Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rencana Bahan Kebutuhan Pokok Dikenai Pajak, Kebijakan Pemerintah yang Tidak Bijak

10 Juni 2021   11:14 Diperbarui: 10 Juni 2021   11:32 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah hingar bingar isu McD dengan BTS Meal-nya dan Goffar Hilman vs Everybody dalam kasus pelecehan seksual. Sebenarnya ada isu yang lebih penting yang sudah sepantasnya mendapat perhatian lebih dari masyarakat lantaran ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Pemerintah, saya tidak tahu ini dilakukan diam-diam atau ramai-ramai berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan perluasan objek. Salah satunya yang bakal objek perluasan pajak adalah BARANG KEBUTUHAN POKOK alias SEMBAKO.

Selama ini bahan kebutuhan pokok tak dikenai PPN seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 16/PMK.010/2017, menurut situs Kemenkeu.go.id barang-barang kebutuhan pokok itu meliputi:

  1. Beras dan gabah. Kriteria yang masuk dalam beras dan gabah yang tidak kena PPN adalah, berkulit, dikuliti, setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, pecah, menir, selain yang cocok untuk disemai.
  2. Jagung. Kriteria yang masuk dalam jagung yang tidak kena PPN adalah, telah dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit.
  3. Sagu. Kriteria sagu tidak PPN adalah, empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung kasar dan bubuk.
  4. Kedelai. Kriteria kedelai yang tidak kena PPN adalah berkulit, utuh dan pecah, selain benih.
  5. Garam konsumsi. Kriterianya antara lain, garam yang beryodium maupun tidak (termasuk garam meja dan garam didenaturasi) untuk konsumsi/kebutuhan pokok masyarakat.
  6. Daging. Kriteria daging tidak kena PPN adalah, daging segar dari hewan ternak dan unggas dengan atau tanpa tulang yang tanpa diolah, baik yang didinginkan, dibekukan, digarami, dikapur, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.
  7. Telur. Kriteria telur yang tidak PPN adalah, telur tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan atau diawetkan dengan cara lain, tidak termasuk bibit.
  8. Susu. Kriteria susu sebagai barang tidak kena PPN adalah, susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan (pasteurisasi), tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya.
  9. Buah-buahan. Kategori buah yang tidak kena PPN adalah buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading, selain yang dikeringkan.
  10. Sayur-sayuran. Yang masuk kategori sayur-sayuran tidak kena PPN adalah, sayuran segar, yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah atau dibekukan, termasuk sayuran segar yang dicacah.
  11. Ubi-ubian. Termasuk dalam kategori ini adalah ubi segar, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading.
  12. Bumbu-bumbuan. Kriteria bumbu-bumbuan yang tidak dikenakan PPN adalah bumbu-bumbuan segar, dikeringkan tetapi tidak dihancurkan atau ditumbuk
  13. Gula konsumsi. Dalam gula konsumsi, yang tidak dikenakan PPN meliputi, gula kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan perasa atau pewarna.

PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.

Begitu rencana pemerintah pengenaan pajak terhadap barang kebutuhan pokok ini tercium media, mulailah isu ini ramai menjadi perbincangan meskipun tak seramai isu McD dan Goffar Hilman.

Sejumlah pihak menyatakan keberatannya atas rencana pemerintah ini yang akan dituangkan dalam revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang akan dibahas dan disahkan tahun 2021 ini.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Kamarussamad misalnya, ia memastikan bahwa dirinya akan menolak apabila barang-barang kebutuhan pokok dikenakan PPN.

"Kami akan menolak apabila ada kewajiban perpajakan baru yang membebani rakyat," katanya, seperti dilansir JPPN.com, Rabu (09/06/21).

Bahkan salah satu pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut rencana pemerintah ini sebagai "bunuh diri" perekonomian Indonesia.

"Pemerintah sepertinya sedang melakukan bunuh diri ekonomi tahun depan. Momentum pemulihan ekonomi justru diganggu kebijakan pemerintah sendiri," ungkap Bhima, seperti dilansir CNNIndonesia.com.

Merespon berbagai kritik tersebut Staf Ahli Bidang Komunikasi Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo melalui akun Twitter miliknya mengatakan bahwa kebijakan ini sudah diperhitungkan secara matang, dan sudah pasti dilakukan tak membabi-buta.

"Kembali ke awal, nggak ada yg tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati2an justru dibunuh sendiri. Mustahil!"

Ia pun kemudian memaparkan alasan kenapa kenaikan PPN dan perluasan objek pajak itu harus dilakukan, Penanganan pandemi Covid-19 memang membuat jebol APBN Indonesia, defisitnya terus menganga semakin dalam, tahun 2020 menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani defisit APBN mencapai 6,1 persen dari PDB atau sebesar Rp. 956,3 triliun.

Sementara untuk tahun 2021 ini defisit diperkirakan akan naik menjadi Rp 1004,6 triliun. 

Oke lah kita bisa memahami kesulitan pemerintah, lantaran kita tahu juga sumber pendapatan utama APBN kita dari sektor pajak. Tapi bukan berarti harus diperluas untuk barang-barang kebutuhan pokok juga yang pasti akan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia.

Berbagai insentif pajak yang diberikan pada berbagai industri dalam rangka mengurangi dampak pandemi Covid-19, menjadi tidak berarti sama sekali. Seolah-olah rakyat banyak dibebani untuk menutup gap akibat insentif yang diberikan pemerintah pada para pengusaha.

Jika memang pemerintah tak memiliki uang yang cukup, kenapa juga harus memberikan insentif pajak alih-alih membebankan hal tersebut pada rakyat.

Bagi golongan menengah ke atas, pengenaan pajak terhadap sembako ini mungkin tak akan terasa, tapi bagi golongan mayoritas penduduk Indonesia yang menengah ke bawah yang penghasilannya pas-pasan kenaikan Rp.2.000 saja bisa terasa sekali.

Selain itu, memajaki sembako bakal berdampak kepada ekonomi nasional karena akan berefek domino terhadap harga-harga barang lainnya, akibatnya konsumsi domestik akan menurun dan pertumbuhan ekonomi pun akan melambat.

Tapi, ini kan baru rencana masih dalam pembahasan belum tentu juga ditetapkan, seperti kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kemenkeu, Neilmaldrin Noor seperti dilansir Kompas.TV.

"Perlu kami sampaikan bahwa sampai saat ini rancangan mengenai tarif PPN masih menunggu pembahasan," katanya.

Iya, kalau enggak dibikin gaduh, penetapannya akan dilakukan diam-diam, tahu-tahu diberlakukan saja aturannya. Dan masyarakat luas lah yang harus menanggung akibatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun