.

Padahal, jurnal-jurnal tersebut menggunakan bahasa resmi PBB, khususnya bahasa Inggris. Kementerian terkait seolah juga tidak ada usaha agar Bahasa Indonesia dapat diakui sebagai salah satu bahasa yang dapat digunakan pada jurnal internasional terakreditasi. Bahkan jurnal-jurnal Indonesia yang terbit di Indonesia dan sudah terakreditasi internasional juga menggunakan bahasa Inggris.

Di sisi lain, masyarakat umum juga tidak serta merta dapat melihat hasil riset anak bangsa yang dipublikasikan di jurnal internasional terakreditasi. Selain faktor bahasa, beberapa jurnal juga membuat ketentuan bahwa publikasi tersebut tidak boleh disebarkan ke orang lain tanpa seizin jurnal tersebut selama jangka waktu tertentu. Untuk mengaksesnya, terkadang masyarakat harus membayar. Hal tersebut dapat dikatakan suatu wujud kapitalisme di dunia pendidikan tinggi.

Pada sudut pandang yang sama, salah satu kriteria yang ditetapkan oleh lembaga pengakreditasi terhadap suatu Perguruan Tinggi (PT) baik PTN maupun PTS adalah dinilai dari berapa jumlah artikel yang terpublikasi di jurnal internasional terakreditasi. Oleh sebab itu, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang berusaha secara keras untuk menaikkan jumlah artikel tersebut atau bahasa lainnya adalah terobsesi dengan jumlah publikasi internasional. Bahkan ada beberapa Perguruan Tinggi yang menilai suatu tugas akhir atau menetapkan kelulusan berdasarkan capaian publikasi internasional yang dibuat oleh mahasiswa. Selain itu, beberapa Perguruan Tinggi juga menetapkan syarat kelulusan tes bahasa Inggris untuk dapat lulus atau dapat mengikuti tugas akhir. Ada juga yang menetapkan bahwa penilaian didasarkan pada jumlah seminar internasional yang diikuti.

Hal yang menarik adalah, pada Pasal 31 ayat (1) Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tersebut menyatakan bahwa  Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. disertasi; b. tesis; c. skripsi; d. laporan tugas akhir; e. laporan penelitian; f. makalah; g. buku teks; h. buku referensi; i. prosiding; j. risalah forum ilmiah; k. jurnal ilmiah; dan/atau l. karya ilmiah lain. Sedangkan beberapa kementerian terkait dengan dunia Perguruan Tinggi menetapkan standar jurnal internasional sebagai acuan dalam berbagai aspek seperti luaran penelitian, penerimaan proposal, sertifikasi pengajar, akreditasi kampus, kenaikan pangkat, kewajiban dosen dengan pangkat tertentu dan lain-lain yang keseluruhannya mau tidak mau menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.

Artikel ini bukan bertujuan untuk melarang warga Indonesia berbahasa asing. Artikel ini bertujuan agar tidak semua aspek khususnya di dunia pendidikan tinggi harus mengacu pada bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Coba belajar dari negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina. Mereka sangat bangga dengan bahasa mereka. Kebanggaan mereka juga tidak menghambat kemajuan negara tersebut. Ketiga negara tersebut terbukti menjadi negara-negara maju di dunia. Bahkan pernah pada suatu forum kuliah tamu di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, salah satu Profesor dari negara tersebut mengisi kuliah dengan bahasa mereka dan dipandu oleh penerjemah ke Bahasa Indonesia. Presiden kita saat ini maupun Presiden terdahulu yakni Soeharto juga selalu menggunakan Bahasa Indonesia pada forum resmi internasional.

Apabila penggunaan bahasa asing masih menjadi hal yang paling dominan di dunia Perguruan Tinggi, maka kecil kemungkinan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Perguruan Tinggi sebagai pencetak cendekiawan mengharuskan orang-orang di dalamnya untuk berbahasa Inggris khususnya dalam risetnya. Bahkan Dr. Herlambang Wiratraman, salah satu akademisi Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pernah menyampaikan sesuatu terkait hal tersebut dalam perkuliahannya.

Beliau menyampaikan bahwa kebanyakan dari kita terlalu mencari referensi dari luar negeri, terlalu mengandalkan referensi berbahasa luar negeri sampai-sampai pendapat ataupun referensi dari tokoh dalam negeri tidak dianggap. Padahal banyak pendapat dari dalam negeri yang sangat bagus. Bahkan untuk meneliti aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang mempunyai berbagai macam adat tradisi yang khas, seyogyanya menggunakan referensi dari dalam negeri, khususnya wilayah lokal tersebut.

Sebagai penutup, mari kita jadikan momen peringatan Sumpah Pemuda 2020 sebagai perubahan dalam hal berbahasa Indonesia di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dunia Perguruan Tinggi. Jangan sampai Revolusi Industri 4.0 dan program digitalisasi oleh Pemerintah di masa pandemi COVID-19 justru memarginalkan Bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Kuasai bahasa asing namun tetap mengutamakan Bahasa Indonesia dan terus melestarikan bahasa daerah. Mari bangga berbahasa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun