Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dibandingkan Sebagian Besar Negara Lain, untuk Urusan Mengendalikan Inflasi Pemerintah Jokowi Memang Oke

18 Juni 2022   14:53 Diperbarui: 18 Juni 2022   15:20 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun berbagai harga bahan kebutuhan pokok di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir terus mengalami kenaikan, tetapi angka inflasi di bawah Pemerintahan Jokowi relatif terkontrol dibandingkan dengan sebagian besar negara lain.

Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Inflasi di Indonesia pada Bulan Mei 2022 sebesar 0,40 persen, sementara untuk tahun kalender antara Bulan Januari -Mei inflasi Indonesia mencapai 2,56 persen.

Sedangkan untuk Bulan Juni 2022 ini, Bank Indonesia memproyelsikan inflasi di Indomesia bakal melandai ke angka 0,32 persen.

Secara tahunan atau Year on Year (YOY) seperri dilansir situs resmi Bank Indonesia, pada Bulan Mei 2022 Inflasi Indonesia sebesar 3,55 persen.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebelum pandemi Covid-19 terjadi pada awal 2020 inflasi-nya selalu terjaga di bawah 2 persen.

Menurut data dari Biro Pusat Statisil dan Tenaga Kerja AS seperti dilansir situs investasi Investing.Com, pada periode yang sama di Bulan Mei 2022, secara YoY inflasi di Negeri Paman Sam mencapai 8,6 persen.

Angka inflasi ini menjadi yang tertinggi sejak 41 tahun lalu. Sejumlah faktor menjadi pendorong inflasi di Bulan Mei tersebut, yang diakibatkan oleh sisa-sisa penanganan Pandemi Covid-19 dan situasi geopolitik perang antara Ukraina dengan Rusia yang entah kapan berakhir.

Hal tersebut membuat, rakyat AS harus merasakan kenaikan energi hingga 34,6 persen terbesar sejak September 2005.

Sedangkan harga bahan pangan melonjak mencapai 10,1 persen, kenaikan pertama yang di atas 10 persen sejak Maret 1981.

Pada intinya, fenomena kenaikan harga pangan dan energi memang terjadi merata di hampir seluruh wilayah dunia, meskipun setiap negara tingkat inflasinya berbeda-beda.

Menurut Bank Indonesia Inflasi dalam terminologi ilmu ekonomi adalah sebuah keadaan dimana harga barang dan jasa mengalami kenaikan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Secara global, sebenarnya lonjakan inflasi tersebut sudah diperkirakan oleh para pandit ekonomi dunia, tetapi besarannya ternyata rata-rata di atas proyeksi dunia, sehingga beberapa lembaga keuangan multirateral seperti Internasional Monetary Fund (IMF) dan World Bank harus melakukan revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi dunia.

Untuk indeks harga pangan global seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melonjak hingga 12,6 persen pada Maret 2022.

Angka ini merupakan level tertinggi sejak tahun 1990. Di bidang energi, setali tiga uang, harga minyak dunia secara tahunan naik hingga 77,77 persen.

Sementara rata-rata harga gas dunia meroket mencapai 18o,4 persen, pun demikian pada sumber energi lain yakni batu bara kenaikannya lebih luar biasa lagi hingga mencapai 315,74 persen.

Dengan data seperti ini tak heran jika kemudian tsunami inflasi melanda hampir seluruh negara di dunia.

Bank for Internasional Settlement seperti yang saya kutip dari CNBCIndonesia.Com memperkirakan 60 persen negara di dunia harus menghadapi gelombang besar inflasi di atas 5 persen.

Lebih parah lagi, inflasi dirasakan oleh negara berkembang yang angkanya rata-rata  di atas 7 persen.

Jerman saja yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia yang biasanya mampu mengendalikan inflasi secara cermat, pada Bulan April 2022 angkanya menembus 7 persen tepatnya 7,4 persen seperti yang dicatatkan oleh Refinitiv Eikon, Lembaga Riset  Keuangan yang bermarkas di Eropa.

Angka inflasi Jerman tersebit merupakan yang tertinggi sejak 40 tahin lalu. Seperti di negara-negara lain inflasi ssbesar iti didorong oleh kenaikan harga pangan yang naik hingga 12,2 persen, sedangkan harga  energi melonjak mencapai 35,3 persen.

Hal serupa terjadi pada negara Eropa yang lain, angka Inflasi di Inggris pada bulan April 2022  mencapai 9 persen.

Italia angka inflasinya 6,2 persen. Bahkan Turki pada periode yang sama mencatatkan angka inflasi fantastis hingga di atas 50 peesen, tepatnya 69,97 persen.

Sementara di Asia rata-rata angka inflasinya terlihat lebih kecil. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pangan dan energi mereka tak terkait langsung dengan dua negara yang tengah berseteru Ukraina dan Rusia yang merupakan negara penghasil sumber energi dan pangan bagi negara-negara Barat.

Angka inflasi di Korea Selatan pada April 2020 hanya sebesar 4,3, meskipun angka ini tertinggi sejak 13 tahun lalu.

Filipina inflasinya mencapai 4,9 persen dan yang tertinggi angka inflasinya di Asia adalah Sri lanka yang mencapai 29,8 persen, menyusul kemudian India di angka 7,79 persen.

Beberapa negara Asia, yang tingkat inflasinya si bawah Indonesia yang sebesar 3,55 persen adalah Jepang yang pada Maret mencatatkan inflasi tahunan sebesar 1,2 persen, Hongkong pada periode yang sama inflasinya hanya 1,7 persen.

Sementara angka inflasi China di Bulan April sebesar 2,1 persen. Meskipun demikian seluruh negara tersebut mencatatkan kenaikan angka inflasi bahkan diantaranya memecahkan rekor inflasi dalam beberapa tahun terakhir.

Jika mengacu pada angka-angka di atas tadi, sudah sepatutnya lah kita mengapresiasi kinerja tim ekonomi Pemerintah Indonesia saat ini  yang mampu mengendalikan gejolak inflasi.

Pemerintah Indonesia menahan gejolak inflasi di sektor energi misalnya dengan mempertahankan harga jual bahan bakar minyak jenis Pertalite yang paling banyak digunakan masyarakat melalui mekanisme subsidi terbuka.

Meskipun akibatnya pemerintah harus menggelontorkan nilai subsidi yang sangat besar. Dalam APBN 2022 seperti yang saya kutip dari data Kementerian Keuangan subsidi bertambah Rp.74,9 triliun menjadi Rp. 234 triliun.

Sementara untuk kebutuhan listrik masyarakat menangah ke bawah subsidi pemerintah mencapai Rp.41 triliun.

Selain itu untuk menjaga daya beli masyarakat terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan pemerintah menggelontorkan tambahan bantuan sosial sebesar Rp.18,9 triliun menjadi Rp.431,5 triliun.

Kendati demikian, memang apa yang dilakukan pemerintah Jokowi tersebut belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi masyarakat, karena dilapangan harga-harga kebutuhan pangan terus menunjukan kenaikan yang cukup signifikan.

Tapi paling tidak masih bisa dikendalikan agar tak melonjak terlalu tinggi sehingga tak terjangkau lagi oleh masyarakat bawah.

Namun bukan berarti mereka harus berpuas diri, harus ada langkah nyata dari pemerintah untuk meredam kenaikan harga pangan tersebut.

Mungkin dengan mengurangi komponen impor dalam hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga tak tergantung pada piahak eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun