Mohon tunggu...
Fiki Muyasaroh
Fiki Muyasaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis adalah cara mengikat ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Saat Rumah Tak Lagi Jadi Tempat Ternyaman, di Mana Aku Harus Berlindung?

18 Juni 2022   11:32 Diperbarui: 18 Juni 2022   11:37 4714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mah!, aku pulang ke rumah bukan untuk mencari keributan dan menambah beban pikiran. Aku pulang karena ingin menenangkan pikiranku. Aku lelah dengan semua masalah yang aku hadapi yang seolah-olah tak ada habisnya. Tapi kepulanganku malah menambah beban pikiranku".
Itu ucapanku kemarin. Ketika aku pulang ke rumah ingin merehatkan tubuh dan pikiranku dari semua masalah yang menjadi beban pikiranku. Aku ingin menjauh dari keramaian, sebelum kembali lagi menghadapi kenyataan.

Aku Callista, mahasiswa semester 5 di sebuah Universitas di Jakarta. Seorang gadis desa yang memperoleh beasiswa sehingga berani merantau dari Purwokerto ke Jakarta. Tidak mudah memang hidup di Jakarta yang nyatanya merupakan ibu kota Indonesia. Biaya hidup yang mahal, jauh dari orang tua dan keluarga, pergaulan yang cenderung bebas, serta dipaksa mandiri, menjadi suatu hal yang sering aku pikirkan.

Singkat cerita, aku melewati semester 1 hingga semester 4 dengan senang hati. Semua berjalan lancar. Kalaupun ada masalah, itu hanya masalah kecil yang masih bisa aku lewati. Tapi perlahan semuanya mulai berbeda ketika aku memasuki semester 5. Mulai dari mata kuliah yang semakin sulit, deadline tugas yang mengantri untuk segera diselesaikan, mendapatkan dosen pengajar yang sulit diajak diskusi, hingga kesulitan membagi waktu antara kuliah, kerja part time dan organisasi, sehingga untuk bermain dengan teman-teman saja sudah jarang. Ditambah lagi kerinduan kepada keluarga di desa. Lengkap sudah semua yang aku rasakan saat ini.

Aku berusaha menjalani semester 5 ini dengan senang hati, seperti pada semester-semester sebelumnya. Tapi tidak, sepertinya aku tidak bisa. Masalah demi masalah datang bertubi-tubi. Pikiranku kacau, kesehatanku terganggu hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus dirawat inap. Rasanya aku ingin menyerah saja. Tapi aku ingat, begitu banyak pengorbanan dan kerja keras yang sudah dilakukan untuk sampai dititik ini. Aku yakin setiap orang punya titik terendahnya masing-masing. Dan aku tidak tahu, apakah ini titik terendahku atau akan ada keadaan yang lebih dari ini.

Seperti kata orang, rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Ingin rasanya aku pulang, bertemu orang tua dan menceritakan semua keluh kesah yang aku rasakan. Tapi tidak bisa, masih banyak tanggung jawab yang harus aku laksanakan. Aku harus kerja part time untuk mencari pengalaman serta menambah pemasukan. Tuntutan tugas juga semakin banyak dan aku kesulitan membagi waktu. Karena disisi lain, sebagai seorang aktivis, aku juga harus melaksanakan tanggung jawabku menjadi wakil ketua BEM.

Hari demi hari berlalu, aku melewati semester ini dengan baik, meskipun masalah yang menjadi beban pikiranku masih ada. Liburan semester aku manfaatkan untuk pulang ke rumah. Harapanku dengan pulang ke rumah, bisa mengobati kerinduanku juga meringankan beban pikiranku. Setibanya dirumah aku merasakan suasana yang berbeda. Aku disambut dengan omelan ibuku yang secara tidak langsung menyuruhku menyelesaikan pendidikanku sampai wisuda, baru pulang ke rumah. Alasannya, selain untuk menghemat uang, juga ibu khawatir karena anak gadis satu-satunya pulang dan pergi dari Jakarta ke Purwokerto sendirian. Ibu juga takut aku menjadi malas dan tidak mau kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikanku karena aku terlalu nyaman di rumah.

Karena sifat kelabilanku, aku salah paham dalam mengartikan maksud ibu. Aku menganggap ibu tidak senang dengan kepulanganku dan menyuruhku untuk segera kembali ke Jakarta. Dan tujuanku pulang untuk merehatkan tubuh dan pikiranku, tidak kudapatkan dirumah. Hal itu menjadi beban pikiran baru. Aku merasa rumah ini bukan lagi tempat ternyaman. Lalu dimana lagi aku harus mencari tempat ternyaman untuk berlindung dan mencurahkan semua keluh kesahku?

Setelah kejadian ini, aku lebih mendekatkan diri kepada pemilik diriku sesungguhnya. Setiap masalah yang aku hadapi, aku curahkan semuanya kepada Allah swt., karena Dialah sebaik-baiknya tempat berlindung dan menyerahkan segala urusan.

Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun