Sejak remaja, ada sebuah kebiasaan yang terus muncul tanpa saya sadari: membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Awalnya, kebiasaan ini muncul begitu saja, seolah menjadi bagian dari naluri manusia untuk mengetahui posisi diri di dunia. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah, saya sering memerhatikan teman-teman sekelas---siapa yang nilainya lebih tinggi, siapa yang lebih hebat di bidang olahraga, siapa yang lebih bagus dalam berbicara, bahkan siapa yang paling populer. Setiap kali melihat perbedaan itu, pertanyaan muncul dalam hati: "Apakah saya lebih baik atau lebih buruk daripada mereka?"
Kebiasaan membanding-bandingkan ini awalnya terasa seperti permainan. Misalnya, saat ulangan matematika di sekolah, saya selalu memeriksa nilai teman-teman saya. Ketika teman sekelas mendapat nilai 95, sementara saya hanya 88, saya merasa sedikit kecewa, meskipun secara objektif nilai saya tidak buruk. Saat itu, membanding-bandingkan menjadi alat untuk mengukur prestasi diri. Saya merasa tertantang untuk lebih baik. Namun, di sisi lain, rasa frustrasi juga muncul ketika pencapaian saya tampak kalah dari teman-teman. Konflik internal ini mulai menjadi teman yang tak terpisahkan dalam keseharian saya.
Seiring bertambahnya usia, kebiasaan ini berkembang ke aspek lain dalam hidup. Saat SMA, saya mulai membandingkan penampilan dan gaya hidup. Media sosial menjadi arena baru yang memicu kebiasaan ini. Saya melihat teman-teman yang memiliki foto liburan di tempat eksotis atau prestasi di berbagai kompetisi. Saya merasa "ketinggalan" dan terkadang iri, padahal saya juga memiliki hal-hal yang membanggakan, seperti kemampuan menulis kreatif atau kemampuan memahami orang lain dengan baik. Di titik ini, saya mulai merasakan bahwa membanding-bandingkan bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga ujian mental: apakah saya akan membiarkan diri tenggelam dalam iri, atau belajar menggunakan perbandingan itu untuk berkembang?
Saya ingat suatu sore ketika duduk di kamar, menatap layar laptop yang menampilkan postingan teman sekelas tentang karya tulisnya yang mendapatkan penghargaan. Di satu sisi, saya kagum dan ingin belajar dari mereka. Namun, di sisi lain, muncul perasaan kecil di hati saya: "Kenapa saya tidak bisa secepat mereka? Apa salah saya?" Rasa frustrasi ini membuat saya menarik diri sementara, menutup diri dari lingkungan sosial, dan tenggelam dalam pikiran sendiri. Namun, ketika saya menulis di jurnal pribadi, saya mulai menulis pertanyaan reflektif: "Apa yang bisa saya pelajari dari prestasi mereka? Apa kekuatan saya yang mungkin belum saya manfaatkan?" Dengan menuliskan hal ini, saya menemukan cara untuk mengubah rasa iri menjadi inspirasi.
Kebiasaan membanding-bandingkan juga muncul dalam hubungan sosial. Saya sering memperhatikan teman-teman saya yang tampak lebih cepat akrab dalam pergaulan, lebih percaya diri, atau lebih cepat membangun jaringan sosial. Pada mulanya, hal ini membuat saya merasa kurang percaya diri. Saya sering bertanya dalam hati: "Apakah saya terlalu buruk dalam bersosialisasi? Apakah saya tidak cukup baik dalam berbagi pendapat saat bersama?" Konflik internal ini membuat saya kadang menghindari situasi sosial tertentu karena takut terlihat "kurang". Namun, seiring waktu, saya mulai mencoba pendekatan baru: bukannya merasa kalah, saya mengamati perilaku mereka, mencoba mempelajari cara mereka berinteraksi, dan menyesuaikan dengan karakter diri saya sendiri. Secara perlahan, saya menyadari bahwa membanding-bandingkan bisa menjadi guru yang baik jika niatnya diarahkan untuk belajar, bukan menilai diri secara negatif.
Dalam keseharian, membanding-bandingkan sering muncul dalam hal kecil sekalipun. Misalnya, saat melihat teman membeli gadget terbaru atau pakaian bermerek, saya merasa ingin memilikinya juga. Awalnya, saya merasa dorongan ini sederhana---hanya rasa ingin mengikuti tren. Tetapi kemudian saya sadar bahwa dorongan itu berasal dari kebiasaan membandingkan: "Mereka punya, saya tidak. Apakah saya kalah?" Perasaan ini kadang menimbulkan frustrasi, kecemasan, atau bahkan rasa tidak puas dengan diri sendiri. Namun, ketika saya mulai merenung dan menulis jurnal, saya menemukan bahwa dorongan ini bisa dimanfaatkan untuk introspeksi: apakah keinginan itu memang penting bagi saya, atau hanya muncul karena tekanan perbandingan sosial? Dengan pertanyaan sederhana ini, saya belajar memisahkan antara kebutuhan diri sendiri dan pengaruh eksternal.
Konflik internal juga muncul dalam hal prestasi akademik dan karier. Saat kuliah, saya sering membandingkan diri dengan teman-teman yang tampak lebih cepat berprestasi. Ada momen ketika saya merasa frustrasi karena penelitian yang saya lakukan tidak secepat atau semenarik penelitian teman-teman saya. Rasa tidak percaya diri muncul, membuat saya mempertanyakan kemampuan diri. Namun, melalui refleksi dan menulis jurnal, saya menyadari satu hal penting: setiap orang memiliki perjalanan unik. Membandingkan diri dengan orang lain bukan berarti mengukur nilai diri secara mutlak, tetapi bisa menjadi panduan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pribadi. Saya belajar bahwa membandingkan dalam konteks ini dapat menjadi alat pengembangan diri jika diikuti dengan tindakan nyata, bukan sekadar rasa cemas atau iri.
Kebiasaan membanding-bandingkan juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang identitas diri. Mengapa saya merasa perlu mengukur diri dengan standar orang lain? Apakah kebahagiaan dan kepuasan diri bergantung pada pencapaian orang lain? Refleksi ini membawa saya pada kesadaran penting: membanding-bandingkan bisa menjadi pedang bermata dua. Jika tidak hati-hati, ia menimbulkan tekanan psikologis, rasa cemas, dan frustrasi. Namun, jika dikelola dengan bijak, ia menjadi alat introspeksi, cermin yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan diri, sekaligus motivasi untuk berkembang.
Saya mulai mengubah cara pandang kebiasaan ini. Saat melihat prestasi teman, saya bertanya: "Apa yang bisa saya pelajari dari mereka?" Alih-alih iri, saya mencari inspirasi. Misalnya, teman yang pandai menulis mendorong saya untuk menulis lebih serius, teman yang aktif berorganisasi memotivasi saya untuk lebih terlibat dalam kegiatan sosial, dan teman yang disiplin dalam olahraga mengingatkan saya pentingnya konsistensi. Membanding-bandingkan menjadi sarana belajar, bukan alat menilai diri secara negatif.
Selain itu, kebiasaan membanding-bandingkan mengajarkan saya empati dan kesabaran. Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup dan ritme yang berbeda. Tidak semua hal yang terlihat sempurna di luar sana adalah tolok ukur yang harus dicapai. Kadang, orang tampak sukses di media sosial, tetapi di balik layar mereka menghadapi kesulitan yang tidak terlihat. Dengan kesadaran ini, saya belajar menghargai pencapaian diri sendiri dan tidak mudah merasa kalah. Saya mulai mencatat kemajuan kecil yang saya buat sendiri---sebuah prestasi pribadi yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain, tetapi sangat berarti bagi saya.