Mohon tunggu...
Felix Savero
Felix Savero Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang manusia dengan prinsip Stoic

Bermimpi dalam hidup, bukan hidup dalam mimpi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stoicism dalam Iman: Kunci Hidup Tenang

27 Oktober 2021   12:00 Diperbarui: 29 Oktober 2021   11:23 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konteks orang beriman, jika doanya dikabulkan, maka ia tentu akan senang dan memuji-muji Tuhan. Namun sebaliknya, ketika dihadapkan dengan masalah "besar", belum tentu ia akan setia terhadap Tuhan. Bahkan, bisa saja ia sampai menyalahkan Tuhan. Inilah 'ujian' yang saya maksud di atas.

Bagaimana jika kita lagi-lagi menerapkan Stoicism dalam kehidupan beragama? Dalam konteks doa, berikut adalah prinsip yang saya pegang. Jika doa seseorang belum ataupun tidak dikabulkan, ada dua kemungkinan jawaban Tuhan:

  • "Tidak", berarti Tuhan memang tidak akan mengabulkan doa kita. Mungkin karena doa kita sebetulnya tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Coba refleksikan lagi. Apakah keinginan kita itu tidak berdampak buruk? Jika tidak, maka kemungkinan jawaban-Nya ada di poin berikutnya.
  • "Belum",  berarti belum tepat waktunya bagi Tuhan untuk memberikan kita apa yang kita minta. Saya punya ilustrasi. Coba bayangkan, seandainya anda mempunyai adik kecil yang masih berusia balita, lalu ia meminta handphone. Apakah anda akan memberikannya? Kalau saya sih tidak, karena belum waktunya. Nah, Tuhan pun demikian, Jadi, yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar dan tetap usahakan yang terbaik

Dalam konteks 'ujian hidup', jika mengaitkan Stoicism dengan iman, berikut pandangan saya pribadi :

  • Selalu expect hal buruk untuk terjadi, sehingga kita siap ketika 'ujian' itu diberikan.
  • Sadari bahwa Tuhan senantiasa menyertai, meskipun mungkin kadang tidak kita sadari. Mungkin sebagian pembaca di sini sudah pernah mengalami berbagai masalah, asam-garam kehidupan, yang Anda pikir mustahil untuk diselesaikan. Namun, nyatanya Anda masih bisa bertahan sampai saat ini. Cobalah renungkan.
  • Selalu bersyukur untuk segala masalah yang dihadapi, karena itulah yang akan mendewasakan kita. Seperti kata pepatah: "Pelaut yang hebat tidak dilahirkan dari lautan yang tenang".

Bagaimana kaitan antara Stoicism dengan Pancasila? Kita hidup di Indonesia dengan beragam suku dan ras, lalu ini dipertegas oleh sila ketiga Pancasila: "Persatuan Indonesia". Namun pada kenyataannya, seringkali sila ketiga ini dilanggar. Kita berharap dapat hidup berdampingan antarras, tetapi justru banyak kasus rasisme. Berkali-kali kita dikecewakan oleh kenyataan.

Dengan berprinsip Stoic, kita sadar bahwa kasus rasisme itu adalah kemungkinan terburuk, tapi kita tidak mempermasalahkannya. Justru, kita tetap berperilaku baik terhadap semua orang dari berbagai ras. Kita tidak perlu mengharapkan timbal balik yang baik, jika responnya buruk ya tidak masalah. Kehidupan dalam keberagaman akan jauh lebih baik apabila sebagian besar atau bahkan semua orang memiliki prinsip seperti ini. Dan tanpa disadari, sila ketiga Pancasila sudah teramalkan dengan baik.

Oleh karena itu, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk senantiasa berprinsip Stoic, dalam hal apapun. Baik itu dalam urusan beragama, kehidupan sehari-hari, dan kehidupan sosial antarras.

Demikian opini saya, semoga apa yang saya bagikan boleh bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca sekalian. Semoga Anda sekalian sehat selalu dan senantiasa dalam penyertaan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun