Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perspektif Pidana Kampanye Pemilu

1 Maret 2019   22:07 Diperbarui: 1 Maret 2019   22:35 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru baru ini ada pertanyaan teman jurnalis kepada saya, tentang apakah statement Pasangan Calon (paslon) dalam debat Capres dapat dipidana? Kalau diteruskan: pada debat paslon Cagub, debat paslon Cabup, atau debat paslon Cawalkot?

Pertanyaan di atas menjadi menarik jika dikaitkan dengan situasi yang "cukup panas" yang terjadi akhir-akhir ini di bawah antara para pendukung paslon yang fanatik buta. Secara yuridis tindakan paslon dalam hal ini pernyataannya dapat diproses secara pidana, tentu saja jika memenuhi unsur-unsur tindak pidananya.

Dalam konteks pemilu ini, debat adalah bagian dari acara atau tahapan penyelenggaraan pemilu yaitu tahapan kampanye, dan dalam kampanye itu ada aturan yang harus ditaati oleh setiap paslon. Karenanya sangat mungkin para paslon (baik sengaja maupun karna kelalaianya) melakukan pelanggaran yang dapat dikatagorikan dalam beberapa jenis, di antaranya pelanggaran yang secara keseluruhan lazim disebut pelanggaran hukum pemilu.

Dalam konteks penegakan hukum pemilu dikenal dua macam pendekatan penyelesaian, yaitu, pertama,pelanggaran pemilu yang terdiri atas pelanggaran  pidana yang penyelesaiannya sebelum masuk ke pengadilan harus melalui Gakumdu institusi dalam struktur BAWASLU kepanjangan dari penegakan hukum terpadu dimana di dalamnya ada unsur unsur kepolisian dan kejaksaan.

Pelanggaran lainnya adalah pelanggaran administrasi kepemiluan yang akan diperiksa dan diputus BAWASLU dalam fungsi ajudikasi pemilu. Pelanggaran lainnya adalah pelanggaran Etika oleh penyekenggara pemilu (KPU & BAWASLU) yang diselesaikan oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

Kedua, adalah sengketa pemilu yang terbagi dalam dua cara penyelesaian, yaitu sengketa hasil pemilu yang penyelesaiannya melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sengketa non hasil yang penyelesaianya melalui putusan BAWASLU atau putusan peradilan tata usaha negara (PTUN)

Jadi adalah merupakan hak peserta pemilu termasuk paslon (capres, cagub, cabup maupun cawalkot) untuk melaporkan peserta lain yang dianggap melanggar aturan kampanye dalam hal ini pelanggaran yang diatur dalam psl  491, 492, 493, 496 dan 497 Undang-Undang No.7 thn 2017 tentang Pemilu.

Larangan Kampanye Pemilu

Undang-undang Pemilu membagi pidana kampanye pemilu menjadi beberapa perbuatan antara lain: mengganggu dan mengacaukan kampanye (psl 491, 1tahun, Rp.12 juta), kampanye di luar jadwal (psl 492, 1thn, Rp.12 jt), melanggar larangan kampanye (psl 493, 1th Rp.12 jt), sedangkan yang dimaksudkan dengan larangan kampanye antara lain: menpersoalkan dasar negara, UUD45, bentuk negara:, kegiatan yang membahayakan NKRI:,menggunakan tanda gambar lain selain tanda gambarnya:, menghasut dan mengadu domba:, mengganggu ketertiban umum:, mengancam utk melakukan kekerasan:, merusak, menghilangkan alat peraga:, menggunakan fasilitas pemerintah:, tempat ubadah, tempat pendidikan termasuk halamannya:, kampanye SARA dan menjanjikan dan memberikan uang kepad peserta kampanye. Demikian jg laporan dana kampanye yang tidak benar (psl 496, 497, 2 th, denda Rp.24 jt).

Pernyataan menyerang

Salah satu Tim sukses paslon melaporkan paslon lainnya ke Bawaslu yang salah satu dasarnya pernyataan paslon dalam debat capres yang dianggap menyerang. Apakah beralasan? sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu sebagai satu satunya lembaga yang mempunyai otoritas menangani laporan, memeriksa, memutus atau menyalurkan kepada lembaga lain yang berwenang.

Yang pasti laporan itu sama sekali tidak  berdimensi sengketa baik sengketa hasil maupun sengketa non hasil. Apakah pernyataan yang menjadi objek laporan itu pelanggaran pidana, ataukah hanya sekedar bernuansa "menyerang" saja yang gradasinya lebih rendah dari pelanggaran pidana. Kemungkinan yang paling minimal adalah pelanggaran etik atau pelanggaran adninistratif.

Persoalannya lagi, tidak ada forum atau mekanisme pemilu yang mewadahi pelanggaran etika oleh peserta, yang ada DKPP hanya menangani pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu. Kajian yang menarik juga bisa lahir dari pertanyaan apakah paslon capres bisa dikualifisir sebagai pejabat publik, sehingga bisa ditundukan pada ketentuan mengenai kode etik pejabat publik.

Forum yang mempertemukan paslon selain "perang pernyataan" di media cetak atau online dan media sosial, juga di arena debat, dan memang kemungkinannya tidak hanya perang pernyataan, tapi juga saling memojokan.

Bagaimanapun situasi dan suasana polarisasi di bawah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh "perang pernyataan" paslon memperebutkan elektabilitas, yang harus diingatkan adalah bahwa persaingan ini tetap harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, masing-masing berusaha akan berbuat baik pada rakyat, dalam diksi agama dikenal dengan term "fastabiqul khaerot". Oleh karena itu juga pernyataan "perang total" dalam konteks perhelatan demokrasi ini patut menjadi perhatian serius.

Hukum khususnya hukum pidana bisa menjadi alat pengawasan bahkan menjadi alat penghukuman. Ia akan berhenti disitu, karna hukum tidak bisa menjamin terjadinya rekonsiliasi atau perdamaian di antara para pihak yang terbelah. Akhirnya dibutuhkan kesadaran para pemimpin utamanya para paslon menempatkan kepentingan persatuan bangsa diatas segala-galanya. wallahu alamu bishawab.

abdul fickar hadjar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun