Jika ancaman tarif direalisasikan, sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik bisa terdampak serius. Di tengah upaya pemulihan pasca-pandemi dan perlambatan global, pukulan semacam ini bisa melemahkan daya saing dan menurunkan ekspor.
Selain itu, tekanan politik AS juga bisa merembet ke forum-forum internasional, kerja sama pertahanan, hingga isu HAM yang selama ini menjadi alat diplomasi terselubung.
Freeport dan Politik Papua dalam Pusaran Geopolitik
Salah satu titik strategis yang rentan terdampak adalah Papua---khususnya PT Freeport Indonesia. Meski Indonesia telah menguasai 51% saham melalui MIND ID sejak 2018, operasional dan pasar ekspor Freeport masih terikat erat pada sistem global berbasis dolar dan teknologi AS.
Jika Indonesia mulai mendorong penggunaan mata uang non-dolar dalam ekspor komoditas tambang, lobi-lobi ekonomi AS bisa bergerak untuk menekan stabilitas investasi. Freeport-McMoRan yang berbasis di Arizona punya sejarah panjang dalam memengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia.
Lebih jauh, isu Papua berpotensi digunakan kembali sebagai tekanan politik. Sejarah menunjukkan bahwa ketika Indonesia mengambil posisi luar negeri yang berseberangan dengan kepentingan Barat, isu separatisme dan HAM di Papua sering dimunculkan di forum internasional.
Namun di sisi lain, BRICS memberi peluang pembiayaan alternatif untuk pembangunan sosial di Papua---seperti infrastruktur pendidikan, layanan kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat adat. Pendekatan pembangunan yang humanis dan partisipatif bisa meredam konflik, sekaligus membuktikan kedaulatan Indonesia bukan sekadar wacana, tapi nyata bagi rakyat Papua.
Dampak Politik Domestik
Masuknya Indonesia ke BRICS juga akan mengubah lanskap politik dalam negeri. Polarisasi ideologi bisa menguat: antara yang masih berpihak pada sistem liberal Barat dan yang mendorong ekonomi kerakyatan berbasis kekuatan Asia-Afrika. Isu BRICS bisa masuk ke dalam dinamika Pemilu 2029 sebagai narasi strategis atau alat propaganda.
Pemerintah perlu menjaga keseimbangan dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Keberpihakan pada BRICS tidak boleh membuat Indonesia mengabaikan hubungan dagang dan strategis dengan Barat. Sebaliknya, keanggotaan BRICS harus dimaknai sebagai perluasan ruang gerak dan pilihan, bukan penarikan diri dari tatanan dunia lama.
Penutup: Kedaulatan di Era Dunia Multipolar