Di tengah riuhnya carut marut perdagangan global, akibat kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat yang diinisiasi Presiden Donald Trump, perkembangan pesat infrastruktur pembayaran digital di Indonesia malah menjadi sorotan.Â
Inovasi seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang bagi Indonesia adalah sebuah kemajuan, justru masuk dalam radar "2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers" yang disusun oleh United States Trade Representative (USTR).Â
Laporan yang lazimnya mengidentifikasi tembok-tembok penghalang arus dagang ini, kini menyoroti arsitektur finansial Indonesia, mengisyaratkan potensi ganjalan non-tarif yang perlu dicermati lebih lanjut.
Laporan tersebut menyoroti bagaimana Indonesia, melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 21 Tahun 2019, berhasil merajut benang-benang transaksi digital menjadi satu kesatuan bernama QRIS.Â
Sebuah sistem unifikasi kode QR yang menjanjikan efisiensi dan kemudahan bertransaksi di seluruh pelosok Nusantara. Namun, di balik pujian terselip kekhawatiran dari raksasa kartu kredit Amerika Serikat, Visa dan Mastercard.Â
Mereka merasa kurang dilibatkan dalam orkestrasi kebijakan QRIS, sebuah isu yang bisa dikaitkan dengan teori stakeholder engagement. Teori ini menekankan pentingnya melibatkan semua pihak berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan untuk memastikan keberlanjutan dan penerimaan kebijakan.Â
Kekhawatiran mereka berkisar pada bagaimana sistem baru ini akan berinteraksi dengan infrastruktur pembayaran yang telah mereka bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.Â
"Bagaimana QRIS dapat berinteraksi dengan mulus dengan sistem pembayaran yang telah mapan?" demikian bunyi kekhawatiran yang tertulis dalam dokumen tersebut, mencerminkan dilema integrasi teknologi yang sering dihadapi dalam inovasi disruptif.
Tanggapan BI Atas Kekhawatiran AS
Menanggapi nada sumbang dari Negeri Paman Sam, Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Senior Destri Damayanti melontarkan jawaban yang lugas.Â
Beliau menekankan bahwa konektivitas antar sistem pembayaran bersifat resiprokal, sebuah konsep yang selaras dengan prinsip interoperabilitas dalam sistem keuangan. "Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?" ujarnya, seperti dilansir CNBCIndonesia. Senin (21/04/2025).
Respon ini menyiratkan kesediaan untuk berkolaborasi namun dengan garis yang jelas tentang kedaulatan sistem pembayaran nasional.Â