Ketika Pemda berniat untuk menerbitkan sekuritas, baik yang berbasis surat utang seperti obligasi maupun berbasis syariah seperti sukuk ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi.
Dilansir Bloombergtechnoz, mengutip pernyataan yang disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi, Pemda harus memenuhi empat syarat utama, dengan tujuan untuk meminimalisir risiko gagal bayar, yang jika terjadi bakal menambah keruwetan baru.
Persyaratan tersebut meliputi:Â
Kewajiban pemenuhan Rasio Kemampuan Keuangan (Debt Service Coverage Ratio/DSCR) minimal 2,5 kali, yang memastikan Pemda memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk membayar pokok utang dan bunga.Â
Kemudian adanya pembatasan pembiayaan utang maksimum 75 persen dari pendapatan APBD yang tidak ditentukan penggunaannya, untuk menjaga keberlanjutan fiskal.Â
Pemda juga memiliki kewajiban mengalokasikan dana cadangan pelunasan dalam APBD, sehingga pembayaran utang terjamin tanpa mengganggu belanja prioritas.Â
Terakhir, Pemda harus mendapatkan persetujuan dan pengawasan lintas kementerian, di mana penerbitan wajib mendapat restu dari Kementerian Keuangan (yang dipimpin Purbaya Yudhi Sadewa) sebelum didaftarkan ke OJK, untuk memastikan penggunaan dana dialokasikan hanya untuk kegiatan produktif (infrastruktur), bukan belanja rutin.
Alhasil dengan persyarat cukup berat seperti, agak sulit rasanya mayoritas Pemda akan membiayai defisitnya lewat penerbitan surat utang, belum lagi bicara teknis penerbitannya yang lumayan njelimet.
Dan faktanya, seperti yang saya olah dari sumber data di OJK, meskipun rencana penerbitan ini telah diwacanakan oleh banyak Pemda potensial (seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), hingga saat ini, belum ada satu pun Pemda di Indonesia yang berhasil merealisasikan penerbitan obligasi atau sukuk daerah di pasar modal.
Hal ini disebabkan oleh kendala kapasitas SDM, kerumitan regulasi, dan sulitnya mendapatkan persetujuan politik DPRD.Â
Akibatnya, Pemda dipaksa kembali ke solusi cepat dan berisiko tinggi secara politik, seperti menaikkan beban pajak lokal seperti PBB, alih-alih memanfaatkan instrumen keuangan di pasar modal yang terlalu kompleks.