“Apa kubilang, dia itu pelacur…”
Aku sudah berusaha menutup kupingku rapat-rapat, bersembunyi dan tak menunjukkan rupaku. Bagi mereka aku begitu hina. Pelacur! Kembali ke pengkuan ibu, bisa jadi bukan keputusan yang baik. Ibuku kena getahnya, dia tak mendapatkan buah apapun dari perbuatanku. Getah itu mungkin tak bisa lepas di sisa umurnya. Malah jerih menjadi perih, ‘ibu pelacur’, sebutan untuk ibuku. Tetapi mau kemana lagi aku kembali. Ibuku adalah tempatku meramu rindu, kali ini sekaligus meramu pilu.
Meski nanar harus diterima. Pelacur! Sebutan itu seolah membuatku tak layak menata hidup kembali. Tak layak menegakkan tiang kehidupan sebagai manusia. Binatang jalang yang hanya untuk dibuang. Terus dibujuk rayu, dimadu, dan dicumbu. Tanpa kasih dan hilang cinta dari orang-orang yang penuh hati. Pelacur!
Dipelukan ibu, aku menangis dan dia bertambah sendu, “Rinjani sudahlah hapus sudah semua duka termasuk air matamu itu. Percuma saja kamu telan cemoohan orang-orang itu. Ibu senang melihat kau disini. Merasakan kehangatan tubuhmu, persis ketika kamu dilahirkan. Kini, ibumu dan kamu anakku sama saja. Aku tetap ibumu dan kau anakku. Jikalau kamu disebut pelacur. Aku rela mereka juga menasbihkan sebutan itu kepadaku, ibu pelacur! Kita memiliki sebutan yanga sama, Pelacur!”