Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Jokowi: Putra Reformasi, Dari Ibukota Menuju Indonesia

22 Mei 2023   17:15 Diperbarui: 23 Mei 2023   13:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi ketika blusukan sebagai Gubernur DKI (Foto by Antara/M. Agung Rajasa)

Sejenak melalui tulisan ini, kita flashback alias melihat kebelakang tentang seorang politisi yang juga sekaligus negarawan yang terus terang di era Reformasi ini tak terbayangkan sebelumnya bisa memberikan setitik perubahan yang berarti bagi Indonesia bahkan Dunia sekalipun. 

Opini ini ditulis tanpa sembarang fenomena, dimana memang tidak bisa semua terjawab dalam kajian data komprehensif namun fakta empiris yang terasa hingga kebawah merasakan semua. Sosok yang bukan seorang begawan partai, bukan pula sosok elit melainkan benar-benar orang yang berhasil memulai dari nol yaitu mulai karir hingga pada saat ia menjadi seorang politisi. Seperti kita tahu beliau menjadi Walikota Surakarta, Jateng yang sukses 2 periode (meski periode kedua tidak diselesaikan sampai habis). Namun banyak kemajuan dan inovasi progresif yang ia tampilkan.

Kali ini tidak membahas pada konteks Solo, melainkan karena kebetulan penulis tinggal di Jakarta maka relevan jika dikaitkan pada konteks Jakarta. Dimana sosok yang 'ndeso' tersebut berhasil membuktikan bahwa ia punya 'rejeki kota' meski memang 2 tahun tapi setidaknya gebrakan yang berani dan juga beda dengan Pemerintahan saat itu berhasil ditampilkan dengan gaya yang berbeda, bukan sekedar antitesa melainkan ngayomi lan ngajeni seperti halnya Falsafah Jawa sebagaimana ia berasal. 

Pemimpin adalah Ketegasan Tanpa Ragu selalu digaungkan. Nyatanya benar, apa yang musti ia takutkan? Dia tidak berambisi dalam kekuasaan, nyatanya seorang Jokowi kala itu hingga sekarang masih terlihat jiwa kepemimpinan efektifnya. Berbeda dengan elit melainkan semangat secara membumi tersebut selalu digaungkan. Langkahnya selalu orisinil dan tentunya dengan sentuhan yang lebih enerjik, dimana semua dilaksanakan oleh karena keteguhan ia untuk turun dan melihat kebawah lalu merespon semua tantangan dengan jawaban yang padu. 

Slogan 'Jakarta Baru' yang ia gaungkan memang tak sia-sia. Buktikan diri bahwa ia seorang yang pembaharu, punya semangat pembeda sebagai seorang reformis dan transformatif. Karena politisi seperti Jokowi memang lahir dari rahim Reformasi. Maka wajar kita korelasikan bahwa sekalipun dia bukan seorang aktivis namun ia berhasil mencapai jalan sebagai seorang praktisi, pelayan yang melayani. Yang terus terang kita tahu, andaikan seorang Jokowi tidak menjabat di Jakarta pada saat itu. 

Seolah negeri menjadi sedikit banyak hambar. Ide dan gagasan bukan sekedar dinarasikan dengan ulung namun pada konsep bahwa ia sedang ingin bekerja. 

Membuat sesuatu yang kelak menjadi legacy yang berkesinambungan. Hal ini dirangkum dalam berbagai pencapaian yang akan dibahas dalam paragraf berikutnya. Mungkin kita tahu bahwa tak sedikit yang berhasil ia telurkan meski dalam waktu 2 tahun. Namun setidaknya dari 8 program esensial yang akan disebut, ini merupakan yang otentik menjawab. Apa itu?

  1. Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat

Program ini merupakan adopsi dari sistem di Solo, yaitu Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)-Kesehatan, yang di Jakarta menjadi Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Kedua program ini kebetulan belum menjadi isu Nasional sehingga memang inisiatif daerah mengandalkan APBD sendiri. 

Konteks DKI Jakarta sebagai Provinsi dan anggaran besar pasti bisa mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan dan 10 persen untuk kesehatan dalam konteks mandatory spending kearah yang lebih efektif. Keduanya berhasil menjadi jaminan pemberdayaan sosial secara semesta dimana masyarakat miskin mampu terjamin kebutuhan dasarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun