Mohon tunggu...
Ferlycia AidaWardani
Ferlycia AidaWardani Mohon Tunggu... Freelancer - Masih Berproses

Sabar, Satu per Satu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tingkat Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Pendidikan Anak Miskin

21 Januari 2020   23:51 Diperbarui: 22 Januari 2020   00:01 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan sumber daya manusia untuk menciptakan manusia produktif yang mampu memajukan bangsanya (Kunaryo, 2000: 21). Pendidikan sangat penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tetapi sayangnya, di Indonesia pendidikan tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Pemerintah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan dan melakukan berbagai intervensi untuk menunjang pendidikan terutama untuk kaum miskin. Tapi nyatanya output yang dihasilkan masih jauh dari harapan. Melihat permasalahan ini, perlu diperhatikan dan dikaji kembali apakah intervensi yang dilakukan pemerintah sudah sangat efektif untuk mengatasi pendidikan bagi kaum miskin. Tentunya perlu untuk segera dilakukan perbaikan jika perlu agar pendidikan di Indonesia ini semakin maju dan tidak tertinggal dari negara lain.

Dalam UUD 45 Pasal 31 ayat 1 secara tegas disebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan"  Dari undang undang tersebut bisa dilihat bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama yaitu berhak untuk menuntut ilmu. Namun kenyataannya,  karena kondisi ekonomi ada dalam lingkup kemiskinan, hak tersebut kemudian terabaikan. Lebih ironis lagi, banyak anak-anak yang rela bekerja untuk membantu orang tuanya sehingga waktu belajar mereka habis digunakan untuk bekerja,

Yang masih menjadi pertanyaan hingga saat ini, mereka miskin lalu menjadi bodoh, ataukah bodoh lalu menjadi miskin? Hal ini memang sesuatu yang rumit. Keadaan ekonomi yang sangat rendah. Uang yang mereka miliki hanya cukup untuk makan sehari-hari, sehingga membuat mereka mengorbankan pendidikan anak-anak mereka. Jika hal ini dibiarkan, nasib mereka tidak akan berubah, anaknya putus sekolah, berakibat tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, keadaan ekonomi tetap ada pada garis kemiskinan. Dan dampak buruk kedepannya adalah kemiskinan akan menjadi warisan secara turun temurun.

Menyadari hal tersebut, sudah saatnya pemerintah memperbaiki sistem ekonomi Indonesia dengan memperbaiki dari pendidikan para generasi mudanya.

Pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang bertujuan agar warga negaranya mendapatkan ilmu pengetahuan yang dapat mengurangi tingkat ketertinggalan dan keterbelakangan suatu daerah. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan meningkatkan produktivitas orang tersebut, karena ilmu dan pengetahuan diperoleh lebih banyak. Peningkatan produktivitas dapat meningkatkan pendapatan individu. Peningkatan pendapatan individu tersebut dapat meningkatkan konsumsi mereka, dan dapat terhindar dari kemiskinan. Dengan peningkatan pendapatan dan konsumsi tersebut nantinya akan berdampak pada meningkatkan PDB negara tersebut.

Menanggapi permasalahan diatas, pemerintah melakukan beberapa Intervensi. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad menuturkan, anggaran pada 2019 akan difokuskan pada perluasan akses masyarakat terhadap pendidikan. Perluasan akses pendidikan di antaranya dengan terus menggenjot penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP) melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Untuk Program Indonesia Pintar (PIP) di tahun 2018, dari target 17,9 juta siswa dapat disalurkan menjadi 18,7 juta siswa.

Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) adalah pemberian bantuan tunai pendidikan kepada anak usia sekolah (usia 6 - 21 tahun) yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin: pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang disabilitas, korban bencana alam/musibah. PIP merupakan bagian dari penyempurnaan program Bantuan Siswa Miskin (BSM). PIP dirancang untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin/rentan miskin/prioritas tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah, baik melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak Lulus SMA/SMK/MA) maupun pendidikan non formal (Paket A hingga Paket C serta kursus terstandar).

Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah, dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikannya. PIP juga diharapkan dapat meringankan biaya personal pendidikan peserta didik, baik biaya langsung maupun tidak langsung.

Dana PIP dapat digunakan untuk membantu biaya pribadi peserta didik, seperti membeli perlengkapan sekolah/kursus, uang saku dan biaya transportasi, biaya praktik tambahan serta biaya uji kompetensi. Melalui Program KIP ini diharapkan dimasa depan diharapkan mereka dapat memutus rantai kemiskinan yang saat ini dialami orangtuanya.

Untuk melihat keberhasilan dari intervensi pemerintah ini, kita perlu melihat aspek efektivitas sasaran program dan pendistribusian KIP. Mekanisme dan sasaran yang ditetapkan oleh Pemerintah mengenai pihak penerima KIP sudah sangat jelas, akan tetapi pada implementasinya memiliki beberapa kendala, antara lain masalah pendistribusian yang tidak merata. Hal ini bisa terjadi salah satu penyebabnya yaitu masalah data yang dipakai berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), data yang tersaji kedaluwarsa, profil murid maupun orangtua banyak yang berubah. Tidak aneh bila ada murid SMK yang sudah lulus justru mendapatkan KIP. Persoalan akurasi data itu pula yang menyebabkan penyaluran KIP pada masa Mendikbud Anies Baswedan tersendat. Namun sekarang, Mendikbud Muhadjir Effendy mencoba mengombinasikan data (TNP2K) dengan Dapodik guna menghindari salah prosedur dan menjamin akurasi data. Dengan memadukan dua data berbeda itu, penyaluran KIP lebih lancar, sudah di atas 90%.

KIP yang tepat sasaran kepada siswa miskin sudah dimanfaatkan  dengan baik sebagaimana mestinya untuk tujuan pendidikan. Terbukti yaitu sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh Harbiyah. Menurut Harbiyah, berdasarkan pemantauannya di lapangan, pemanfaatan dana PIP di daerahnya sudah tepat peruntukannya. Para siswa penerima KIP menggunakan dananya untuk membeli sepatu, seragam sekolah, atau perlengkapan sekolah lainnya. Efektivitas dalam pelaksanaan KIP yang masih kurang adalah dalam masalah pendistribusian KIP.

Setelah dilakukan intervensi tersebut hasil yang bisa dilihat sepanjang tahun 2019 adalah angka partisipasi pendidikan meningkat, tetapi disisi lain, angka putus sekolah masih ada pada jumlah yang besar. Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332. Terlepas dari data yang dirilis TNP2K, angka partisipasi pendidikan disebut terus meningkat tiap tahunnya. Data yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Kemdikbud) mengungkap angka partisipasi kasar jenjang pendidikan menengah mencapai 88,6% pada tahun ajaran 2018/2019..

Menurut pendapat saya, pada awal pengadaan KIP memang memiliki banyak kendala, tetapi tahun demi tahun selalu ada perbaikan yang dilakukan, sehingga selalu ada peningkatan kinerja. Sayangnya, saat ini hal yang masih menjadi masalah dalam KIP ini adalah pendistribusian KIP, sering kali KIP ini salah sasaran, yang mana masyarakat yang mampu secara ekonomi mendapatkan KIP sedangkan masyarakat miskin justru tidak mendapatkan KIP. Mendikbud perlu meningkatkan lagi pengawasan atas alokasi dananya, dan melakukan pendataan secara berkala, agar data penerima KIP benar-benar data terbaru sehingga bisa tepat sasaran, sehingga terhindar dari tindak kecurangan.

Masalah lain yang ada pada data pendidikan adalah angka putus sekolah yang masih tinggi. Seperti yang sudah kita ketahui, pendistribusian KIP ini bukan hanya untuk siswa miskin yang bersekolah, tetapi juga untuk siswa yang putus sekolah. KIP sudah didistribusikan kepada anak yang putus sekolah, tetapi angka anak putus sekolah dari masyarakat miskin masih tinggi, oleh sebab itu ada faktor lain yang harus segera diperbaiki.

Anak putus sekolah tidak semata-mata diartikan berhenti dari partisipasi belajar, tetapi juga karena ketidakmampuannya mengikuti proses pembelajaran akibat layanan tidak bisa menjangkau anak tersebut. Untuk itu, PIP harus diperluas orientasinya untuk program-program remedial yang membuat anak bisa menikmati proses pembelajaran, dengan begitu akan terhindar dari putus sekolah.

Berdasarkan data pendidikan 2019, bisa dilihat bahwa pemberian KIP ini efektif untuk menambah angka partisipasi pendidikan, terutama untuk anak miskin. Dan untuk angka putus sekolah yang masih tinggi jumlahnya, pemerintah perlu melakukan perluasan program PIP dalam hal proses mengajar dan kulitas pendidikan, contohnya meningkatkan kualitas sistem belajar mengajar dan kualitas tenaga pendidik. Bagi pemerintah, diharapkan untuk perubahan setiap periode selalu diikuti dengan sosialisasi yang jelas baik kepada dinas-dinas, pihak sekolah maupun masyarakat, agar pelaksanaan intervensi ini lebih maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun