Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Neraka adalah Orang Lain: Selayang Pandang Filsafat Eksistensialisme Sartre

3 Maret 2024   14:23 Diperbarui: 3 Maret 2024   14:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jean-Paul Sartre atau lebih sering dikenal sebagai Sartre adalah seorang filsuf berkebangsaan Perancis (1905-1980). Ia dijuluki sebagai raksasa eksistensialisme, salah satu aliran filsafat yang populer pada abad ke-20. Hal ini tidak dapat disangkal mengingat pengaruh Sartre yang juga besar pada perkembangan dunia filsafat selanjutnya.

Selain seorang filsuf, Sartre juga seorang sastrawan. Ia menulis banyak novel, cerita pendek, drama, dan skenario film. Karya-karyanya di bidang sastra ini juga lekat dengan nuansa eksistensialisme. Bisa dibilang Sartre adalah pengarang besar yang diakui secara internasional dengan dianugerahkannya hadiah Nobel untuk sastra pada tahun 1964, meskipun Sartre sendiri menolak penghargaan itu.

Sartre terkenal dengan pandangannya yang radikal mengenai kebebasan manusia. Baginya, kebebasan manusia pada dasarnya adalah sebebas-bebasnya atau dalam kata lain tidak terbatas. Konsekuensi dari hal ini adalah Sartre menolak gagasan fix atau mutlak yang dapat membatasi kebebasan itu. Sartre menolak sesuatu yang mutlak (Tuhan) yang dengan mengakui keberadann-Nya justru dianggap membatasi kebebasan manusia. Oleh karena itu, pandangan filsafat eksistensialisme Sartre termasuk dalam eksistensialisme yang ateistik.

Memang dalam sejarah perjalanan aliran filsafat eksistensialisme, secara garis besar aliran ini terdapat dua arah pemikiran. Eksistensialisme teistik dan eksistensialisme ateistik. Arah pemikiran pertama adalah bahwa kehadiran Tuhan justru lebih membuat manusia bebas mewujudkan eksistensinya. Sebaliknya, arah pemikiran yang ke dua adalah bahwa kehadiran Tuhan membatasi kebebasan manusia untuk eksis maka keberadaan Tuhan harus ditolak.

Sartre juga terkenal dengan beberapa ungkapannya seperti neraka adalah orang lain dan manusia dikutuk untuk bebas. Untuk memahami apa maksud ungkapan ini, maka kita harus melihat pada gagasan eksistensialisme mengenai kebebasan dan relasi dengan orang lain. Oleh karenanya, di sini akan diuraikan secara sekilas namun padat mengenai gagasan Sartre tentang kebebasan dan relasi dengan orang lain.

Eksistensi vs Esensi

Sebelum memasuki pandangan mengenai eksistensi dan esensi, perlu dijabarkan terlebih dahulu gagasan mengenai dua cara berada. Menurut Sartre, di dunia ini ada dua cara berada. Dua cara berada tersebut adalah etre-en-soi (ada-pada-dirinya) dan  etre-pour-soi (ada-bagi-dirinya).

Etre-en-soi (ada-pada-dirinya) merupakan cara berada yang begitu saja atau cara berada yang tidak sadar. Cara berada ini merupakan cara berada dari dunia materiil yang tampak kepada saya (manusia). Hal ini dapat meliputi  anorganik dan organik (kecuali manusia). Dengan kata lain, etre-en-soi merupakan cara berada sesuatu yang tidak mampu atau tidak memiliki upaya mengubah dirinya sendiri. Contohnya adalah kursi, ya sudah kursi adanya begitu saja (misalnya untuk tempat duduk, lama-lama rusak, dan seterusnya). Contoh lain misalkan ayam, ya begitu saja adanya ayam (misalnya kalau subuh berkokok, kalau bertelur berisik, dan seterusnya). Maka, dapat dikatakan etre-en-soi adalah cara berada sesuatu yang terikat erat pada kodrat, esensi, atau hakikatnya.

Etre-pour-soi (ada-bagi-dirinya) merupakan cara berada yang sadar. Cara berada ini hanya khas pada manusia. Ciri dari cara berada ini adalah menidakkan (menegasikan). Manusia memiliki kemampuan untuk selalu menegasikan tentang dirinya. Dalam aktivitas menyadari diri saya, maka ketika itu saya juga menyadari bahwa: saya bukan ini, saya bukan itu, dan seterusnya. Misalkan saya menyadari hari ini sedang di perpustakaan, maka di saat yang sama saya menyadari bahwa saya bukan: rak buku, kursi, meja, dan lain-lain. Kesadaran yang menegasikan berarti juga memungkinkan manusia membuat perubahan tentang dirinya. Misalnya  bahwa hari ini saya menjadi orang baik karena sudah membantu seorang pengemis, di saat yang sama pula saya menyadari bahwa mungkin besok saya bukan orang baik lagi, mungkin bisa menjadi orang jahat.

Bertens dalam buku Pengantar Filsafat (2017) menyatakan karena cara berada manusia adalah etre-pour-soi dengan ciri khas menegasikan, maka dalam pandangan Sartre manusia tidak memiliki esensi mutlak (satu kali untuk selamanya). Menurut Sartre, manusia eksis terlebih dahulu, baru kemudian ia mempunyai esensi. Mula-mula manusia ada begitu saja (ia terlempar dalam faktisitas), lalu ia eksis melalui tindakannya yang kemudian menentukan esensinya

Esensi manusia selalu berubah-ubah tergantung apa yang dilakukannya. Contohnya adalah ketika saya mengajar mahasiswa, barulah di situ dapat disebut saya memiliki esensi sebagai dosen. Hal itu akan berubah ketika saya kemudian menulis novel, puisi, cerpen, barulah saya dapat disebut memiliki esensi sebagai sastrawan. Dengan demikian pandangan Sartre membalikkan pandangan terdahulu yang menyatakan bahwa manusia memiliki esensi mutlak dan manusia bereksistensi untuk memenuhi esensinya yang sudah ditetapkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun