Kebiasaan ini juga membawa saya pada pertanyaan lebih filosofis: Apa arti sukses bagi saya? Mengapa saya membandingkan diri dengan orang lain? Saya menyadari bahwa inti dari membandingkan adalah keinginan untuk menjadi lebih baik, tetapi seringkali tercampur dengan rasa cemas atau ketidakpuasan. Refleksi ini membantu saya memisahkan motivasi yang sehat dari dorongan yang merugikan. Dengan demikian, saya bisa menyalurkan energi membanding-bandingkan untuk pengembangan diri, bukan kritik destruktif terhadap diri sendiri.
Akhirnya, membanding-bandingkan menjadi semacam jurnal psikologis: ia mencerminkan kekuatan, kelemahan, keinginan, dan ketakutan saya. Setiap perbandingan memaksa saya untuk introspeksi: apakah saya puas dengan diri saya? Apa yang bisa saya tingkatkan? Bagaimana cara menghargai perjalanan diri sendiri tanpa harus merasa kalah? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya belajar mengenal diri lebih dalam, menghargai proses, dan menumbuhkan rasa syukur.
Dalam perspektif yang lebih luas, kebiasaan membanding-bandingkan mengajarkan saya tentang keseimbangan. Ia menuntun saya untuk mengamati orang lain tanpa kehilangan diri sendiri, belajar dari pencapaian orang lain tanpa terjebak dalam iri, dan menilai diri tanpa terlalu keras. Proses ini bukan instan; saya masih sering tergelincir dalam perasaan cemas atau iri, tetapi dengan refleksi yang konsisten, saya semakin mampu mengubah kebiasaan ini menjadi praktik pembelajaran diri yang sehat.
Membanding-bandingkan, dalam konteks ini, menjadi cermin dan bayangan sekaligus. Cermin yang menunjukkan potensi diri, bayangan yang mengingatkan keterbatasan, dan guru yang mengajarkan introspeksi serta kesadaran diri. Ia mengajarkan bahwa setiap individu memiliki perjalanan unik, kekuatan dan kelemahan yang berbeda, serta cara belajar yang berbeda pula. Dengan memahami hal ini, saya mampu menyalurkan kebiasaan yang dulunya berpotensi negatif menjadi alat refleksi diri yang produktif.
Di akhir refleksi, saya menyadari bahwa membanding-bandingkan bukan sekadar kebiasaan, melainkan bagian dari proses mengenal diri sendiri. Ia menantang saya untuk melihat ke dalam, mengukur kemajuan, dan belajar menghargai pencapaian, baik besar maupun kecil. kebiasaan ini, jika dikelola dengan bijak, menjadi sarana pertumbuhan pribadi, motivasi untuk berkembang, dan cara untuk memahami dunia dengan lebih empatik. Dengan demikian, membanding-bandingkan bukan lagi sumber frustrasi atau iri, tetapi jendela yang membuka wawasan tentang diri, orang lain, dan perjalanan hidup yang penuh warna.
Menyadari hal ini membuat saya lebih tenang dan percaya diri. Setiap kali muncul dorongan untuk membandingkan, saya mencoba berhenti sejenak, menuliskan refleksi, dan menanyakan pada diri sendiri: "Apa yang bisa saya pelajari? Bagaimana ini bisa membuat saya lebih baik tanpa mengurangi rasa syukur saya?" Pertanyaan sederhana ini menjadi praktik harian yang membantu mengubah kebiasaan membanding-bandingkan menjadi refleksi mendalam---sebuah jurnal hidup yang membimbing saya untuk terus tumbuh, belajar, dan menerima diri apa adanya.
Alfianus Nggoa (Fian N) selain suka menulis dan membaca juga suka kamu. Sejak tahun 2020 sampai saat ini masih setia menjadi tukang masak di Pondok Baca Mataleza Olakile. Menjadi pengajar di SMPSK Kotagoa Boawae.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI