Dualisme penetapan awal Syawal yang merupakan hari H perayaan Idul Fitri yang diperkirakan bakal terjadi pada Ramadhan 1444 Hijriah tahun ini, bukan merupakan barang baru.
Seingat saya, sejak tahun 1990-an hingga kini, sudah berkali-kali terjadi, saat itu masyarakat menyikapinya ya biasa saja, tak ada polemik, silang pendapat atau penolakan izin dari Pemerintah Daerah setempat, dalam hal pelaksanakan shalat di Lapangan besar milik negara, seperti yang terjadi di Kota Sukabumi dan Pekalongan.
Saya ingat betul, pada tahun 2006 perbedaan hari lebaran  juga pernah terjadi, dan kebetulan saya sudah berada di Kota Sukabumi.
Pemda Sukabumi saat itu membolehkan kok menggunakan Lapangan Merdeka yang merupakan salah satu  landmark di kota tersebut yang biasa digunakan sebagai sarana untuk Shalat Ied setiap tahunnya, umat muslim yang merayakan lebaran lebih awal bisa menggelar Shalat Sunnat Ied dengan leluasa, padahal Pemerintah dan sebagian besar umat muslim lain baru merayakan Idul Fitri keesokan harinya.
Dan yang membuat saya salut, mereka yang berlebaran lebih awal, tak jor-joran dan show off juga makan opor ayam dan ketupatnya, mereka lebih banyak ramai di internal keluarganya saja.
Baru keesokan hatinya, ketika kami dan sebagian besar umat muslim lain merayakan Lebaran, semua ikut berbaur saling bersilaturahmi antar tetangga, kerabat, dan handai taulan.
Intinya saat itu, kami saling bertenggang rasa satu sama lain  menghargai dan legowo dalam menyikapi perbedaan "tanggal" lebaran itu.
Sedari awal seharus kita semua sudah harus menyadari, bahwa perbedaan waktu berlebaran itu pasti bakal terjadi sekali-kali dan itu tak akan dapat dihindari
Karena metodologi yang dikembangkan dalam menentukan tanggalan dalam  kalender hijriah juga  berbeda,.antara Pemerintah yang mengacu pada ormas Islam Nahdladul Ulama (NU) dengan Ormas Islam Muhammadiyah, Persis dan sejumlah Ormas Islam lain seperti Tarekat Nasyabandiyah misalnya.
Mengutip NUonline .Com  Pemerintah dan NU menggunakan metode Imkanurukyat (visibilitas) sedangkan Muhammadiyah memakai metode Hisab Wujudul Hilal yang dihitung secara matematis berdasarkan ilmu falak.
Meskipun demikian, menurut Ketua Lembaga Falakkiyah Pengurus Besar NU, KH Sirril Waffa bahwa perbedaan penerapan awal bulan dalam kalender Hijriah ini sejatinya tak melulu masalah metodeloginya saja, tetapi lebih karena ketidaksamaan dalam pemahaman fiqihnya.