Keputusan terbaru Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani Indrawati, Purbaya Yudhi Sadewa untuk menahan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2026, seolah membuka kembali kotak pandora dilema abadi yang dihadapi Indonesia.
Ini seperti kisah cinta segitiga yang rumit, di mana pemerintah dipaksa memilih antara Fiskal (APBN), Industri Hasil Tembakau (IHT) Nasional, dan Kesehatan Publik.Â
Sebagaimana cinta yang tak bisa dibagi, kebijakan cukai tak bisa memuaskan semua pihak tanpa meninggalkan luka.
Sesaat setelah keputusan tersebut diutarakan, secara bergelombang karangan bunga berdatangan ke Lapangan Banteng, Kompleks Kementerian Keuangan, tempat Sang Menkeu berkantor.
Karangan bunga yang berisi dukungan dari berbagai pihak seperti buruh pabrik rokok dan petani tembakau serta cengkih, dengan pesan agar industri rokok tidak dimatikan demi melindungi ekosistem ekonomi nasional dan lapangan kerja.
Namun, ada pula karangan bunga berisi kritik, termasuk dari kelompok pemuda yang menamakan diri mereka Indonesian Youth Council For Tactical Changes, yang menyindir sikap Purbaya sebagai "Menteri Koboi" karena dianggap terlalu mengikuti kemauan industri rokok dengan mengabaikan kebijakan pro-kesehatan.
Itulah gambaran dari dilema yang harus dihadapi pemerintah terkait industri tembakau sejak jaman rikiplik
Cukai, dari Upeti Firaun hingga Instrumen Pengendali Modern
Untuk memahami kerumitan ini, kita harus melihat jauh ke belakang. menurut buku berjudul "Theory and Practice of Excise Taxation:Smoking, Drinking, Polluting, and Driving" yang di tulis oleh Sijbren Cnossen.Â
Cukai dalam definisi modern (excise tax) muncul di Inggris pada abad ke-17. Cukai mulai dikenakan sebagai pungutan atas barang-barang yang memiliki dampak sosial negatif, seperti alkohol dan tembakau.Â
Fungsinya bukan sekadar alat fiskal, tetapi alat pengendali konsumsi demi kepentingan publik. Sejak saat itu, cukai menjadi pungutan atas barang tertentu yang memiliki eksternalitas negatif (dampak buruk) terhadap masyarakat.