Mohon tunggu...
Feri Puji Harianto
Feri Puji Harianto Mohon Tunggu... Seniman - writer holic

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelum Kau Bersamanya

9 Agustus 2019   09:05 Diperbarui: 9 Agustus 2019   10:05 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menemukanmu saat diri ini sudah putus di ujung harapan. Kau datang di tengah keangkuhan ribuan wanita di sosial media saat itu. Aplikasi yang dikenal sebagai biro jodoh di dunia maya, tidak merubah nasibku sebagai jomblo sejati. 

Terpampang di beranda sebuah akun, blangko fotomu yang sebam waktu itu hampir aku lewati. Aku kira karena kamu mengambilnya dengan kamera yang tidak bagus. Jadi sekilas tidak menarik perhatian. 

Tapi entah, wajahmu dalam foto itu memanggilku kembali untuk lebih banyak mencari tahu tentang dirimu. Di histori akunmu, kau memang tidak banyak aktif. Hanya beberapa status yang menceritakan kepiluanmu.

Aku meminta pertemanan terlebih dulu waktu itu. Tak banyak berharap. Karena pikirku akan terus terulang kembali seperti yang sudah-sudah. Setelah kenalan beberapa waktu dengan perempuan. Aku dicampakkan begitu saja seperti barang yang klise.

Tidak lama menunggu, kau menerima permintaan pertemananku. Semula biasa saja. Aku hanya haturkan terima kasih atas konfirmasinya. Sebelum akhirnya kau membalasnya dengan lembut.

Ku kirim pesan berlanjut.
[Semoga kita bisa menjadi teman yang baik, Mbak, meski sebatas di dunia maya.]



[Sama-sama Mas. Memang itu yang aku harepin.]

Ada sedikit sesuatu yang ganjil saat itu. Dalam statusmu kamu seperti kurang dapat perhatian dari seorang yang berarti dalam hidupmu. Hati seperti apa yang harus ku taruh kepadamu. Perasaan iba ini lebih menyentuh ketimbang sekedar egoku mencari sosok pendamping hidup.

[Maaf, Mbak, jika aku baru kenal sudah ikut campur dalam kehidupan kamu. Sepertinya, Mbak, banyak masalah. Kalau mbak mau curhat sama aku, boleh kok. Kita terbuka saja].

Saranku ke kamu.


[Sekarang aku lagi di Surabaya, Mas, lagi ngontrak]
Pesan balasmu.


[Oh, Mbak kerjanya di Surabaya ya?]


[Tidak, Mas. Aku lagi pergi dari rumah. Tidak tahan tinggal di rumah. Ibu sama bapak tidak peduli sama anak-anaknya. Hobinya mereka berdua berantem mulu. Kakakku juga sama. Dia kerjanya sampai larut malam. Sehingga jarang sekali mengajakku ngobrol. Aku memakhluminya.]

Aku mencoba sabar memamahi apa yang sedang terjadi denganmu waktu itu. Meskipun aku tidak pernah mengalaminya sendiri. Setahuku, kebanyakan korban broken home selalu merasa benci kepada orangtuanya dan berani meninggalkan rumah.

Tak terasa seiring berjalannya waktu, kita sudah menghabiskan banyak obrolan lewat aplikasi itu. Dan kaupun ucapkan terima kasih balik.
[Terima kasih, Mas, sudah mau menjadi teman untukku. Kamu orangnya baik, Mas. Beda dengan kebanyakan laki-laki yang ku kenal. Mereka hanya modus. Ujung-ujungnya tercium juga niatnya kenalan sama aku, yaitu tergoda dengan tubuhku.]

Memang semenjak aku melihat fotomu yang mengenakan daster bawahnya sampai atas lutut. Kau begitu menggoda. Kau memiliki tubuh yang indah di mata para lelaki. Rambutmu yang terikat dengan poni miring memayungi raut wajahmu. 

Posemu di atas motor dengan kaki kananmu naik di kaki kirimu sangat menawan. Tapi garis di wajahmu terbaca. Bahwa kau memang terlihat banyak dilumuri kepedihan. Bagiku, kau terlalu manis untuk dinistakan. Sebagai perwakilan, aku meminta maaf atas kelakuan para laki-laki hidung belang yang telah berbuat keji.

Kau jadi semakin terbuka semenjak mengenalku di sosmed itu. Hari itu, kali pertama kau mengunggah foto seorang lelaki.
Aku bertanya di kolom komentar.
[Jadi, dia pacarmu?].

[Benar, Mas.]
Balasmu singkat.

[Apa kamu baik-baik saja chatting-an sama aku. Aku takut saja. Nanti dikira mengganggu hubungan orang lain.]

[Tidak apa-apa, Mas. Kamu jangan menghindar dariku. Aku bahagia punya teman laki-laki sepertimu, Mas.]
Balasmu manja.

Kadang akupun jadi ingin genit sama kamu. Ah, apa beda jadinya aku sama kebanyakan laki-laki itu.
[Kalau punya masalah, apa tidak sebaiknya kamu ceritakan sama pacarmu?. Bukannya curhat sama orang lain sepertiku. Maaf, bukan maksud aku keberatan.]

[Justru itu. Dia tidak jauh lebih baik dari orangtuaku. Tidak peduli denganku. Aku sudah tunangan sama dia. Dua bulan lagi kami rencana akan menikah. Semakin dekat hari pernikahan, seharusnya dia malah perhatian sama aku. Bukan malah tak acuh. Seolah mau cerai saja. Dia lagi kerja sekarang. Dua minggu sekali, dia berkunjung ke kontrakanku. Tapi, aku sangat mencintainya.]

Awalnya aku senang membaca pesanmu yang lumayan panjang itu. Merasa berharga di matamu. Tapi, kalimat terakhirmu itu sangat menggores hatiku dan kuakui akupun terluka.
Aku mencoba melapangkan dada. Ikhlas jika aku sekedar sebagai bahu untuk tempatmu bersandar.


Hampir saja aku bertanya, "Dapat uang dari mana kamu untuk membayar kontrakan dan keperluanmu sehari-hari di Surabaya. Apa tidak dicari sama orang tuamu sebab telah lama meninggalkan rumah."
Tapi baiknya memilih pertanyaan tersebut kusimpan di dalam dada. Rasanya kurang etis saja. Aku juga sama, takut kehilanganmu.


***


Kling..
Satu pesan masuk di gawai yang ku taruh di saku celanaku. Aku langsung menyambarnya. Menghentikanku yang sedang sibuk di tengah pekerjaan. Rupanya darimu.
[Aku sekarang lagi di Bravo Swalayan.]
Isi pesanmu.


Tempat itu ada di daerahku, juga tempat asalnya.
[Jadi sekarang kamu lagi pulang?]
Tanyaku.


[Iya. Ini lagi belanja. Nanti sore sudah langsung balik ke Surabaya.]


Hening sebelum aku menyadari arah pesan itu.
[Apa kamu ingin ketemuan?]


[Ini sudah mau balik. Bisa saja sih kita ketemu. Tapi aku sama temanku, ndak apa-apa kan?]


[Iya. Ndak apa-apa.]


Pekerjaanku yang banyak rela aku tinggalkan.
"Bro, aku keluar sebentar dulu ya! Nanti kamu bilang sama bos," pamitku ke rekan kerja.


Siang itu, di hamparan depan swalayan banyak mobil dan motor berlalu lalang dan memadati ruas parkiran. Aku mencarimu, mencocokan wajah di fotomu yang kuingat dengan orang yang sedang kulihat. Terik menyengat kulitku, tapi tak kuhiraukan.


Kling..
Satu pesan masuk, darimu.
[Aku di kantin depan. Mas, sudah sampai mana?]


[Tunggu. Aku menuju ke sana.]
Jawabku.


Setelahnya, aku menyoroti perempuan mengenakan sweater biru tipis yang melekat di tubuhnya. Penampilannya tidak terlalu asing. Aku seperti sudah lama mengenalnya. Untuk ukuran seorang perempuan, dia memang terlihat sempurna dalam bermain cinta. Kau mampu menggetarkan asmara di kalbuku.

Jantungku mulai tidak stabil saat aku mendekatimu. Kau sudah menatapiku dari kejauhan. Aku jadi kikuk saat hendak menyapamu terlebih dulu. Kau hanya memamerkan senyuman yang merekah saat di dekatku. Segera membuatku ingin membalasnya kembali.

"Sejak kapan kamu di rumah?" satu pertanyaanku akhirnya keluar. Untuk memancing agar kau segera bicara. Memastikan, bahwa suaramu tetap sama lembut, saat kemarin kudengar lewat telepon.


"Pagi tadi baru sampai. Tapi, sore nanti sudah mau balik," jawabmu pelan.


"Tadi belanja apa? Kalau untuk keperluanmu di kontrakan, apa ndak sebaiknya belinya di Surabaya saja?" aku melirik isi kantong plastik yang kau bawa.


Hari itu, aku memang tidak banyak bertanya. Aku merasa ndak enak dengan temanmu saat itu. Nanti aku dikira selingkuhanmu. Segera aku pergi. Padahal banyak suara hati yang ingin kubuka saat itu darimu, termasuk sembilu yang kau rasakan. Aku hanya memberi beberapa lembar uang untuk keperluanmu di Surabaya sebelum akhirnya kita berpisah.


***

Di kamarku ini sunyi telah pergi menjauh. Biasanya aku berbicara dengan foto yang terpampang di dinding. Setelah perjumpaan itu, kau banyak menghabiskan waktu untuk menelponku. Aku sudah tak lagi dikoyak rasa sepi sejak kau membingkai hari-hariku.
"Kapan kamu pulang lagi? Kalau boleh, aku mau kita bertemu berdua saja," pintaku melalui telepon.


"Mmmm.. kapan ya? Ya aku usahakan," jawabmu ragu.


"Tapi aku takut. Bisakah kita nanti jalan-jalan ke luar Kota," ungkapku.


"Takut? Takut kenapa?"


"Takut ketahuan saja sama orang. Maksudku, sama kekasihmu."


"Memang kamu mau mengajakku ke mana? Ke pantai ya?" usulmu.


"Oke. Asik juga kayaknya."


Setelah kamu tiba di stasiun, aku menjemputmu di sana. Di dekat bangku Peron 3, pertama kali aku berani memegang tanganmu. Aku menggandengmu, untuk kemudian berangkat menuju tempat yang kau pinta.


Di tengah perjalanan kau dan aku bercanda ria hingga tanpa sadar kita sudah dekat Pantai Balekambang.


Setelah turun di bibir pantai, kau langsung berlari sambil lompat. Aku senang melihatmu tertawa seperti itu. Segera kau ambil ponselmu, lalu mengajakku selfie.


Sejenak aku tersenyap melihat hasil foto itu. Bahwa kita terlihat sangat serasi. Sejak momen itu, disaksikan angin dan debur ombak Pantai Malang. Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia.
Tak terasa langit mulai gelap. Kita harus meninggalkan kota ini. Segera kita pulang untuk melukis cerita di lain hari.


Tapi keadaan berkata lain. Di tengah perjalanan hujan mengguyur deras. Kita terpaksa berteduh di halaman sebuah vila. Wajahmu basah kuyup. Segera ku usap dengan tanganku. Saat itu juga waktu mengalun lambat ketika kamu berkata, "Aku mencintaimu, Mas."


Tetesan sisa-sisa air hujan jatuh dari wajahku. Segera menyekanya. Dalam keadaan diam, kau meneruskan bicara, "menikalah denganku, Mas! Bawa aku pergi dari masa laluku."


Aku berpaling dari tatapanmu.
"Tidak bisa, Linda. Apalah arti diriku bagimu. Aku adalah debu yang mudah disapu angin, atau buih di tengah lautan yang kapan saja tamat dihempas ombak. Seindah apapun aku dalam kehidupanmu, aku adalah senja yang siap digantikan malam berbintang. Maaf, Linda, aku sudah menganggu hubunganmu dengan Sastro."
Aku kembali menghadapmu dan kupegang lembut pipimu, "Aku yakin kamu pasti bahagia bila bersamanya."


"Apa, Mas, mau pergi dariku di saat aku terlanjur cinta. Bertahun-tahun kamu kesepian, bukankah aku yang mas cari selama ini?"


Pertanyaanmu itu ku balas dengan sebuah pelukan hangat.


"Kalian butuh penginapan?" Pemilik vila meradu momen kita. Sorot mataku dan matamu telah padu. Kala itu, kita menggelora hangat dalam bait cinta sejati. Waktu telah memberikan saat indah bersamamu.


***


Terhitung tiga tahun semenjak datang di pernikahanmu. Aku menghilang darimu entah ke mana busur kehidupanku. Hingga tak sengaja waktu mempertemukan kita kembali di antrean sebuah ATM. 

Kau menggandeng seorang anak laki-laki. Rambut, alis, mata dan hidung anak itu mirip sekali dengan yang kumiliki. Tidak denganmu, apalagi suamimu.
"Namanya Vino. Sama seperti namamu, Mas," tuturmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun