Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Mengatasi 'Demam' Langganan Pada Anak-anak

31 Januari 2012   11:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:14 50843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_167430" align="aligncenter" width="477" caption="fever/semuaunik.info"][/caption] Demam pada anak-anak perlu disikapi dengan bijak. Panik dan khawatir berlebihan biasanya terjadi pada semua pasangan muda yang baru memiliki anak. Termasuk saya dan istri yang mengalaminya. Saya cukup bersyukur dengan kemudahan internet banyak hal yang bisa dipelajari tentang berbagai cara menanggulangi anak yang terkena demam. Sebelum penyakit langganan anak datang memang sebaiknya orang tua dibekali pengetahuan yang baik agar tidak salah langkah yang justru merugikan anak kita. Semua pengetahuna itu bisa didapatkan dengan mudah melalui internet dan buku-buku smart parenting. Kembali ke demam tadi, orang tua pada zaman dahulu lebih sering menggunakan bawang merah untuk obat penurun panas. Lain halnya dengan zaman sekarang. Di zaman serba instan ini orang lebih terbiasa dengan kompres berbentuk gel yang tinggal ditempelkan di dahi. Banyak yang menganggap bawang merah itu berbau menyengat dan tidak praktis. Namun sesungguhnya itu adalah salah satu obat herbal yang aman dan efektif. Kompres berbentuk gel itu dingin. Sedangkan suhu tubuh yang panas tidak bisa diberikan sesuatu yang dingin. Responnya bisa cukup fatal, tubuh dapat menganggap suhu diluar lebih dingin sehingga panas tubuh malah akan semakin tinggi. Ibarat sebuah gelas yang berisi air panas kemudian langsung kita masukkan kedalam kulkas. Yang terjadi adalah gelas itu bisa pecah. Begitu pula dengan kondisi anak kita sedang deman. Hindari mengompres dengan air dingin. Karena bisa menimbulkan korsleting di otak. Dalam tulisan ini saya akan sharing tentang pengalaman saya menangani demam pada anak saya yang baru saja menginjak usia satu tahun lebih dua bulan. Saat itu memang kondisi saya dan istri sedang tidak fit. Istri saya terserang demam, sedangkan saya sendiri pilek. Otomatis anak saya tertular juga karena sering berada dalam satu ruangan. Panasnya cukup tinggi hingga bisa mencapai 37 derajat. Tetapi anak saya tidak seperti anak yang sedang sakit. Dia tetap lincah dan aktif. Makan dan minum susunya juga normal seperti sedia kala. Inilah yang membuat saya merasa sedikit lebih tenang. Pada hari pertama saya hanya menggunakan kompres air hangat di dahi dan sekitar lehernya. Selain itu saya juga menggunakan satu siung bawang merah yang dibelah dua. Kemudian saya menggosokkan bawang merah tadi punggung hingga pinggang layaknya orang dewasa yang sedang kerokan. Perjuangan untuk menurunkan panas pada anak saya memang butuh kesabaran. Panasnya memang mulai tinggi sejak pukul 23.00. Dengan kompres dan bawang merah akhirnya panasnya turun setelah kurang lebih menunggu selam dua jam. Air kompresan juga selalu saya ganti dengan air hangat. Ini yang menyebabkan saya harus begadang. Begadang yang seperti ini tentu boleh saja karena banyak artinya demi kesembuhan anak. Betul kan Bang Rhoma? ;-) saat itu perasaan saya memang sedih juga. Karena istri saya juga dalam kondisi yang lemah otimatis saya yang mengurus keduanya pada malam hari. Malam kedua anak saya panas lagi. Disini saya mulai goyah untuk menggunakan cara pada malam sebelumnya. Disamping itu istri saya terus membujuk agar anak saya dibawa ke dokter saja. Akhirnya saya terpaksa membeli obat penurun panas di apotek. Meski awalnya ragu tapi saya pikir mungkin ini jalan keluar yang mudah sehingga saya tak perlu begadang seperti malam sebelumnya. Disamping itu saya belum mau membawa anak saya ke dokter. Selain itu saya mulai sedikit tertekan karena kondisi istri yang sedang sakit sehingga tidak sabar dan selalu meyuruh saya membawa si kecil ke dokter. Meski pada akhirnya saya menyesal juga karena yang saya beli adalah ibuprofen bukan paracetamol. Seperti yang saya baca di beberapa milis smart parent, Ibuprofen tidak dianjurkan jika anak mengalami diare. Obat penurun deman yang aman untuk anak memang paracetamol. Tidak perlu yang mahal karena yang obat generik pun mengandung zat yang sama. Hari ketiga saya mulai searching tentang penanggulangan demam bagi anak di internet. Tertujulah sebuah artikel yang mengulas tentang deman di sebuah milis yang ternyata sudah lama didirikan. Milis tersebut diasuh oleh dr. Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed beserta rekan-rekan dokter lainnya. Meskipun saya tidak tahu kepanjangan dari gelar yang dicantumkan di nama belakangnya namun alasan-alasan yang dikemukakan sangat masuk akal. Beliau mengatakan demam bukanlah penyakit. Demam itu semacam alarm yang mengindikasikan ada sesuatu hal yang terjadi pada tubuh anak. Demam sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Selama infeksi masih aktif demam adalah respon tubuh yang wajar. Dan harus dilewati karena merupakan bagian dari respon sistem imun tubuhnya yang bekerja. Tinggi rendahnya demam tidak berarti penyakitnya bertambah parah. Kemudian saya baca langkah-langkah aman dalam menangani anak yang terkena demam. Yang paling penting adalah menjaga kondisi anak supaya tidak dehidrasi. Jadi tubuh harus selalu diasupi cairan. Jika anak tidak mau makan karena mengalami radang ditenggorokannya sebaiknya diganti dengan asupan buah yang sudah dijuice atau di blender. Tanda yang paling mudah ketika anak mengalami dehidrasi adalah jika kulit punggung tangannya dicubit, maka kulitnya tidak kembali ke posisi semula. Dalam kondisi demikian sudah dalam kondisi darurat, harus segera dibawa kerumah sakit. Masih dalam artikel demam tadi, obat penurun panas bukan berfungsi untuk mengobati demam melainkan hanya untuk menurunkan suhu tubuh anak agar merasa lebih nyaman dan dapat tidur dengan mudah. Jadi jangan sampai jadi korban iklan. Lebih baik hanya menggunakan salah satu obat penurun panas saja. Akhirnya itulah yang menjadi bekal yang saya baca untuk berangkat ke bidan. Selain lebih murah, istri saya lebih cocok jika anak saya berobat ke bidan. Disini saya tidak banyak berbicara. Saya hanya menceritakan gejala-gajala dan tingkah laku anak saya selama tiga hari mengalami demam. Kemudian bidan memberikan tiga macam obat. Paracetamol, puyer dan antibiotik. Puyernya untuk mengobati batuk pilek. Tapi setelah dirumah saya hanya mengizinkan puyernya saja yang diberikan. Sedangkan antibiotiknya saya simpan. Malam harinya puyer itu juga saya stop karena batuk dan pilek juga ternyata satu paket dengan demam. Itu adalah reaksi sistem imun yang sedang bekerja. Jadi tak baik jika sistem imunnya diganggu pikir saya. Meski mendapat tentangan dari istri saya tetap ngotot untuk tidak memberikan obat apapun selain parecetamol jika terpaksa. Hari keempat belum ada perubahan. Anak saya tetap seperti biasa lincah. Meski mulai tidak mau makan banyak tapi dia tetap mau minum susu dan air putih. Buah dan sayur pun ditambah supaya tetap terjaga agar tidak dehidrasi. Malam harinya sebagai second opinion saya memeriksakan kembali anak saya ke dokter spesialis anak. Kebetulan juga saat itu memang panasnya mencapai puncaknya menjadi 40 derajat. Untuk usia anak saya yang baru empat belas bulan suhu tersebut masih dalam batas normalnya demam anak. Jika sudah diatas itu artinya harus segera menghubungi dokter. Jika usianya dibawah 3 bulan jangan sampai diatas 38 derajat. Jika usianya 3-6 bulan dijaga agar tidak melebihi 38,5 derajat. Dalam kondisi tertentu seperti; demam lebih dari 72 jam, dehidrasi, rewel dan tidak dapat ditenangkan, kejang, sakit kepala, dan diare adalah kondisi dimana orang tua sudah wajib memeriksakan anaknya ke dokter. Jika terjadi hal-hal tersebut sudah tidak bisa ditanggulangi sendiri. Terkadang masih banyak orang tua yang menggunakan rabaan tangan untuk mengukur suhu tubuh anak. Padahal rabaan tangan tidak bisa menunjukkan suhu tubuh yang tepat. Alangkah baiknya jika orang tua menyediakan termometer di rumah. Saya sendiri membeli thermometer elektrik yang cukup terjangkau di apotek. Ada juga thermometer yang sudah lebih canggih dengan mengukur melalui telinga. Sedangkan yang saya beli masih yang biasa mengukur melalui ketiak. Di dokter spesialis anak, anak saya diberikan obat melalui belakang karena panasnya memang tinggi. Kemudian setelah menceritakan gejala dan langkah-langkah yang telah saya lakukan dokter tersebut memberikan antibiotik dan puyer. Terus terang saya kurang  puas. Saya lebih percaya bahwa demam ini bukan penyakit yang harus diobati melainkan sebuah warning itu tadi. Akhirnya obat yang diberikan pun hanya saya tebus setengah dan balakangan memang tidak digunakan. Disinilah peran orang tua harus berani memutuskan untuk menyetop penggunaan obat-obat yang tidak perlu. Bukan menyembuhkan tapi malah khawatir berefek buruk dimasa mendatang. Saya meski memang sempat ragu tapi jadi semakin yakin dengan apa yg saya baca karena ternyata tidak ada perbedaan perlakuan yang signifikan ketika berobat di bidan dibandingkan dengan berobat di dokter spesialis anak. Langkah ini tentu di dukung dengan observasi terus menerus dan melihat aktifitas anak selama demam. Agar apa yang kita lalukan juga memiliki dasar. Alhamdulillah setelah beberapa hari melewati masa-masa 'krisis' anak saya bisa sembuh meski masih pilek. Tetapi makannya sudah mulai seperti biasa dan sudah tidak demam lagi. Obat-obatan yang sebelumnya sudah dibeli akhirnya saya buang terutama antibiotik. Bukan berarti saya anti terhadap antibiotik, tetapi melihat kondisi anak saya yang masih lincah saya berpendapat saat itu anak saya belum memerlukan antibiotik. Penggunaan antibiotik memang masih pro dan kontra. Disatu sisi, saya melihat sisi buruk antibiotik yang bisa membuat bakteri semakin kebal. Disamping itu antibiotik juga dapat membunuh bakteri baik. Segi positifnya memang bisa sekaligus membunuh penyakit. Namun tentu dengan segala resiko dan efek di kemudian hari. Akhir kata menurut pendapat saya sebaiknya pengobatan itu memang kembali ke alam. Obat-obatan kimiawi adalah opsi terakhir jika memang itu dibutuhkan. Apalagi jika penyakit yang diderita si kecil adalah penyakit langganan anak-anak yang sebetulnya obat yang paling efektif adalah istirahat dan asupan yang bergizi. Serpong @DzulfikarAlala

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun