Mohon tunggu...
Felix Savero
Felix Savero Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang manusia dengan prinsip Stoic

Bermimpi dalam hidup, bukan hidup dalam mimpi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stoicism dalam Iman: Kunci Hidup Tenang

27 Oktober 2021   12:00 Diperbarui: 29 Oktober 2021   11:23 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada artikel ini, saya membagikan opini saya mengenai prinsip Stoicism dalam keimanan dan Pancasila. Kebanyakan orang mungkin beriman karena ada 'maunya', bukan karena mereka memang 'mau'. Oleh karena itu, saya terpikirkan untuk membagikan opini ini. Bacaan ini terbuka untuk semua orang dari kepercayaan manapun, karena tidak menitikberatkan ke suatu golongan tertentu. Pertama, saya akan membahas mengenai Stoicism terlebih dahulu.

"Sebagian orang berharap dalam hidupnya, sementara sebagian lagi hidup di dalam harapan." Apa maksudnya? Kata kuncinya ada pada "harapan" dan "hidup". Kita harus bisa mengenali diri kita sendiri; apakah kita memiliki harapan dalam hidup kita, atau malahan kita hanya hidup di dalam harapan kita saja?

Filosofi Stoicism ingin mengajarkan kepada kita untuk lebih realistis dalam memiliki ekspektasi. Saya mendapatkan pemahaman ini dari Marcus Aurelius, seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup pada tahun 121-180 Masehi. Konsep Stoicism sederhana saja; Ketika kita berharap, selalu pikirkan bahwa kemungkinan terburuk akan terjadi, dan tidak semua hal bisa kita kontrol.

Stoicism berbeda dengan pesimisme. Stoicism membuat kita lebih tangguh dan tidak deg-degan ketika sedang melakukan sesuatu yang berat. Mungkin Anda merasa takut ketika akan interview kerja, karena Anda tidak tahu apa yang akan terjadi. Dalam segala hal, jika anda sudah tahu kemungkinan terburuknya, Anda bisa lebih tenang. "Hari ini saya akan interview kerja, mungkin saja saya akan gagal. Tapi tidak apa, saya sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk."

Mungkin hari ini anda lelah karena suatu hal; pekerjaan, sekolah, kuliah, relationship, atau apapun itu. Anda mungkin ingin semuanya berjalan lancar saja, Anda mengusahakan yang terbaik, dengan harapan hasilnya terbaik juga. Namun kenyataannya, tidak selalu demikian.

Saya akan buat sebuah perumpamaan. Budi sudah rajin belajar, tetapi karena satu dan lain hal, nilainya masih kurang memuaskan. Bahkan, ia kalah dengan orang lain yang menyontek. Sungguh menyebalkan, bukan? Rasanya ia kecewa dan merasa hidup tidak adil. Jika Budi terpaku pada kekecewaannya, besar kemungkinan bahwa ia akan melakukan hal negatif. Rebahan seharian, malas belajar, misalnya.

Bagaimana jika sebelum ujian, Budi memiliki perspektif Stoic? Ia pasti akan menyadari dua hal berikut:

  • Bahwa selalu ada kemungkinan terburuk dalam segala skenario.
  • Bahwa tidak segalanya ada dalam kendalinya, sekeras apapun ia berusaha.

Dengan menyadarinya, apa manfaat yang didapatkan Budi, seandainya harapannya tidak terwujud?

  • Budi tidak terkejut seandainya kemungkinan terburuk memang terjadi.
  • Budi tahu bahwa hal yang dapat ia kontrol meliputi usahanya, reaksinya, dan responsnya. Tidak ada gunanya mengutuk kecurangan orang lain, karena itu tidak dapat ia kendalikan.
  • "Bagaimana cara orang lain untuk mendapatkan nilai bagus, itu tidak dapat aku kendalikan, begitupun juga penilaian orang lain terhadap diriku. Sehingga, tidak ada gunanya memikirkan hal tersebut berlarut-larut."
  • Akhirnya, Budi lebih ikhlas dan tahu apa yang perlu ia lakukan selanjutnya.
  • "Ah, ya sudahlah. Toh masih ada hari esok. Hari ini biarlah berlalu, yang penting besok-besok harus lebih baik lagi."

Lalu, bagaimana jika ternyata harapannya terpenuhi?

  • Budi akan merasa sangat senang, karena ia sudah  expect akan hal terburuk(lowering expectations), namun yang terjadi malah sebaliknya.
  • Budi akan lebih termotivasi untuk belajar.

Nah, ilustrasi sederhana itu sudah cukup untuk menunjukkan manfaat prinsip Stoicism, meski dalam skala kecil. Tentunya, prinsip ini tetap bekerja pada skenario seperti apapun, asalkan kita mau menerapkannya sungguh-sungguh. Saya pribadi sudah sering melakukannya, dan jujur hidup memang terasa lebih tenang.

Lantas bagaimana kaitannya dengan iman? Prinsip Stoicism dapat membuat kita lebih berkomitmen dalam iman, apapun kepercayaan kita. Tidak sedikit orang yang beriman, percaya kepada Tuhan, karena berharap hidupnya akan baik-baik saja. Padahal, justru dengan kita beriman, kita akan 'diuji' oleh berbagai masalah.

Dalam konteks orang beriman, jika doanya dikabulkan, maka ia tentu akan senang dan memuji-muji Tuhan. Namun sebaliknya, ketika dihadapkan dengan masalah "besar", belum tentu ia akan setia terhadap Tuhan. Bahkan, bisa saja ia sampai menyalahkan Tuhan. Inilah 'ujian' yang saya maksud di atas.

Bagaimana jika kita lagi-lagi menerapkan Stoicism dalam kehidupan beragama? Dalam konteks doa, berikut adalah prinsip yang saya pegang. Jika doa seseorang belum ataupun tidak dikabulkan, ada dua kemungkinan jawaban Tuhan:

  • "Tidak", berarti Tuhan memang tidak akan mengabulkan doa kita. Mungkin karena doa kita sebetulnya tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Coba refleksikan lagi. Apakah keinginan kita itu tidak berdampak buruk? Jika tidak, maka kemungkinan jawaban-Nya ada di poin berikutnya.
  • "Belum",  berarti belum tepat waktunya bagi Tuhan untuk memberikan kita apa yang kita minta. Saya punya ilustrasi. Coba bayangkan, seandainya anda mempunyai adik kecil yang masih berusia balita, lalu ia meminta handphone. Apakah anda akan memberikannya? Kalau saya sih tidak, karena belum waktunya. Nah, Tuhan pun demikian, Jadi, yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar dan tetap usahakan yang terbaik

Dalam konteks 'ujian hidup', jika mengaitkan Stoicism dengan iman, berikut pandangan saya pribadi :

  • Selalu expect hal buruk untuk terjadi, sehingga kita siap ketika 'ujian' itu diberikan.
  • Sadari bahwa Tuhan senantiasa menyertai, meskipun mungkin kadang tidak kita sadari. Mungkin sebagian pembaca di sini sudah pernah mengalami berbagai masalah, asam-garam kehidupan, yang Anda pikir mustahil untuk diselesaikan. Namun, nyatanya Anda masih bisa bertahan sampai saat ini. Cobalah renungkan.
  • Selalu bersyukur untuk segala masalah yang dihadapi, karena itulah yang akan mendewasakan kita. Seperti kata pepatah: "Pelaut yang hebat tidak dilahirkan dari lautan yang tenang".

Bagaimana kaitan antara Stoicism dengan Pancasila? Kita hidup di Indonesia dengan beragam suku dan ras, lalu ini dipertegas oleh sila ketiga Pancasila: "Persatuan Indonesia". Namun pada kenyataannya, seringkali sila ketiga ini dilanggar. Kita berharap dapat hidup berdampingan antarras, tetapi justru banyak kasus rasisme. Berkali-kali kita dikecewakan oleh kenyataan.

Dengan berprinsip Stoic, kita sadar bahwa kasus rasisme itu adalah kemungkinan terburuk, tapi kita tidak mempermasalahkannya. Justru, kita tetap berperilaku baik terhadap semua orang dari berbagai ras. Kita tidak perlu mengharapkan timbal balik yang baik, jika responnya buruk ya tidak masalah. Kehidupan dalam keberagaman akan jauh lebih baik apabila sebagian besar atau bahkan semua orang memiliki prinsip seperti ini. Dan tanpa disadari, sila ketiga Pancasila sudah teramalkan dengan baik.

Oleh karena itu, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk senantiasa berprinsip Stoic, dalam hal apapun. Baik itu dalam urusan beragama, kehidupan sehari-hari, dan kehidupan sosial antarras.

Demikian opini saya, semoga apa yang saya bagikan boleh bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca sekalian. Semoga Anda sekalian sehat selalu dan senantiasa dalam penyertaan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun