Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lusuhnya Sepatu Umar Bakrie

11 Juni 2012   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:07 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_182078" align="aligncenter" width="476" caption="Sepatu Umar Bakrie/dok.pribadi"][/caption] Sepatu ini adalah satu-satunya sepatu milikku. Sepatu ini sudah menemani langkah kakiku hampir selama empat tahun lamanya. Sepatu ini adalah sepatu paling mahal yang pernah aku miliki. Sepatu ini aku beli di Pasar Taman Puring, Kebayoran, Jakarta. Ku beli sepatu ini dengan harga dua ratus lima puluh ribu rupiah. Tak bisa kurang lagi meski aku sudah meminta kortingan berkali-kali. Bahkan trik meninggalkan toko sepatu itu sudah ku lakoni. Ternyata cari di toko lain pun sia-sia, lebih mahal harganya dibandingkan di toko sebelumnya. Aku membeli sepatu ini karena bentuknya yang unik. Dan lagi mata kakiku bisa terlindungi dengan memakai sepatu ini. Aku adalah seorang guru yang hampir menghabiskan waktu tiga jam lebih diatas motor, kendaraan utamaku dalam mencari nafkah. Selama tiga jam itu pula lah aku mempercayai sepatuku untuk melindungi kakiku dari kerikil tajam, percikan air, bahkan lindasan ban mobil ketika terjebak dalam kondisi jalanan yang padat merayap. Kata istriku sepatu ini adalah sepatu kalangan elite. Sepatu ini mereknya "penendang" jika diartikan dalam Bahasa Indonesia. Aku tahu sepatu ini bukan sepatu aslinya alias sepatu kw. Karena setelah kulihat harga aslinya di sebuah mall ternyata harganya mencapai lima kali lipat. Mana mungkin aku bisa membeli sepatu asli seperti itu. Jadi inilah pilihanku. Meski bentuknya agak jadoel tapi aku suka sepatu ini. Karena hanya sedikit orang yang mengenakannya. Baik di jalan ataupun ketika aku jalan-jalan ke mall. Kenapa berwarna cokelat? Yah ketika di toko itu memang hanya inilah satu-satunya sepatu yang tersisa dengan nomor sepatu yang cocok dengan kakiku. Nomor 40. Itupun susah sekali dicarinya. Stok yang ada kebanyakan diatas nomor 40. Maka aku meresa berjodoh dengan sepatu ini. Sepertinya sepatu ini sudah lama menungguku. Meski mereknya penendang, aku bukanlah pemain sepak bola atau joki kuda. Aku hanya seorang guru, guru bimbel pula. Karena aku seorang guru bimbel, kantorku tidak mewajibkan aku membeli sepatu berwarna hitam seperti layaknya guru lain. Lagi-lagi jodoh, karena memang hanya warna inilah yang ada saat aku membelinya. Sepatu ini seharusnya masih bisa bertahan lebih lama lagi. Sayang aku kurang bisa merawatnya. Selepas kehujanan biasanya aku lap saja dengan kanebo. Membersihkannya dari kotoran tanah, dan pasir-pasir kecil yang menempel. Sesekali memang pernah aku semir dengan semir cair. Tapi aku tak sanggup membeli semir cair karena harganya lebih mahal dari susu anakku. Mungkin inilah yang istriku katakan sepatu elite. Harga semirnya saja sudah mahal. Kini sepatu ini tinggal menunggu waktu masa pakainya. Lapisan solnya sudah mulai sedikit terkelupas. Kulit kaki di dalamnya juga sudah lapuk. Bahkan kain di dinding-dinding sepatu bagian dalamnya sudah robek-robek. Kulit bagian luarnya sebagian sudah pecah-pecah. Wajar karena tidak pernah aku beri pelembab. Sebetulnya aku ingin sekali menggantinya dengan yang lain. Tapi sayang, belum ada sepatu yang cocok dihati selain yang ini. Salam @gurubimbel

http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/06/09/weekly-photo-challenge-minimalist-photography/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun