Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hitam Putih Pramoedya Ananta Toer "Sang Algojo Lekra" dan Propaganda

27 September 2020   15:17 Diperbarui: 27 September 2020   15:47 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi malam saya menonton sebuah film berjudul Inglorious Basterds garapan Quentin Tarantino. Film drama aksi yang mengambil setting masa perang dunia ke-2, tentang pendudukan Nazi di Perancis.

Film yang penuh adegan kekerasan ini, bercerita tentang pembalasan dendam terhadap Nazi yang dilakukan oleh sekelompok pasukan Yahudi Amerika dan seorang wanita Yahudi penyintas pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Nazi.

Namun, bagi saya yang menarik dari film ini, bukan hal itu, tetapi ketika Nazi menyadari betapa pentingnya propaganda agar mendapat dukungan dari masyarakat Jerman dan dunia melalui film serta berbagai kegiatan kebudayaan lainnya.

Untuk kepentingan propagandanya Nazi bertindak all out. Bahkan pimpinan tertingginya Sang Fuhrer, Hitler beserta seluruh jajaran petinggi mereka datang ke sebuah pemutaran perdana film yang bertajuk The Nation Pride hingga akhirnya mati di bantai oleh para Yahudi itu.

Memang itu hanya sebuah film fiksi, tetapi propaganda untuk kepentingan politik melalui berbagai kegiatan budaya seperti tulisan, film, musik ala Nazi dalam film peraih 7 nominasi Academy Award itu, di dunia nyata terbukti sangat efektif.

Perkara propaganda ini juga terjadi di Indonesia seperti yang terjadi awal 60-an, masa dimana perseteruan antara komunisme dan anti komunisme memanas.

Perseteruan ini dipicu oleh pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 yang menetapkan Demokrasi Terpimpin menjadi sistem kenegaraan yang dianut Indonesia dengan Nasionalis, Agama, dan Komunis sebagai pilar utamanya.

Soekarno menyebut hal ini sebagai Manifest politik atau lebih dikenal dengan Manipol, yang kemudian disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)

Perseteruan antara pihak yang mendukung Komunisme dan anti komunisme berujung pada perang propaganda antar keduanya melalui media sastra, yang saat itu memang sedang hype.

Para sastrawan terlibat secara intens dalam perang propaganda tersebut, tak terkecuali Pramoedya Ananta Toer yang saat itu baru kembali dari Belanda dalam rangka program pertukaran budaya.

Ia kemudian menjadi Redaktur rubrik Lentera yang merupakan bagian dari Majalah Bintang Timur Partai Indonesia (Parindo) yang secara politik sehaluan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sikap Pram sangat jelas bahwa dirinya mendukung kebijakan Soekarno dan menentang dengan sangat keras pihak-pihak yang menentangnya.

Melalui berbagai tulisannya di Lentera ini Pram lantas menyerang para sastrawan yang dianggapnya menentang kebijakan Manipol yang diusung Soekarno. Pram menyebut para sastrawan yang anti-komunisme sebagai anti-Manipol dan kontra revolusioner.

Pram yang kemudian diangkat menjadi pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbouw PKI. Sementara para sastrawan dan budayawan anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 1963.

Para anggota Manifest Kebudayaan yang diantaranya terdiri dari sastrawan-sastrawan kondang seperti Taufiq Ismail, HB Yassin, Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, hingga Buya Hamka mereka mengusung narasi humanisme universal. 

Demi mendengar hal ini, Pram kemudian mengolok-ngolok manifest kebudayaan ini dengan sebutan Manikebu  dan ia pun mengkritisi narasi humanisme universal milik mereka serta menganggapnya sebagai bagian dari imperialis-neokolonialisme.

"Kaum Manikebu muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembak pada kaum imperialis-neokolonialisme sebagai titik pusat tembak. Mereka muncul pada pada garis tembak kita," ujar Pram di Lentera tanggal 12 April 1964 seperti yang saya nukil dari Historia.Id.

Sebagai tandingan atas narasi humanisme universal yang mewacanakan perjuangan kebudayaan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia yang memiliki inti seni untuk kemanusian. Pram merilis narasi yang ia sebut realisme sosialis yang meletakan kenyataan dan kebenaran yang lahir dari pertentangan-pertentangan dalam masyarakat maupun dihati setiap individu manusia sebagai dasar material kesenian.

Selain berperang wacana melalui berbagai tulisan, Pram juga melakukan berbagai aksi nyata melalui lobi-lobi ke pemerintah Soekarno untuk menekan para sastrawan yang tergabung dalam Manikebu agar mereka dipecat dari jabatan publik dan karya-karya tulis mereka dilarang diterbitkan dan kolom-kolom mereka di majalah dan koran dihilangkan, intinya tulisan-tulisan mereka tak boleh terbaca oleh masyarakat.

Dan betul saja, menindaklanjuti tekanan tersebut, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada pertengahan 1964. 

Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi sengsara karena karya mereka tak ada lagi yang mau menerbitkan atau sekedar memuat di halaman majalah dan koran.

"Kami menjadi sengsara, terpojok, dan tanpa karya" ujar Taufiq Ismail salah satu pendiri Manikebu.

Bahkan Taufiq Ismail saat itu menyebut Pram yang merupakan pemimpin Lekra sebagai "Algojo Lekra".

Tindakan Pram seperti ini menurut salah satu pendiri Manikebu yang lain, Ajip Rosidi bukan merupakan permintaan dari Lekra maupun PKI  tetapi atas pemikirannya sendiri.

Lantaran Ajip meyakini, Pram itu seorang Soekarnois sejati sehingga apapun kebijakan Soekarno akan sangat di dukung Pram.

Namun karena tindakan Pram tersebut menguntungkan pihak  kiri, maka dukungan dari PKI pun mengalir sangat deras kepadanya.

Serangan Pram dan beberapa sastrawan Lekra terhadap para anggota Manikebu dimanfaatkan PKI untuk menarik perhatian dari Presiden Soekarno, bahkan ketika perlawanan Manikebu tambah sengit PKI melakukan lobi tingkat tinggi hingga kemudian Soekarno membubarkan Manikebu.

Ajip sangat yakin bahwa Pram tak berhaluan komunis dan ia bukan merupakan anggota PKI, karena sifat asli Pram itu seorang individualis, mana mungkin seorang soliter seperti Pram mau sama rasa sama rata seperti ajaran komunis.

Keyakinan Ajip ini kemudian diakui Pram saat ia telah dibebaskan dari penahanannya di Pulau Buru, bahwa ia memang tak pernah sepemahaman dengan pikiran para petinggi PKI, seperti Nyoto dan DN Aidit.

Meskipun demikian memang faktanya Lekra dan Manikebu itu terus berseteru, Taufiq Ismail lewat bukunya berjudul "Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk." sangat yakin Lekra di bawah pimpinan Pram merupakan antek PKI, yang pada zamannya melakukan tindakan brutal terhadap para seniman dan sastrawan Manikebu.

Puncak perseteruan antara Lekra dan Manikebu terjadi pasca 30 September 1965  yang berakibat dihabisinya komunisme dan PKI sampai ke akar-akarnya.

Soekarno lengser, PKI dan kader hingga simpatisan atau siapapun terindikasi menyukainya ditangkapi satu persatu bahkan sebagian dari mereka dibantai sehingga menimbulkan korban hingga ratusan ribu orang.

Hal yang sama terjadi juga terhadap Lekra dan para anggotanya, Pram sendiri ditangkap oleh massa yang terdiri  dari gabungan masyarakat dan militer tak lama berselang setelah peristiwa G30S di rumahnya di Utan Kayu Rawamangun Jakarta Timur.

Pram dibawa ke markas Kodim Jalarta Timur bersama adiknya Koesalah, dalam penangkapan tersebut konon katanya Pram dan adiknya sempat mengalami penyiksaan, beberapa naskah tulisan pun hilang diambil oleh massa termasuk naskah buku Panggil Aku Kartini  jilid 3 hingga 7.

Setelah dari markas Kodim Pram dijebloskan ke Penjara Salemba dan Nusakambangan sebelum kemudian di buang ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa pernah diadili, disana ia dilarang melakukan aktivitas tulis menulis oleh rezim Orde Baru hingga tahun 1978 ketika Panglima Kopkamtib saat itu Jenderal Soemitro berkunjung ke Pulau Buru.

Dalam kunjungan tersebut Soemitro berjumpa dengan Pram, ia bertanya pada Pram mengapa ia masuk Lekra, Pram menjawab 

"Saya ingin menyalurkan profesi saya sebagai seorang sastrawan, hanya PKI yang punya program itu, partai lain tidak"ujar Pram.

Lantas Soemitro bertanya lagi "apa yang bisa saya bantu" ujarnya.

Pram saat itu meminta mesin ketik, kertas dan berbagai kamus Bahasa Perancis. Tak lama berselang mesin tik itu sampai ke tangan Pram.

Setahun kemudian pada tahun 1979 atas perintah Soemitro Pramudya Ananta Toer di bebaskan dari penjara Pulau Buru, meskipun ia masih dalam kondisi tahanan rumah dan seminggu sekali harus melapor ke Kodim.

Soemitro tahu mengenai Pram sebagai seorang sastrawan hebat saat ia berkunjung ke Eropa dan banyak pihak menanyakan keberadaan Pramoedya Ananta Toer yang mereka ketahui tengah di tahan.

Dari situlah Soemitro tahu bahwa  Pram merupakan seoramg sastrawan yang telah mendapat pengakuan diberbagai belahan dunia.

Namun demikian, meskipun masa sudah berganti waktu telah berlalu, perseteruannya dengan eks anggota Manikebu sepertinya tak pernah benar-benar selesai.

Saat Pram menerima anugerah dari Yayasan Ramon Magsaysay Filipina pada tahun 1995, dalam bidang jurnalistik, sastra, dan seni komunikasi kreatif karena karya -karya tulisnya dianggap mumpuni.

Namun ternyata anugerah pada Pram ini ditolak oleh sejumlah sastrawan, seniman, dan jurnalis diantaranya Taufik Ismail, HB Jassin, Moechtar Lubis, Asrul Sani, Rendra hingga Rosihan Anwar.

Mereka meminta pihak Yayasan Magsaysay,melihat dan tidak melupakan atas apa yang dilakukan Pram pada tahun 1960-an saat ia di Lekra. Saati itu Pram dianggap telah membungkam dan menghambat proses kreatif sastrawan dan seniman yang tergabung dalam Manikebu.

Pram sendiri tak memedulikan penolakan itu, karena ia menganggap masa lalu itu terjadi karena situasi politik yang terjadi saat itu.

Lpas dari noda masa lalunya dalam urusan politik, Pram yang memiliki nama asli Pramudya Ananta Mastoer memang seorang sastrawan besar negeri ini. Karya-karyanya mendapatkan kehormatan dalam khazanah kesusasteraan dunia.

Dialah satu-satunya pengarang asal Indonesia yang masuk dalam nominasi hadiah Nobel Bidang Kesusasteraan, melalui Tetralogi novelnya yang ia tulis saat dalam tahanan politik di Pulau Buru.

Sepanjang karirnya sebagai seorang penulis ia telah menghasilkan 50 karya sastra dan sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa.

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru. Masing-masing bertajuk Bumi Manusia yang diterbitkan tahun 1980, Anak Semua Bangsa tahun 1981, Jejak Langkah tahun 1985, dan Rumah Kaca tahun 1988.

Keempat buku tersebut sempat dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru. Jika kita ingin mendapatkan buku karya Pram saat itu seperti hendak membeli Narkoba, tak hati-hati bisa-bisa berakhir di jeruji penjara.

Namun setelah Rezim Orde Baru tumbang buku-buku karya Pram  mulai bebas beredar di Indonesia, kini kita dengan mudah mendapakan karya-karya tulisnya di toko-toko buku terkemuka, disetiap sudut Indonesia.

Bahkan salah satu bukunya baru-baru ini sudah diadaptasi ke dalam sebuah film berjudul Bumi dan Manusia yang digarap secara apik oleh Sutradara Hanung Bramantyo.

Pram yang dilahirkan di Blora Jawa Tengah, 6 Februari 1925, dari ayahnya yang seorang guru dan ibunya seorang penjual nasi. Ia mulai menulis saat dirinya bertugas di kelompok militer dalam menghadapi agresi Belanda.

Di sela-sela tugasnya ia menulis berbagai cerpen. Pram sempat merasakan dinginnya penjara untuk pertama kali pada tahun 1948, karena memprotes perlakukan diskriminatif terhadap etnis China, disanalah Pram mengasah kemampuannya menulis, banyak karya yang ia hasilkan saat dirinya di penjara tersebut.

Ia menikah dengan seorang perempuan bernama Maemunah yang merupakan keponakan dari Pahlawan Nasional Husni Thamrin, dan dikaruniai 8 orang anak yang 7 diantarnya perempuan.

Sejak keluar dari Pulau Buru ia sepenuhnya hidup dari royalti bukunya yang banyak diterbitkan di luar negeri. Dimasa tuanya ia masih terus menulis, terakhir ia menulis sebuah buku berjudul  Jalan Raya Pos, Jalan Deandels pada tahun 2005.

Setahun kemudian Pram menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 30 April 2006 dalam usia 81 tahun karena radang paru-paru penyakit yang diakibatkan oleh kesenangannya merokok.

Jenazahnya dikuburkan di TPU Karet Bivak  Tanah Abang Jakarta Pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun