BRICS dan Ancaman Trump: Indonesia di Persimpangan Dolar dan Kedaulatan
Oleh: Ferdinandus Nauw *)
Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS mulai 1 Januari 2025 menandai babak baru arah kebijakan luar negeri dan ekonomi nasional. Langkah ini membawa harapan besar sekaligus risiko, karena mempertemukan Indonesia dengan kekuatan ekonomi baru dunia, namun juga menantang dominasi Amerika Serikat dalam sistem global berbasis dolar.
Reaksi keras langsung muncul. Presiden Donald Trump, melalui platform Truth Social, mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100% bagi negara-negara BRICS yang meninggalkan dolar dalam perdagangan internasional. Sikap ini memperjelas bahwa Amerika tidak akan tinggal diam terhadap munculnya kekuatan tandingan ekonomi global yang mencoba membentuk arsitektur baru keuangan dunia.
Peluang Strategis dari BRICS
Dengan masuknya Indonesia ke BRICS---yang kini terdiri dari 11 negara termasuk Tiongkok, Rusia, Brasil, India, dan Arab Saudi---Indonesia berada dalam poros baru yang mewakili lebih dari 40% populasi dunia dan sekitar 30% Produk Domestik Bruto global dalam Purchasing Power Parity (PPP).
Melalui akses ke New Development Bank (NDB), Indonesia memiliki peluang memperoleh pendanaan proyek strategis tanpa tekanan politik seperti yang biasa datang dari lembaga Barat. Selain itu, agenda dedolarisasi yang dikampanyekan BRICS membuka peluang perdagangan berbasis mata uang lokal (LCS), sejalan dengan inisiatif Bank Indonesia sejak 2021.
Penguatan kerja sama ini memungkinkan rupiah tidak terlalu terguncang oleh fluktuasi dolar AS, dan memperluas pasar ekspor ke negara-negara BRICS yang pertumbuhannya masih menjanjikan. Dalam jangka panjang, ini dapat memperkuat fondasi ekonomi nasional yang lebih berdaulat dan mandiri.
Ancaman AS dan Risiko Ekonomi
Namun, ancaman Trump tak bisa diabaikan begitu saja. Amerika Serikat masih merupakan mitra dagang utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 27,5 miliar pada 2023---sekitar 9,4% dari total ekspor nasional.
Jika ancaman tarif direalisasikan, sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik bisa terdampak serius. Di tengah upaya pemulihan pasca-pandemi dan perlambatan global, pukulan semacam ini bisa melemahkan daya saing dan menurunkan ekspor.
Selain itu, tekanan politik AS juga bisa merembet ke forum-forum internasional, kerja sama pertahanan, hingga isu HAM yang selama ini menjadi alat diplomasi terselubung.
Freeport dan Politik Papua dalam Pusaran Geopolitik
Salah satu titik strategis yang rentan terdampak adalah Papua---khususnya PT Freeport Indonesia. Meski Indonesia telah menguasai 51% saham melalui MIND ID sejak 2018, operasional dan pasar ekspor Freeport masih terikat erat pada sistem global berbasis dolar dan teknologi AS.
Jika Indonesia mulai mendorong penggunaan mata uang non-dolar dalam ekspor komoditas tambang, lobi-lobi ekonomi AS bisa bergerak untuk menekan stabilitas investasi. Freeport-McMoRan yang berbasis di Arizona punya sejarah panjang dalam memengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia.
Lebih jauh, isu Papua berpotensi digunakan kembali sebagai tekanan politik. Sejarah menunjukkan bahwa ketika Indonesia mengambil posisi luar negeri yang berseberangan dengan kepentingan Barat, isu separatisme dan HAM di Papua sering dimunculkan di forum internasional.
Namun di sisi lain, BRICS memberi peluang pembiayaan alternatif untuk pembangunan sosial di Papua---seperti infrastruktur pendidikan, layanan kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat adat. Pendekatan pembangunan yang humanis dan partisipatif bisa meredam konflik, sekaligus membuktikan kedaulatan Indonesia bukan sekadar wacana, tapi nyata bagi rakyat Papua.
Dampak Politik Domestik
Masuknya Indonesia ke BRICS juga akan mengubah lanskap politik dalam negeri. Polarisasi ideologi bisa menguat: antara yang masih berpihak pada sistem liberal Barat dan yang mendorong ekonomi kerakyatan berbasis kekuatan Asia-Afrika. Isu BRICS bisa masuk ke dalam dinamika Pemilu 2029 sebagai narasi strategis atau alat propaganda.
Pemerintah perlu menjaga keseimbangan dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Keberpihakan pada BRICS tidak boleh membuat Indonesia mengabaikan hubungan dagang dan strategis dengan Barat. Sebaliknya, keanggotaan BRICS harus dimaknai sebagai perluasan ruang gerak dan pilihan, bukan penarikan diri dari tatanan dunia lama.
Penutup: Kedaulatan di Era Dunia Multipolar
Langkah Indonesia masuk BRICS adalah keputusan strategis. Namun, di tengah ancaman ekonomi dan tekanan geopolitik dari negara besar seperti AS, Indonesia harus memperkuat posisi dalam negeri---baik dari sisi ekonomi, diplomasi, maupun stabilitas sosial.
Di Papua, khususnya, negara harus hadir lebih kuat dan adil. Jangan sampai kawasan kaya sumber daya ini kembali dijadikan komoditas dalam negosiasi global. Kedaulatan sejati bukan hanya ditunjukkan lewat sikap tegas di forum internasional, tapi juga dalam kehadiran nyata negara di wilayah yang selama ini tersisih.
BRICS bisa menjadi jalan baru menuju masa depan yang lebih berimbang dan berkeadilan. Tapi hanya jika Indonesia mampu mengelola peluang dan tantangannya dengan kecermatan dan keberanian seorang pemimpin sejati.
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI