Isu keseimbangan anggaran negara akibat efisiensi dan pergeseran program kerja prioritas Pemerintah Prabowo-Gibran yang berdampak terhadap nilai aliran dana Transfer ke Daerah (TKD) memaksa Pemerintah Daerah (Pemda) tingkat I maupun tingkat II harus berjibaku memenuhi belanjanya. Pendapatan Pemda berkurang signifikan akibat TKD-nya dipangkas Pemerintah Pusat (Pempus).
Gubernur, Wali Kota, maupun Bupati sebagai pengelola daerah harus "berakrobat" sedemikian rupa agar pemotongan anggaran ini tidak terlalu berdampak pada pelayanan publik dan jalannya pemerintahan.Â
Untuk memitigasi kekurangan anggaran dan mencari sumber pembiayaan di luar TKD, Pemda terpaksa mengambil langkah lain, mulai dari yang paling cepat dengan menaikkan pajak daerah, sementara opsi lain dan ini lebih kompleks adalah menjajaki alternatif pembiayaan jangka panjang, melalui penerbitan obligasi atau sukuk daerah.
Ketergantungan Kronis APBD terhadap APBN, Kenapa Pemangkasan TKD Begitu Menyakitkan?
Untuk memahami dampak pemangkasan, kita perlu melihat struktur pembentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Â
Menurut Informasi dari Kementerian Keuangan, pendapatan APBD secara umum berasal dari tiga sumber utama: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Transfer ke Daerah (TKD), dan Pendapatan Daerah Lain-lain yang Sah.
Secara rinci, PAD adalah dana yang dikelola sendiri oleh Pemda, Komponen utamanya terdiri dari:Â
Pajak Daerah (seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, dan PBB P2), Retribusi Daerah (pungutan atas jasa atau izin yang diberikan Pemda).
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan (misalnya bagian laba dari BUMD), dan Lain-lain PAD yang Sah (seperti hasil penjualan aset daerah).Â
Sementara itu, TKD adalah dana yang dialirkan dari APBN, meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan.Â
Terakhir, Pendapatan Daerah Lain-Lain yang Sah, berupa penerimaan lain yang diakui dan sah secara hukum (misalnya hibah).
Porsi Pendapatan Daerah
Dalam konteks fiskal Indonesia, masalahnya terletak pada tingginya ketergantungan daerah terhadap TKD. Data yang saya capture dari Kemenkeu, menunjukkan bahwa porsi TKD terhadap total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) berada di kisaran 60 persen hingga 70 persen selama beberapa tahun terakhir.Â
Angka ini mengindikasikan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia memiliki tingkat ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap dana dari pusat.
Sebaliknya, porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total Pendapatan Daerah secara rata-rata nasional hanya berkisar antara 25 persen hingga 30 persen dalam periode yang sama.Â
Artinya, tingkat ketergantungan anggaran Pemda terhadap TKD dari Pemerintah Pusat sangat tinggi, nyata adanya, lebih dari dua pertiganya berasal dari situ.Â
Jadi, ketika nilai TKD dikurangi, efeknya akan sangat terasa dan tercermin dengan morat-maritnya APBD, terutama di daerah-daerah yang pendapatan aslinya rendah.
Pola Pemangkasan Anggaran dari Pusat
Dari sisi anggaran Pemerintah Pusat atau APBN dalam tiga tahun terakhir, pagu anggaran TKD berada dikisaran 25,40 persen hingga 26,69 persen dari total Belanja Negara, dengan nilai antara Rp811,7 triliun hingga tertinggi di tahun 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun.
Menariknya, nilai realisasi anggarannya sering kali lebih tinggi dibandingkan pagu yang ditetapkan. Sebagai contoh, pada Tahun 2023, pagu TKD ditetapkan dalam APBN sebesar Rp814,7 triliun, namun realisasinya mencapai 108,17 persen dari pagunya, menjadi Rp881,3 triliun.Â
Demikian pula untuk tahun 2024, pagu anggarannya sebesar Rp857,6 triliun, dengan realisasi mencapai 100,7 persen atau Rp863,5 triliun dari pagu yang telah ditetapkan.
Namun, memasuki tahun 2025 dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, terjadi pembalikan tren dan pemangkasan anggaran TKD yang cukup signifikan, yang mencerminkan upaya efisiensi dan pengalihan alokasi anggaran pusat.
Untuk tahun 2025, pagu awal TKD memang cukup tinggi, mencapai Rp919,9 triliun, namun kemudian diturunkan pagunya menjadi tinggal Rp693 triliun sebagai efek dari efisiensi anggaran.Â
Pemangkasan yang lebih dalam lagi diproyeksikan terjadi pada tahun anggaran 2026, di mana persentase TKD terhadap total Belanja Negara turun drastis dari pola alokasi yang selalu di atas 25 persen menjadi hanya 18,03 persen.
Penurunan pagu dan persentase yang drastis ini mencerminkan upaya penyeimbangan fiskal nasional oleh Pemerintah Pusat akibat dari berbagai program kerja yang memakan alokasi anggara besar.Â
Namun, pemangkasan yang cukup dalam ini otomatis menyebabkan defisit anggaran yang parah di daerah-daerah dengan PAD rendah, sehingga Pemda dipaksa melakukan "akrobat" fiskal.
Respons Utama Daerah dengan Cara Menaikkan PBB
Salah satu cara memitigasi defisit paling cepat adalah dengan mencari dana pengganti dari sumber pendapatan yang dapat dikelola Pemda secara mandiri.Â
Menaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah lainnya menjadi respons utama yang paling logis dan bisa segera dilakukan.
Menaikan PBB, yang merupakan bagian dari komponen PAD, adalah tuas fiskal paling cepat ditarik untuk meningkatkan penerimaan.Â
Hal inilah yang tercermin dengan munculnya kebijakan menaikkan tarif PBB hingga ratusan persen di berbagai daerah. Ini merupakan konsekuensi langsung dari tekanan fiskal yang diciptakan oleh pemangkasan TKD.
Opsi Penerbitan Obligasi atau Sukuk Daerah, Alternatif yang Tak Mudah Dilakukan Pemda
Sebenarnya, ada opsi lain yang lebih terstruktur untuk membiayai defisit APBD, yakni melalui penerbitan obligasi atau sukuk daerah (creative financing), seperti yang saat ini sedang direncanakan oleh Pemprov DKI Jakarta pasca pemangkasan TKD sebesar Rp16 triliun.
Namun, opsi utang ini tidak mudah diakses dan bukan merupakan respons utama bagi mayoritas Pemda lantaran memiliki sejumlah batasan serta risiko yang perlu dipertimbangkan.Â
Bagi sebagian besar Pemda, opsi ini justru menciptakan kerumitan tersendiri karena membutuhkan persyaratan ketat, SDM ahli, dan persetujuan yang rumit, menjadikannya pilihan terakhir (atau bahkan dihindari) untuk menambal defisit.
Penerbitan obligasi atau sukuk daerah diatur secara ketat dalam regulasi, terutama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), dan detail teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 87 Tahun 2024.
Empat Syarat Ketat Penerbitan Obligasi atau Sukuk Daerah dari Kemenkeu dan OJK
Ketika Pemda berniat untuk menerbitkan sekuritas, baik yang berbasis surat utang seperti obligasi maupun berbasis syariah seperti sukuk ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi.
Dilansir Bloombergtechnoz, mengutip pernyataan yang disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi, Pemda harus memenuhi empat syarat utama, dengan tujuan untuk meminimalisir risiko gagal bayar, yang jika terjadi bakal menambah keruwetan baru.
Persyaratan tersebut meliputi:Â
Kewajiban pemenuhan Rasio Kemampuan Keuangan (Debt Service Coverage Ratio/DSCR) minimal 2,5 kali, yang memastikan Pemda memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk membayar pokok utang dan bunga.Â
Kemudian adanya pembatasan pembiayaan utang maksimum 75 persen dari pendapatan APBD yang tidak ditentukan penggunaannya, untuk menjaga keberlanjutan fiskal.Â
Pemda juga memiliki kewajiban mengalokasikan dana cadangan pelunasan dalam APBD, sehingga pembayaran utang terjamin tanpa mengganggu belanja prioritas.Â
Terakhir, Pemda harus mendapatkan persetujuan dan pengawasan lintas kementerian, di mana penerbitan wajib mendapat restu dari Kementerian Keuangan (yang dipimpin Purbaya Yudhi Sadewa) sebelum didaftarkan ke OJK, untuk memastikan penggunaan dana dialokasikan hanya untuk kegiatan produktif (infrastruktur), bukan belanja rutin.
Alhasil dengan persyarat cukup berat seperti, agak sulit rasanya mayoritas Pemda akan membiayai defisitnya lewat penerbitan surat utang, belum lagi bicara teknis penerbitannya yang lumayan njelimet.
Dan faktanya, seperti yang saya olah dari sumber data di OJK, meskipun rencana penerbitan ini telah diwacanakan oleh banyak Pemda potensial (seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), hingga saat ini, belum ada satu pun Pemda di Indonesia yang berhasil merealisasikan penerbitan obligasi atau sukuk daerah di pasar modal.
Hal ini disebabkan oleh kendala kapasitas SDM, kerumitan regulasi, dan sulitnya mendapatkan persetujuan politik DPRD.Â
Akibatnya, Pemda dipaksa kembali ke solusi cepat dan berisiko tinggi secara politik, seperti menaikkan beban pajak lokal seperti PBB, alih-alih memanfaatkan instrumen keuangan di pasar modal yang terlalu kompleks.
Solusi Logis, Sinergi Efisiensi dan Kemandirian Tanpa Memberatkan Rakyat
Untuk menyelesaikan isu pemangkasan TKD tanpa memicu kenaikan pajak lokal yang membebani rakyat (seperti kenaikan PBB yang drastis) dan tanpa harus mengandalkan skema utang yang sulit, diperlukan sinergi solusi logis dari kedua sisi.
Dari sisi Pemerintah Pusat, solusi terbaik adalah menjaga alokasi TKD agar pemotongan dilakukan secara bertahap dan terprediksi, bukan tiba-tiba.Â
Yang lebih krusial, mengkaji ulang (revisi/evaluasi) program kerja di tingkat Pusat yang memakan anggaran besar sangat perlu dan harus dilakukan secara berkala untuk menghilangkan inefisiensi dan pemborosan belanja di Kementerian/Lembaga.Â
Dengan efisiensi yang ketat di Pusat, serta realokasi anggaran dari program yang urgensinya minimal, dana dapat dialihkan untuk mengurangi pemangkasan TKD ke daerah.
Dari sisi Pemerintah Daerah (Pemda), fokus harus digeser dari menaikkan tarif pajak yang sudah ada menjadi peningkatan kepatuhan pajak, ekstensifikasi objek PAD baru, dan digitalisasi sistem pemungutan. Dengan meminimalisir kebocoran dan memperluas basis pajak secara adil, Pemda dapat meningkatkan PAD tanpa membebani masyarakat yang sudah patuh.Â
Ini bisa menjadi jalan tengah yang menjamin keberlanjutan fiskal daerah, namun tetap menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI