Mohon tunggu...
Figo PAROJI
Figo PAROJI Mohon Tunggu... Buruh - Lahir di Malang 21 Juni ...... Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali ke Tanah Air tercinta.

Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali menetap di Tanah Air tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Pedih Proses Bayar Kompaun Program B4G Pekerja Ilegal di Malaysia (2)

11 Januari 2020   01:10 Diperbarui: 11 Januari 2020   06:50 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
antrean di lorong pengap // foto: dok.pri

Menyambung tulisan sebelumnya Catatan Pedih Proses Bayar Kompaun Program B4G Pekerja Ilegal di Malaysia (1), pada bagian kedua ini akan saya tuturkan cerita tentang bagaimana kami berempat terpaksa menggunakan calo dengan membayar RM 350 (sekitar Rp 1,1 juta) tapi gagal lagi, hingga pada akhirnya  berhasil mendapat check out memo pada 26 Desember 2019.

Memang, program yang diberi nama Program Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) Pulang ke Negara Asal  atau dikenal dengan Program Back for Good (B4G) ini telah berakhir pada 31 Desember 2019, tepat pada tengah malam tahun baru 2020.

Akan tetapi, meski sudah seminggu lebih berlalu, cerita pedih tentang betapa rumit dan sulitnya proses membayar kompaun atau denda yang dibayarkan melalui Departemen Imigrasi Malaysia untuk mendapatkan check out memo agar bisa keluar dari negeri tetangga tersebut sepertinya akan (masih) terus  terasa hingga bila-bila masa.

***

Setelah kami berempat -- saya, sepupu saya yang bernama Arip serta dua anak Medan bernama Iksan dan Ilham, memutuskan membeli tiket baru untuk pulang ke Indonesia pada 27 Desember 2019 (karena tiket kepulangan tanggal 22 Desember telah hangus), pada Senin (23 Desember) petang, kami kembali berkumpul di taman depan kantor imigrasi Selangor di Shah Alam.

Kami langsung berdiskusi tentang bagaimana caranya agar bisa cepat pulang ke Indonesia. Dari diskusi kecil itu kami berempat terpaksa  memutuskan akan  memakai jasa calo karena di antara kami sudah tidak ada yang sanggup mengantre secara 'normal'.


Sebelumnya, kami sudah mendapat informasi bahwa ada seseorang yang bisa membantu dan menjamin urusan akan selesai dalam satu hari dengan biaya sebesar 350 rinngit. Senin sore itu, kami berempat menemui orang tersebut dan langsung menyerahkan fotocopy paspor dan fotocopy tiket serta uang sebesar 350 ringgit.

Hal yang sama juga telah dilakukan teman kami yang lain, yaitu anak Padang yang biasa kami panggil Bang Opi. Bahkan, Bang Opi telah memutuskan memakai jasa calo pada Minggu (22/12) malam dan telah diproses pada Senin (23/12) paginya.

saya (kiri) dan Bang Opi // foto: dok.pri
saya (kiri) dan Bang Opi // foto: dok.pri
Sementara Mohamad Topik, anak Medan yang lain (teman kami tidur di taman) memilih calo yang lebih 'mahal' dengan membayar RM 500 (sekitar Rp 1,5 juta). Kami juga mendapat kabar bahwa teman kami yang lain ada yang memutuskan pergi ke kantor imigrasi di Trengganu karena sudah putus asa berjuang di kantor imigrasi Selangor.

Malam itu, sekitar pukul 21.00, kami mendapat kabar gembira. Bang Opi, Topik, dan Putri (yang pergi ke Trengganu) telah berhasil mendapat check out memo.

Malam itu juga kami mendapat informasi dari anak Medan bernama Putra bahwa ada seseorang yang dengan sukarela mau membantu mencarikan jalan agar bisa mendapat antrean paling depan.

Namun, karena kami berempat telah menyerahkan uang sebasar RM 350 ke calo, sudah tentu kami tidak bisa menerima tawaran kebaikan hati seseorang yang ditunjukkan Putra itu. Ketika itu, dengan menggunakan jasa calo, kami sudah punya keyakinan bahwa urusan akan beres dalam satu hari.

Akan tetapi, meskipun telah membayar calo RM 350, kami  gagal lagi. Hari itu, Selasa, 24 Desember 2019, setelah menunggu seharian,  sekitar pukul 19.00 sang calo menyatakan permohonan maaf dan mengembalikan uang kami.

Malam itu juga, kami berempat pulang ke kediaman masing-masing karena besoknya, 25 Desember 2019  adalah hari libur Natal. Harapan kami bisa berhasil membayar kompaun untuk mendapatkan check out memo tinggal satu hari, yaitu tanggal 26, karena tiket kepulangan kami berempat tanggal 27 Desember 2019.

Sebelum pulang, kami terlebih dulu menemui seseorang  (seperti yang diceritakan anak Medan bernama Putra) yang katanya bisa menolong kami agar bisa mendapat antrean paling depan untuk tanggal 26 Desember pagi.

Seseorang tersebut memberi arahan agar kami kembali berkumpul di taman depan kantor imigrasi Selangor pada 25 Desember sebelum maghrib untuk ditunjukkan tempat bersembunyi pada malam harinya agar pada 26 Desember pagi kami bisa mendapat antrean paling depan.

Rabu, 25 Desember 2019 sekitar pukul 16.30, saya dan sepupu saya sudah berangkat dari Port Klang menuju kantor imigrasi Selangor di Shah Alam. Kami kembali berkumpul di taman. Ternyata, selain kami berempat, ada 9 orang lagi yang malam itu akan bersembunyi di suatu tempat, termasuk tiga orang teman Putra, yaitu Maya, Marniz dan Tiwi, juga anak Jawa Timur bernama Lukman dan Iwan, sehingga total 13 orang.

ketika kumpul di taman // foto: dok.pri
ketika kumpul di taman // foto: dok.pri
ketika kami kumpul di taman // foto: dok/ pri
ketika kami kumpul di taman // foto: dok/ pri
Malam itu, sekitar pukul 20.00, kami diarahkan untuk masuk salah satu ruangan kompleks pertokoan yang di lantai tiga-nya terdapat kantor imigrasi Selangor. Kami tidur di dua ruangan yang berbeda. Saya, sepupu saya, Iksan, Ilham, Maya, Marniz, dan Tiwi berada dalam satu ruangan dan sisanya di ruangan yang berbeda.

Alhamdulillah, penantian kami semalaman, tidur bersembunyi di ruangan gelap, tidak sia-sia. Pagi itu, Kamis (26 Desember 2019) kami bisa mendapat antrean paling depan dan berhasil membayar kompaun untuk mendapat check out memo, keluar dari negara Malaysia, meski saya sendiri sempat dibentak-bentak dan didorong-dorong oleh oknum pegawai imigrasi gara-gara 'bergeser' dari barisan.

kami berempat + iwan (paling kiri) // foto: dok.pri
kami berempat + iwan (paling kiri) // foto: dok.pri
Maya dan kami semua bisa tersenyum lega setelah dapat check out memo // foto: dok.pri
Maya dan kami semua bisa tersenyum lega setelah dapat check out memo // foto: dok.pri
Melalui tulisan ini pula, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seseorang yang telah menolong kami secara sukarela, tanpa meminta imbalan apa pun, sehingga kami bisa berhasil membayar kompaun untuk pulang ke Tanah Air.

Di tengah praktik percaloan yang sedemikian kotor, Tuhan telah mempertemukan kami dengan orang baik. Hanya doa yang bisa kami panjatkan, semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan dan melimpahkan rezeki kepada seseorang yang telah menolong kami.

***

Begitulah cerita pedih yang kami alami, tentang betapa rumit dan betapa sulitnya proses membayar kompaun Progran B4G. Sebenarnya, proses membayar kompaun menjadi rumit dan sulit ini hanya terjadi di akhir masa menjelang program ini ditutup.

Hal ini terjadi karena tidak adanya antisipasi dari pihak Imigrasi Malaysia ketika jumlah pemohon/pendaftar program ini terus bertambah dan semakin membludak. 

Jika Malaysia serius ingin memberantas pekerja migran ilegal atau yang biasa diistilahkan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI), mestinya membuka pelayanan di kantor imigrasi di seluruh wilayah, bahkan di seluruh kantor cabang imigrasi di seluruh negeri (wilayah setingkat provinsi). Namun entah apa sebab, Imigrasi Malaysia tidak melakukannya.

Saya sendiri sebenarnya bukanlah pekerja ilegal. Selama sepuluh tahun, saya mempunyai permit kerja yang sah. Saya adalah korban dari ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan pemerintah Malaysia dalam membuat aturan tentang pekerja migran.

Pada awalnya, pemerintah Malaysia pernah mengumumkan bahwa pekerja migran yang sudah 10 tahun bekerja di Malaysia boleh memperbarui (renew) permit kerja hingga tahun ke-13. 

Tak lama kemudian ada pengumuman tidak boleh. Kemudian membuat pengumuman boleh memperbarui hingga tahun ke-13, tetapi biayanya RM 10.000 (sekitar Rp 33 juta).

Biaya pembaruan permit kerja sebesar RM 10.000 tentu sangat tidak masuk akal. Agen yang membantu menguruskan pembaruan permit kerja saya pun menyarankan untuk menunggu barangkali pemerintah Malaysia mau menurunkan biaya pembaruan permit menjadi tidak terlalu mahal atau yang  masuk akal.

Dua tahun menunggu, tidak ada kejelasan dan kepastian bahwa biaya pembaruan permit untuk 10 tahun ke atas akan diturunkan, sehingga saya memutuskan  mendaftar Program B4G agar bisa pulang ke kampung halaman dengan cara membayar kompaun.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun