Mohon tunggu...
Figo PAROJI
Figo PAROJI Mohon Tunggu... Buruh - Lahir di Malang 21 Juni ...... Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali ke Tanah Air tercinta.

Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali menetap di Tanah Air tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Soal Gelandangan di RKUHP, Pejabat Negara yang Mestinya Diancam Pidana

22 September 2019   00:09 Diperbarui: 23 September 2019   06:16 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengemis mengais iba dari pejalan kaki yang melintasi jembatan penyebrangan orang di Semanggi, Jakarta Pusat, Jumat (7/3/2014). Pemerintah provinsi DKI perlu menata ulang jembatan penyebrangan orang agar tidak hanya nyaman bagi pejalan kaki, tetapi juga aman dari tindak kejahatan. Kompas/Lucky Pransiska

Logikanya, apabila tujuan adanya pasal mengenai gelandangan dalam KUHP untuk memaksa pemerintah agar memperhatikan warganya, maka  pejabat pemerintah-lah yang seharusnya diancam pidana jika di wilayahnya terdapat warga yang menjadi gelandangan.

Di tingkat daerah, bupati atau walikota-lah yang mestinya didakwa melanggar hukum karena lalai memperhatikan warganya sehingga ada yang sampai tidur di jalanan, mengemis dan meminta-minta agar bisa makan.

Memang, pasal mengenai gelandangan dalam RKUHP ini bukan hal baru. Dalam KUHP yang berlaku selama ini (sebelum revisi) pun juga mengatur tentang gelandangan, tetapi dengan ancaman pidana yang berbeda.  RKHUP hanya mengubah pidana kurungan yang disebut di KUHP (Pasal 505 Ayat 1 dan ayat 2), menjadi pidana denda.

Akan tetapi substansinya tetap sama. Gelandangan tetap saja menjadi kelompok masyarakat yang tidak disukai, bahkan dibenci negara. Gelandangan adalah orang-orang yang didakwa melanggar hukum karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Bukankah mereka itu termasuk fakir miskin dan anak-anak terlantar yang mestinya dipelihara oleh negara? Bukankah jika di tengah masyarakat masih terdapat gelandangan justru merupakan bukti bahwa negara gagal menjalankan fungsinya?

Tidak adakah cara yang lebih bijak selain mendakwa dan mengancam mereka pidana karena dianggap sebagai sampah masyarakat? Sungguh, betapa menyedihkannya hidup seorang gelandangan di sebuah negara merdeka yang kononnya kaya raya.

Saat ini, masih ada harapan untuk mengubah atau meninjau ulang pasal-pasal kontroversial RKUHP yang menimbulkan polemik di masyarakat, termasuk tentang gelandangan, karena Presiden Joko Widodo telah meminta DPR menunda pengesahan.  

Apabila semangat merevisi KUHP agar kita tidak lagi menggunakan kitab undang-undang produk kolonial, sebaiknya pasal mengenai gelandangan ditiadakan.

Jika memang harus ada, pasal mengenai gelandangan sepertinya akan lebih bagus kalau bunyinya, bupati atau walikota dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I apabila di wilayahnya ada satu warga yang menjadi gelandangan.

Bunyi pasal yang seperti itu akan sangat pas menjadi instrumen dalam memaksa pemerintah agar memperhatikan warga negaranya (agar tidak menjadi gelandangan) sebagaimana yang dikatakan Anggota Panja RKUHP DPR Nasir Djamil.

Atau, jika para gelandangan memang ditakdirkan sebagai orang yang dibenci dan dimusuhi negara karena dianggap menggganggu ketertiban umum sehingga perlu dibuatkan Undang-Undang untuk memidanakan, amandemen Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menjadi, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipidana oleh negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun