Di sebuah ruang sidang imajiner yang penuh dengan aroma fluoride dan suara mesin bor low-speed, duduklah seorang hakim gigi. Ia tidak mengenakan toga hitam, melainkan mantel steril dan masker medis. Hakim ini tidak mengetuk palu, tapi mengetukkan spatula tambalan ke meja.
Dan vonisnya?
"Pasien divonis: tambal tetap, tanpa penundaan!"
Begitulah bayangan saya, Prof, kalau suatu hari gigi bisa jadi hakim. Dan percayalah, vonis dari gigi itu kadang lebih jujur daripada sidang pada umumnya. Sebab gigi tahu apa yang terjadi---dari gigitan pertama sampai kebiasaan ngunyah sebelah kanan.
Gigi: Hakim Tanpa Kata
Gigi tidak pernah protes ketika dipakai menggigit keripik yang kerasnya setengah batu. Ia juga tak pernah mengeluh saat pemiliknya lupa menyikat gigi malam-malam. Tapi begitu tambalannya lepas, ia mengeluh lewat nyeri. Dan lewat nyeri itulah ia bersaksi:
"Saya sudah diperlakukan tidak adil, Prof..."
Nah, di sinilah gigi jadi hakim sekaligus korban. Dan kita sebagai dokter gigi (atau pasien), hanya bisa mengangguk dan berkata:
"Iya ya, ternyata gigi saya benar..."
Hakim Gigi dalam Dunia Forensik